Selasa, 25 November 2008

"Nasionalisme" Pascakonflik

Serambi Indonesia, 18/05/2008


Nasionalisme adalah prinsip, rasa dan usaha yang patriotic.
Dengan segala daya siap pula mempertahannya. (terjemahan Moritza Thaher dari sumber; concise oxford dictionary-Tenth Edition).

ACEH disebut sebagai daerah modal bagi kemerdekaan RI. Pascamerdeka, nyaris menjadi daerah model , terutama dalam beberapa hal.
Menjadi modal karena kolonialisme Belanda 350 tahun di negeri Indonesia, tak bisa mencium Aceh. Demikian pula kolonialisme Jepang. Bahkan ketika agresi militer Belanda pasca 17 Agustus 1945, Aceh menjadi penyelamat kemerdekaan di tengah dunia Internasional. Radio Rimba Raya satu-satunya saksi bisu yang masih tersisa. Dari rimba raya, menyuarakan kepada dunia, bahwa Indonesia negara merdeka. Selanjutnya, ketika Indonesia hendak menaikkan gengsi di mata dunia dan memudahkan koordinasi pemerintah pusat, maka rakyat Aceh dengan penuh kerelaan menyumbang harta benda kepada negara RI. Dikoordinir oleh para saudagar di bawah payung GASIDA, atas arahan Tgk Mohd Daud Beureueh (Gubernur Militer kala itu), sehingga RI mampu memiliki pesawat terbang dan diberi nama Seulawah RI 001 dan Seulawah RI 002. Pesawat terbang sumbangan rakyat Aceh itu, sebagai kapal terbang pertama dimiliki oleh negara RI. Itulah cikal bakal maskapai penerbangan negara saat ini, Garuda Indonesia.

Sesungguhnya, Aceh lebih daripada itu telah memberi sumbangan maha penting bagi bangsa dan negara ini. Lebih kurang 400 tahun silam, seorang sastrawan sufistik dunia, Syech Hamzah Fansury, memberikan sumbangan terbesar bagi persatuan Indonesia, berupa bahasa. Fansury adalah orang pertama yang menulis karya sastra dengan menggunakan bahasa Melayu (kini disebut sebagai bahasa Indonesia). Betapa banyak negara bangsa di dunia ini yang tidak memiliki bahasa pemersatu. Tapi atas jasa Hamzah Fansury, Indonesia memiliki bahasa persatuan dan menjadi salah satu inti yang menggerakkan spirit nasionalisme, yang diikrarkan pada 28 Oktober 1928, menjunjung tinggi bahasa persatuan yakni bahasa Indonesia. Spirit itu telah membebaskan bangsa ini dari perbudakan Belanda 350 tahun.

Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945. Itu menjadi kebahagiaan tersendiri bagi Aceh. Sertamerta pula menyatakan kesetiaan kepada Indonesia merdeka. Padahal Aceh pernah diperjanjikan sebagai zona bebas yang membatasi wilayah jajahan Inggris dan Belanda. Peluang untuk berdiri sendiri terbuka amat lebar. Namun atas dasar kecintaan terhadap sesama bangsa tertindas, Aceh merasa patut memiliki kebanggaan terhadap negara besar Indonesia. Ada keinginan untuk mewujudkan negara besar ini menjadi kuat di tengah percaturan dunia. Sehingga tanpa tedeng aling-aling komitmen keindonesiaan dipatrikan pada dada pemimpin dan rakyat Aceh kala itu.

Namun sejarah berikutnya berkata lain. Aceh menuai kekecewaan-kekecewaan atas pengelolaan negara yang telah menindas perasaan keadilan.
Kesewenangan pemerintah pusat dianggap sebagai bentuk penjajahan baru terhadap bangsa sendiri. Maka sebagai komunitas merdeka yang tidak berpengalaman berada di bawah kekuasaan penjajah, Aceh lebih reaktif menyikapi ketidak-adilan pemerintah Indonesia merdeka, dibandingkan daerah lain di Indonesia. Konsekwensi itulah yang kemudian melahirkan konflik internal berupa perlawanan-demi perlawanan terhadap negara sendiri.

Konflik berpuluh tahun terjadi di Aceh sejak Indonesia merdeka, bukanlah separatisme buta yang mengangkangi nasionalisme. Akan tetapi sebuah protes terhadap penyelenggaraan pemerintahan yang justru berpotensi melunturkan nasionalisme. Cita-cita kemerdekaan Indonesia untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur, justru dicemari oleh noda kekuasaan yang amat berbisa dan meracuni. Sehingga keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia terkontaminasi oleh birahi politik-kekuasaan. Primordialisme lebih mengemuka dibandingkan kebersamaan nasional untuk perwujudan keadilan social. Itulah yang membuat konflik berdarah-darah di Aceh, ditambah bencana gempa dan tsunami yang meluluh lantakan Aceh mendorong pihak yang bertikai pada 15 Agustus 2005 menandatangani MoU Helsinki sebagai perdamaaian yang kita harapkan dapat abadi, Amin.

Pascakonflik, rakyat Aceh mengharapkan perdamaian dapat abadi. Perdamaian atas dasar keadilan social bagi seluruh rakyat negeri ini. Perdamaian tidak akan abadi bila keadilan tak terselenggara baik; tidak akan abada bila kehidupan bangsa kembali dihimpit hegemoni kekuasaan yang destruktif. Perdamaian mesti diselamatkan dengan memenuhi keadilan rakyat. Harus ada indikator usaha nyata bukan sekedar slogan usaha, bukan retorika usaha, bukan impian sebentuk janji-janji yang mendongkolkan hati. Tapi pembuktian bahwa usaha keras telah dilakukan.

Damai Aceh untuk kesejahteraan rakyat, bukan damai bagi kepentingan sekelompok masyarakat, atau segelintir mereka yang telah meraih kekuasaan. Sebagai komunitas yang tidak berpengalaman berada di bawah penjajahan, dan sebagai komunitas yang senantiasa duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi dengan berbagai bangsa lain di dunia ini, Aceh akan terus melawan setiap bentuk ketidak-adilan dan ketidak benaran. Namun akan menjunjung tinggi setiap usaha dan keadaan yang mengarah pada pencapaian keadilan hidup lahir batin, dunia dan akhirat. Nasionalisme rakyat Aceh bukan sebatas kain merah dan putih. Tapi filosofi merah putih yang maujud dalam kehidupan nyata. Sebab yang harus diselamatkan bukanlah selembar kain, tapi berjuta-juta lembar nyawa rakyat yang merindukan keadilan dan kesejahteraan.

*) TAF Haikal adalah aktivis LSM Aceh & Mantan Direktur Eksekutif Forum LSM Aceh serta Jurubica Kaukus Pantai Barat Selatan (KPBS)

Tidak ada komentar: