Kamis, 25 Desember 2008

Proses Rehab-Rekon belum Selesai

Serambi Indonesia, 26 Desember 2008
BANDA ACEH - Hari ini, Jumat (26/12), bencana gempa dan tsunami yang meluluhlantakkan sebagian Aceh, genap empat tahun. Ini merupakan tonggak sejarah yang perlu direnungi dan dikenang setiap tahun. Meski, proses rehabilitasi dan rekonstruksi (rehab-rekon) akibat peristiwa 26 Desember 2004 lalu itu, yang selama ini dimotori BRR NAD-Nias, masih menyisakan banyak masalah.
Demikian sari pendapat yang disampaikan oleh berbagai komponen masyarakat seperti Sekjen Panglima Laot Aceh M Adli Abdullah, Juru Bicara Kaukus Pantai Barat Selatan (KPBS) TAF Haikal, dan Pjs Koordinator GeRAK Aceh Askhalani, terkait peringatan empat tahun tsunami, kepada Serambi, Kamis (25/12).

Menurut Adli Abdullah, rakyat Aceh diingatkan, saat ini ada proses rehab rekon yang belum selesai meskipun sudah empat tahun proses rekontruksi berlangsung di Aceh. “Paling kurang masih ada 3.000 korban tsunami yang masih tinggal di barak. Kita perlu ingat ini harus dituntaskan sebelum BRR bubar,” ujarnya. Dikatakannya, masyarakat Aceh di pesisir harus siap mengantisipasi bom waktu seiring berakhirnya mandat BRR NAD-Nias pada April 2009. Di antaranya, masih ada proyek infrastruktur, termasuk rumah yang rusak karena mutu bangunannya di bawah standar. “Semua ini menjadi kerja tambahan bagi Pemerintah Aceh,” tegasnya.

Pada peringatan empat tahun tsunami ini, Panglima Laot juga mengingatkan agar para nelayan di seluruh Aceh untuk tidak melaut pada 26 Desember dan memperbanyak doa untuk mengenang para korban yang meninggal.

Sementara sorotan kepada BRR juga datang dari Gerak Aceh. Pjs Gerak Aceh, Askhalani menyebutkan, empat tahun tsunami Aceh ternyata masih banyak ditemukan proses rehab-rekon yang belum tuntas dan makin tingginya terjadi kasus yang berpotensi korupsi. “Kedua persoalan ini adalah kegagalan yang terstruktur. BRR NAD-Nias harus bertanggung jawab,” ungkapnya.

Berdasarkan hasil monitoring pihaknya, sebut Askhalani, masih banyak rumah bagi para korban tsunami yang belum selesai dibangun, di antaranya di Aceh Barat, Aceh Jaya, Singkil, dan Simeulue dengan kebutuhan rata-rata di atas seribu unit tiap-tiap kabupaten.

Sementara itu Juru Bicara KPBS, TAF Haikal menyorot, hingga kini salah satu persoalan yang dihadapi masyarakat di kawasan itu terkait belum tuntasnya pembangunan lintasan Banda Aceh-Meulaboh yang didanai USAID. Menurutnya, jalan yang menghubungkan ibukota Provinsi Aceh menuju Kota Meulaboh belum juga menunjukkan perkembangan yang pesat. “Banyak persoalan yang dihadapi dalam menyelesaikan pembangunan jalan tersebut. Menurut kami jalan ini sangat strategis dan penting untuk menjadi prioritas,” tegasnya. Dia sebutkan, saat ini terdapat tiga jalur menuju pantai barat-selatan Aceh. Jalur dari Medan melalui Aceh Selatan, jalur tengah melalui Geumpang dan Calang. Namun, katanya, ketiga jalur ini kondisinya sangat memprihatinkan. “Jika jalur ini putus akibat banjir dan longsor, hal ini akan berakibat pada melonjaknya harga kebutuhan pokok. Oleh karena itu, jalan strategis itu mutlak harus diselesaikan,” kata Haikal. Dia juga menambahkan, sisa waktu sebelum BRR bubar, diharapkan program pembangunan rumah bagi korban tsunami harus dituntaskan dengan tetap mengacu pada kualitas rumah yang dibangun.(sar/nal)

Sabtu, 20 Desember 2008

Sengkarut Panwaslu Aceh

Saturday, 20 December 2008 15:15 WIB
MUNAWARDI ISMAIL
WASPADA ONLINE

PEMILU di Aceh kali ini punya corak yang berbeda. Partai-partai politik yang akan bertarung di tanah rencong diramaikan dengan kehadiran partai lokal. Partai 'made in' Serambi Makkah itu akan berupaya mendongkel dominasi partai nasional dalam meraih kursi di legislatif. Sialnya, sampai hari ini posisi 'wasit' mulai mengerucut.

Yusra Jamali mungkin sudah lelah berpolemik, sehingga dia mengundurkan diri dalam fit and proper test yang dilakukan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dua hari lalu di Banda Aceh. Dia salah satu dari lima anggota Panwaslu Aceh, yang lelah menunggu pelantikan. Empat lainnya adalah Nyak Arief Fadhillah, Rasyidin Hamin, Radhiana, dan Asqalani.

Kasus Panwaslu Aceh memang sudah lama berbelit-belit. Jalan panjang itu dimulai dari dualisme hukum berkaitan dengan pembentukan lembaga itu. Komisi Pemilihan Umum pusat ingin pembentukan serta pelantikan anggota panwaslu di Aceh merujuk pada UU No 22 tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilu dan Peraturan KPU Nomor 14 Tahun 2008.

Sedang Dewan Perwakilan Rakyat Aceh berpedoman pada UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dan Qanun Nomor 7 Tahun 2007. Dengan aturan itu, lembaga legislatif itu berwenang menyeleksi dan menetapkan anggota Panwaslu Aceh.

Masalah itu tambah mencelat, ketika DPR Aceh tetap mengukuhkan lima anggota panitia pengawas pemilu, pada 5 Juni 2008. Kelimanya adalah Nyak Arief Fadhillah, Rasyidin Hamin, Radhiana, Yusra Jamali dan Asqalani. Nama-nama itu dikirim ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) di Jakarta.

Akibatnya bisa ditebak, Bawaslu dan KPU menolak. Gara-gara penolakan pelantikan inilah yang menyebabkan anggota Panwaslu Aceh yang sudah direkrut oleh DPRA belum dilantik. Imbasnya, Panwaslu kabupaten dan kota juga tidak dapat dilantik, sehingga tugas-tugas pengawasan terhadap jalannya pemilu di Aceh tidak dapat dilaksanakan.

Pengamat politik Universitas Syiah Kuala, Mawardi Ismail, SH, M.Hum punya pandangan tersendiri terhadap polemik ini. Ternyata, penafsiran antara yang di Jakarta dengan Aceh berbeda. Memang ada dualisme hukum di sana. Namun, yang membuat dia geleng-geleng kepala, kasus ini diselesaikan lewat korespondensi (surat menyurat) bukan melalui aturan hukum.

Korespondensi yang dimaksud dekan Fakultas Hukum Unsyiah itu tak lain surat penolakan yang dikirim Bawaslu ke DPR Aceh. Kemudian giliran legislatif Aceh membalas surat itu. Begitu pula hal yang sama juga dilakukan KPU. Mereka meminta Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh untuk menyeleksi ulang anggota Panwaslu yang dimaksud.

Jika kasusnya seperti itu, menurut Mawardi, ada mekanisme hukum yang harus ditempuh untuk mengoreksi Qanun No.7 Tahun 2007 sebagai landasan membentuk Panwaslu di Aceh. Kata dia, berlarutnya pembentukan Panwaslu itu akibat adanya penafsiran antara pusat dan daerah.

"Daerah menafsirkan Panwaslu termasuk melaksanakan pemilu legislatif dan presiden, sedangkan pusat berpikir Panwas yang diatur dalam UU No.11 tahun 2006 tidak ikut mengawasi ini," beber mantan anggota DPRD DI Aceh itu.

Ketidaksetujuan pusat terhadap Qanun itu, hingga kini berbuntut panjang. Mawardi mengkritik. Sejatinya, jika ada perbedaan penafsiran dan pusat --terutama lembaga semacam KPU dan Bawaslu --yang menganggap isi qanun yang diatur daerah tidak benar, maka untuk mengoreksinya harus ditempuh sesuai mekanisme.

Mekanisme itu, lanjut dia dengan peraturan presiden yang bisa membatalkan Qanun itu. "Kalau tidak bisa lewat Perpres karena sudah lewat 60 hari, maka bisa ditempuh lewat yudicial review," sebut ahli hukum tata negara ini.

Nah, dengan demikian, ada kepastian hukum terhadap setiap produk hukum. "Perbaikan atau koreksi terhadap putusan daerah tidak ditunjukkan dengan bentuk surat menyurut. Yang kita lihat kemarin kan itu," ujarnya.

"Jadi ketidaksetujuan sah, tapi harus dilakukan dengan mekanisme yang sah. Selama ini kita lihat pusat tidak menempuh mekanisme yang diatur perundang-undangan. Makanya, jika ada daerah yang mengerti tak terima hal seperti itu. Seharusnya, pusat memberi contoh yang baik untuk daerah," ungkap Mawardi.

Kenapa pusat tak setuju? Sebenarnya ketidaksetujuan pusat bukan pada substansinya, tapi pada mekanismenya. Pada sisi lain dia melihat kenapa persoalan jumlah anggota Panwas Aceh tidak menjadi masalah.

Kata dia, jika melihat surat dari Bawaslu kepada DPRA dan Pemerintah Aceh, mereka tidak menyebutkan tak boleh lima orang, tiga diangkat Bawaslu, sisanya diangkat daerah. "Kalau soal anggaran itu bisa dinegosiasikan."

Sebagai pengamat, Mawardi mengaku setuju Panwaslu Aceh dihuni lima personel. Karena beban yang ditanggung KIP dan Panwaslu di Aceh sangat berat. Berat? Ya, karena di Aceh selain ada partai nasional, juga terdapat partai lokal yang akan ikut mengutip suara dalam Pemilu 2009 nanti.

Pada sisi lain, dia menilai ketidakadaan Panwaslu bukan berarti pengawasan itu tidak ada. Jika tak ada pengawas khusus, maka pengawas umum harus berfungsi. Pengawas umum yang dimaksud Mawardi adalah polisi dan jaksa. "Tak ada Panwaslu bukan berarti pengawas pemilu tak ada, kalau sudah masuk wilayah pidana itu urusan polisi dan jaksa," ulasnya.

Pendapat penuh khawatir juga dilontarkan Manager Aceh Justice Resource Center (AJRC), Dr. Saleh Sjafei. Dia kondisi persiapan Pemilu yang kurang menguntungkan itu berpotensi dan dapat menjadi ancaman bagi kelanggengan perdamaian di Aceh yang baru saja beberapa tahun terwujud.

"Panwaslu harus segera dibentuk untuk mengurangi ancaman keutuhan perdamaian Aceh," katanya singkat.

Kerikil-kerikil yang dikhawatirkan Sjafei itu, mulai terbukti saat Kasibun Daulay, Komandan Lapangan Brigade 8 PKS Aceh, melihat bendera partainya dicomot simpatisan partai lain. Kasibun dan petinggi PKS pun mencak-mencak. Tak tahu harus menyeret kemana si pelaku.

Dia cuma berharap seluruh parpol yang sudah mendeklarasikan pemilu damai, dapat mengimplementasikan hingga ke tingkat bawah. Karena tak ada Panwaslu, dia hanya bisa berharap pihak keamanan dapat bertindak lebih tegas dalam mengamankan pemilu di Aceh ke depan.

Berpikir jernih

Menyikapi itu, akademisi Unsyiah lainnya, Taqwaddin, SH, SE, MS mendesak Bawaslu Pusat berpikir arif dan jernih dalam menyikapi masalah Panwaslu Aceh. Kata dia, Bawaslu tidak perlu menunda pelantikan Panwaslu Aceh karena masa kampanye terbatas telah dimulai sejak 12 Juli 2008, sementara petugas yang mengawasi pelaksanaan pemilu di daerah ini belum ada.

Kata dia, mestinya Bawaslu perlu memahami bahwa Aceh sebagai daerah "khusus" dengan otonominya yang luas harus adanya kebijakan tersediri yang mengadopsi peraturan secara nasional dengan yang berlaku di daerah ini. Dia mencontohkan Undang-Undang nomor 11/2006 tentang penyelenggaraan Pemerintahan di Aceh.

Kandidat doktor Ilmu Hukum ini menambahkan, selama ini semua aktivitas di Aceh, mengacu kepada UU No.11/2006. "Begitu juga dalam hal pembentukan Panwaslu, harus dicarikan solusi secara arif agar pelaksanaan kampanye Pemilu 2009 berjalan secara adil, jujur, demokratis dan tanpa cacat," ungkap dosen Fakultas Hukum ini.

Sehingga, tambah dia, perbedaan antara UU nomor 11/2006 dengan produksi hukum lainnya tidak perlu dipertentangkan. Tertundanya pengesahan dan pelantikan Panwaslus Aceh, kata Taqwaddin, lebih terkait karena perbedaan pemahaman antara UU nomor 22/2007 tentang penyelenggaraan pemilu dengan UU nomor 11/2006 dalam hal rekrutmen calon anggota Panwaslu Aceh harus segera diakhiri.

"UU Pemerintahan Aceh itu harus dipandang sebagai lex seperior dan sekaligus lex spesialis untuk Aceh. Seharusnya, apa yang ditentukan dalam UUPA bahwa anggota panwaslus masing-masing sebanyak lima orang diusulkan DPRA merupakan ketentuan khusus yang harus dijadikan acuan oleh Bawaslu," papar dia lagi.

Apalagi, lanjutnya, UU penyelenggara pemilu maupun UUPA, yang berbeda hanya tentang lembaga yang merekrut. Yang penting lembaga yang melantiknya Panwaslu adalah Bawaslu Pusat. Bukan siapa yang berhak merekrut tetapi yang terpenting diakui ekistensinya," tambah Taqwaddin.

Sementara, TAF Haikal, salah seorang calon legislatif untuk DPR-RI mengatakan sudah seharusnya Panwaslu berada di Aceh seperti daerah lain. "Harus segera ada kebikan yang dilakukan karena eskalasi konflik pemilu akan terbuka lebar dengan adanya parlok di Aceh," sebut dia.

Katanya, jika Panwas tidak ada, akan membuat KIP tidak punya mitra dalam melakukan tahapan-tahapan pelaksanaan pemilu di Aceh. "Juga dapat merugikan partai-partai, serta pengawasan sengketa pengawasan pemilu menjadi lebih rumit," pungkas Haikal.

Syukurlah, kini masalah tersebut bakal segera pamungkas. Segala tafsir segera berakhir. Pasalnya, Bawaslu sudah menyeleksi para kandidat yang sudah dipilih DPRA sebelumnya. Semoga ini tidak lagi membawa sengkarut bagi Pemilu Aceh nanti.
(wir)

http://www.waspada.co.id/berita/sengkarut-panwaslu-aceh.html

Pemilu Aceh harus bebas tekanan

Saturday, 20 December 2008 11:20 WIB
WASPADA ONLINE

BANDA ACEH - Sejumlah elemen sipil di Aceh mendesak agar pemilihan umum di Aceh pada 2009 nanti berlangsung tanpa tekanan. Pemilu kali ini diharapkan bisa berlangsung tanpa tekanan psikologis seperti masa konflik dan darurat militer.

Harapan itu diungkapkan dalam rangka menciptakan pemilu yang berbeda, agar tidak sama seperti masa dulu. "Selama ini kondisi psikologis masyarakat Aceh masih trauma akibat konflik yang berkepanjangan, kita harapkan Pemilu nanti berbeda dengan masa lalu," ungkap Ibrahim Syamsuddin, dari Partai Aceh, kepada wartawan di Banda Aceh.

Disebutkan, sejatinya pada Pemilu nanti, tidak akan berdampak pada psikologis bagi pemilih. Sehingga bisa independen dan tanpa rasa takut dan tekanan dan teror, baik psikologis maupun fisik oleh siapa pun.

"Kami mengharapkan semua pihak untuk dapat memahami kondisi transisi politik yang sedang terjadi di Aceh. Jangan ada tindakan-tindakan dan penyataan mengarah pada ancaman perdamaian di Aceh. Biarlah fungsi keamanan pada Pemilu 2009 kita serahkan pada polisi dan Panwaslu," kata dia.

Pihaknya mengharapkan Pemilu 2009 di Aceh berjalan secara demokratis, adil dan jujur. Apalagi jika mengacu pada undang-undang, keamanan menjadi tanggungjawab polisi. "Peran dan fungsi TNI/Polri harus dipahami semua kalangan dalam rangka menjaga perdamaian di Aceh," ungkap dia.

Hal serupa diungkapkan TAF Haikal, politisi Partai Amanat Nasional (PAN) yang meminta pihak kepolisian agar lebih konsentrasi menjaga keamanan dalam Pemilu. "Jika memang dibutuhkan, TNI baru bisa diminta bantuan tenaganya," sebut dia.

Dia menambahkan, sejatinya dalam kondisi perdamaian sekarang, diberi kesempatan kepada pemilih di Aceh untuk mengekspresikan pilihannya tanpa ada tekanan dari mana pun. "Masyarakat harus bebas dari beban psikologi masa lalu ketika hidup masa konflik," sebutnya.

Haikal sepakat dengan sejumlah politisi lainnya yang menginginkan agar masalah keamanan Pemilu menjadi kewenangan polisi. "Kalau ada keterlibatan TNI untuk pengamanan, ini patut dipertanyakan, sebab Pemilu ini dilakukan secara nasional," ungkap Ketua LSM GeMPAR Aceh, Auzir Fahlevi, SH.

Kata dia, jika ada keterlibatan TNI, harus ada kebijakan khusus dari petinggi, karena tak bisa dilakukan sembarangan. Jadi, lanjut Auzir, kalau sekarang pihak Polri-lah yang sangat berkompeten untuk mengamankan Pemilu sesuai kebijakan pemerintah pusat. "Kalau ada permintaan dari Polri untuk memback-up, saya pikir itu boleh ditindaklanjuti," ujarnya.

Begitu pula dengan Rahmad Djailani dari Partai Rakyat Aceh, yang menilai TNI sama sekali tidak punya wewenang dalam pengamanan Pemilu. "Dalam persoalan Pemilu, domainnya tetap Panwaslu, kalau sudah kriminal maka Polri yang berwenang," katanya.

Dia mengingatkan, agar TNI seharusnya bisa menjaga statemen agar tidak memperkeruh suasana.
(wir/b05)

http://www.waspada.co.id/berita/pemilu-aceh-harus-bebas-tekanan.html

Transportasi darat Calang-Meulaboh digenangi air

Friday, 19 December 2008 17:33 WIB
WASPADA ONLINE

ACEH JAYA - Arus transportasi darat dari Calang Kebupaten Aceh Jaya menuju Meulaboh Kabupaten Aceh Barat selama sebulan terakhir mengalami gangguan akibat badan jalan negara digenangi air antara 50 cm hingga satu meter.

"Sudah sebulan air hujan menggenangi badan jalan negara calang-Meulaboh di kawasan hutan rawa Cot Balam, namun hingga hari ini belum ada tanda-tanda akan dilakukan penanganan," kata seorang warga Syafrizal (35) di Teunom Kabupaten Aceh Jaya, Jumat.

Genangan air di kawasan hutan rawa itu disebabkan tidak adanya saluran pembuangan /drainase sehingga air hujan menggenangi badan jalan yang lokasinya lebih rendah.

Genangan air yang terjadi selama musim hujan tersebut telah mengakibatkan badan jalan dipenuhi lubang.

Menurut Syafrizal, sejak November hingga pertengahan Desember 2008 , daerah itu sering turun hujan. Jika hujan terus berlangsung maka dipastikan ruas jalan negara tidak dapat dilewati kendaraan.

Juru bicara Kaukus Pantai Barat Selatan, TAF Haikal meminta pemerintah melalui dinas terkait untuk segera melakukan penanganan terutama di titik yang rawan banjir di sepanjang jalan negara tersebut.

"Jika tidak segera ditangani , maka dipastikan akan terjadi gangguan atau kemacetan lalu lintas, dampaknya dari segi ekonomi sangat mengganggu masyakat di Kabupaten Aceh Jaya," katanya.
(nov/ann)

http://www.waspada.co.id/berita/transportasi-darat-calang-meulaboh-digenangi-air.html

Belajar Pada Banjir

· 10/12/2008 10:58 WIB

[ penulis: TAF. Haikal | topik: Bencana Alam ]


SIKLUS di antara tanda kekuasaan Allah swt. Adanya panas matahari maka terjadi penguapan, uap air pada kondisi tertentu berubah menjadi awan. Awan berubah menjadi hujan, air yang jatuh ke bumi mengalir sebagai air permukaan, air tanah dan sebagian lagi menguap kembali.

Setiap tahunnya ketika memasuki bulan November, kita selalu dalam perasaan harap-harap cemas. Dan tahun ini hujan turun merata yang menyebabkan sejumlah wilayah menjadi banjir. Inilah yang terus menerus menjadi momok menakutkan bagi warga, terutama mereka yang hidup di pedasaan di kawasan rendah yang rawan banjir. Banjir tak hanya merendam areal pertanian rakyat, tapi menenggalamkan rumah-rumah penduduk, bahkan membawa korban jiwa semua. Kecuali itu, banjir telah menghentikan aktivitas ekonomi rakyat.

Sementara bagi sebagian warga yang tinggal di perkotaan, setiap kali hujan dengan frekwensi tinggi akan menimbulkan banjir mereka harus kerja ekstra, minimal memindahkan barang-barang mereka akan tak terendam. Kecuali itu banjir juga telah meninggalkan ekses penyakit akibat genangan air, seperti bibit jentik nyamuk sumber demam berdarah atau tipus akibat bangkai binatang yang mati.

Masalahnya, peristiwa banjir ternyata tak membuat masyarakat sadar. Aktivitas “cuek” lingkungan seperti membuang sampah serampangan, atau menutup pintu-pintu air terkesan menjadi budaya kita. Ini diperparah kebijakan pemerintah dalam penataan wwilayah ruang dan tata lingkungan yang belum baik. Buktinya, belum berselang tiga jam hujan berlangsung, jalan-jalan di tengah kota Banda Aceh misalnya telah digenangi air. Bahkan sebagian wilayah yang relative rendah, warga mulai cemas terhadap kehadiran banjir.

Berkait struktur penataan tata ruang, hampir seluruh wilayah pedesaan di Aceh, belum baik plus budaya buruk masyarakat yang tak sadar lingkungan hidup. Hal itu makin klop ketika aktivitas Illegal Logging, sebagai biang kerusakan lingkungan yang berpotensi terjadi banjir, sampai saat ini terus berlangsung, dan pemerintah Aceh seperti tak berdaya mencegahnya.

Mitigasi bencana

Bencana merupakan rangkaian peristiwa yang mengancam kehidupan masyarakat.
Faktor penyebab selain alam juga non alam yaitu faktor manusia. Itulah inti yang termaktub dalam Undang-undang nomor 24 tahun 2007 (pasal 1 ayat 1) berkait Penanggulangan Bencana. Akibat bencana adalah korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.

Banjir dan tanah longsor merupakan bencana yang dapat mengancam jiwa dan menggangu penghidupan masyarakat. Tentu, bukan untuk menghentikan agar tidak hujan, tapi bagaimana curah hujan tidak membuat banjir. Maka upaya yang dilakukan, di antaranya memperbaiki saluran-saluran air (drainase), tanggul-tanggul sungai, sehingga dalam kapasits tertentu air tidak akan memasuki pemukiman dan menghancurkan tanaman dan hasil pertanian masyarakat.

Itulah yang sebut kesadaran terhadap ancaman bencana. Dan itu sangat dibutuhkan. Menjaga lingkungan dan menumbuhkan kesadaran masyarakat, supaya lingkungan tetap bersih, tertata dan tidak membuat sumbatan sehingga air tidak tergenang.
Demikian halnya kesadaran rakyat untuk menjaga hutan dari perambahan liar (Illegal logging) agar hutan sebagai penyangga air dan penyeimbang ekosistem alam tidak rusak, tetap lestari dan bermanfaat secara berkelanjutan. Misal, kelestarian hutan yang ada pada wilayah hulu DAS (Daerah Aliran Sungai ) sangat berpengaruh terhadap distribusi air pada wilayah hilir. Sebaliknya apabila kondisi DAS tidak baik maka banjir akan terjadi walau curah hujan tidak tinggi.

Hutan dapat menahan laju turunnya air hujan, daun-daun kayu akan menahan air langit sehingga tidak langsung ke lantai hutan. Ranting, dahan dan batang akan mengalirkan air secara perlahan sampai ke bawah yang ditangkap oleh serasah hutan dan menyimpan. Kemudian mengalihkannya secara perlahan ke wilayah anak-anak sungai. Hujan pada skala tinggi menyebabkan aliran permukaan di lantai hutan terjadi dengan kayu namun dalam kenyataannya bila hujan turun dengan kapasitas yang banyak maka kemampuan hutan dalam menhan laju presipitasi air akan berkurang.

Pentingnya kesadaran masyarakat menjaga lingkungan dan hutan agar alam mampu berfungsi maksimal, suplai air pada wilayah hilir terjadi secara normal. Lebih jauh, untuk mencegah terjadinya korban yang lebih banyak, perlu dikembangkan Sistem Peringatan Dini (SPD) yaitu alat teknis untuk mengetahui dan meramalkan peristiwa datangnya bahaya dan memberi tanda siaga, dilengkapi informasi mengenai risiko yang akan muncul dari bahaya dan strategi meredam kehilangan dan kerusakan yang mungkin timbul dari kelompok rentan.

SPD melancarkan proses pengambilan keputusan dan memampukan masyarakat untuk bertindak pada waktunya yang tepat.

Anggaran bencana

Penanggulangan bencana memang butuh biaya besar. Tentu, bukan dalam program sesaat-atau ketika bencana terjadi. Inilah yang selama ini belum dilakukan pemerintah dan lembaga terkait. Yang terjadi ketika ada bencana, baru direspon dengan cara-cara emergency. Padahal sejatinya respon itu dilakukan sebelum bencana tiba. Seperti pepatah, “sebelum hujan sediakan payung”, bukan sebaliknya, baru berpikir bagaimana beli payung ketika hujan telah membuat kita basah kuyup.

Seharusnya pemerintah harus belajar ketika Aceh terus menjadi langganan banjir. Artinya perlu proses awal mitigasi dan pengendalian bencana, baik ketika terjadi maupun pascabencana berupa rehabilitasi dan rekontruksi. Bahwa terjadinya pembiayaan yang tinggi dan mahal untuk upaya keselamatan nyawa, merupakan satu kepastian yang harus dilakukan.

Ironi kita di Aceh. Pertama, dengan kondisi keuangan yang melimpah dan berlipat-lipat, ternyata begitu sulit membuat dan menjalankan kebijakan-kebijakan pembangunan dalam persfektif bencana. Harus dicatat, bahwa penggunaan anggaran pembangunan yang tidak mempertimbangkan persfektif bencana akan berdampak buruk tidak berlangsungnya pembangunan sebagai sebuah proses perubahan dan perkembangan.

Kedua, penanganan banjir tentu saja tidak akan pernah selesai hanya dengan pernyataan atau demonstrasi maupun pendekatan-pendekatan teknologi saja. Masalah banjir memerlukan pendekatan dan penanganan yang komprehensif. Mulai tingkat tindak yang bersifat regional, sampai pada upaya setempat; mulai konservasi di daerah hulu sampai perawatan saluran daerah hilir; mulai pembangunan saluran rumah sampai pembangunan waduk penahan air. Semua itu mungkin dilakukan di daerah yang saat ini sedang banyak mengelola dana pembangunannya.

Sekarang apakah itu menjadi political will penanganan bencana terhadap perencanaan, implementasi serta evaluasi yang kuat terhadap apa yang sudah dilakukan saat ini? Kita prihatin masyarakat di wilayah-wilayah yang saban tahun jadi langganan bencana, terutama wilayah tengah dan pantai barat Selatan Aceh.

*) Penulis adalah mantan Direktur Eksekutif Forum LSM Aceh, Jubir Kaukus Pantai Barat Selatan

http://serambinews.com/old/index.php?aksi=bacaopini&opinid=1938

Kamis, 11 Desember 2008

Banjir Aceh, Ruas Jalinteng Longsor


Ilustrasi longsor

Sabtu, 6 Desember 2008 | 09:58 WIB

BANDA ACEH, SABTU — Ruas jalan lintas tengah Banda Aceh-Meulaboh, Aceh kembali macet akibat badan jalan tertimbun longsor di pegunungan Tangse-Tutut, Sabtu (6/12). Lokasi longsor berada sekitar 175 km arah timur Kota Banda Aceh, tepatnya di Gunung Lhok Reuloh, Desa Iereu, atau sekitar 15 km dari pusat ibu kota Tangse di Kabupaten Pidie.

Longsor terjadi sekitar pukul 05.00, mengakibatkan puluhan kendaraan roda dua dan empat dari arah Banda Aceh-Meulaboh maupun sebaliknya terjebak kemacetan selama 210 menit. Arus transportsi kembali normal setelah warga membersihkan badan jalan yang ditutupi pohon kayu dengan menggunakan mesin pemotong.

Juru Bicara Kaukus Pantai Barat Selatan (KPBS) TAF Haikal bersama Presiden Mahasiswa Universitas Abulyatama (Unaya) Devi Satria Saputra (24) dan Ketua Himpunan Mahasiswa Aceh Selatan (HAMAS) Wawan Darmawan (21) mengatakan, bencana tanah longsor ruas jalan alternatif menuju ke wilayah di pantai barat Selatan sudah sangat sering terjadi.

"Longsor di Gunung Lhok Reuloh sudah dua kali memacetkan lalu lintas. Saya sangat prihatin terhadap kondisi jalan Banda Aceh-Meulaboh yang sering kali dilanda longsor itu. Seharusnya pihak terkait cepat tanggap terhadap kondisi ini," Kata TAF Haikal.

Ia mengharapkan Pemerintah Aceh untuk lebih serius memerhatikan sarana transportasi dari ibu kota Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam menuju ke wilayah pantai barat selatan Aceh.

Menurut Haikal, guna menjaga kelancaran arus mudik pada hari raya Idul Adha 1429 Hijriah, Pemerintah Aceh harus mendirikan posko yang dilengkapi alat berat sehingga apabila terjadi bencana dapat segera diatasi.


MSH
Sumber : Ant

KPBS Salurkan Bantuan Untuk Korban Banjir

10 Desember 2008 | 11:47 WIB


Tapaktuan ( Berita ) : Kaukus Pantai Barat Selatan (KPBS) Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam menyalurkan bantuan untuk korban banjir di Kecamatan Trumon dan Trumon Timur, Kabupaten Aceh Selatan.

“Bantuan yang kami salurkan kepada korban banjir luapan sungai Gelombang merupakan wujud kepdulian kami atas bencana yang sedang mereka hadapi,” kata Juru bicara KPBS, TAF Hiakal, di Tapaktuan, Selasa [09/12].

Bantuan yang disalurkan tersebut berupa minyak tanah, minyak makan dan makanan siap saji yang diterima oleh pengurus desa Lhok Raya, Cot Bayu dan Camat Trumon, Isa Ansari.

Berdasarkan data yang diperoleh wartawan dari Kecamatan Trumon dan Trumon Timur menyebutkan sebanyak 773 jiwa korban banjir bandang di desa Seunebok Jaya, Padang Harapan dan Ujung Tanoh masih mengungsi di tenda darurat dan di rumah famili yang tidak tergenang air.

Banjir yang terjadi sejak Minggu (30/11) juga merendam 568 unit rumah di lima desa di Kecamatan Trumon Timur yakni desa Cot Bayu, Lhok Raya, Seunebok Pusaka, Kapa Sesak di Kecamatan Trumon Timur juga digenangi air hingga mencapai 1,5 meter sehingga seribu lebih warga di daerah itu juga terpaksa mengungsi.

TAF Haikal yang didampingi anggota DPRK, Ridwan A Rahman dan beberapa pengerus partai Amanat Nasional (PAN) mengatakan, banjir luapan sungai gelombang juga telah merusak ratusan hektar lahan perkebunan dan merendam tiga unit sekolah dasar di daerah itu.

Untuk mengatasi bencana “langganan” yang terjadi pada setiap musim hujan itu, Ia mendesak pemerintah untuk segera melakukan normalisasi sungai dan membuat kanal pencegahan banjir di dua kecamatan yang berada sekitar 90 Km arah Timur ibukota Kabupaten Aceh Selatan, Tapaktuan.





Lintas Banda Aceh-Calang Lumpuh

Arus transportasi Banda Aceh-Calang, Kabupaten Aceh Jaya, melalui Ligan kembali lumpuh akibat ruas jalan di pengunungan Panteu Ligan Kabupaten Aceh Jaya tertimbun longsor sepanjang 50 meter.

“Kami sudah terjebak longsor di hutan ini sejak Minggu (30/11). Kami harap ada bantuan alat berat agar bisa terbebas dari lumpur,” kata seorang supir truk tronton, Jufri (32) di Ligan, Aceh Jaya, Selasa [09/12].

Akibat longsor di beberapa titik di sepanjang pengunungan tersebut, arus lalu lintas dari Banda Aceh-Calang hanya dapat dilewati melalui jalur Kuala Ligan dan Babah Nipah dengan menggunakan rakit penyeberangan. Jalur Kuala Ligan dan Babah Nipah hanya dapat dilalui dengan menggunakan kendaraan roda dua dan mobil berukuran kecil.

Jubir Kaukus Pantai Barat Selatan (KPBS), TAF Haikal yang terjebak longsor sejak Minggu (7/12) mengaku prihatin kondisi jalan utama menuju daerah delapan kabupaten/kota pantai barat selatan Aceh.

“Pemerintah Aceh dan pemerintah daerah setempat seharusnya tanggap dengan kondisi jalan yang kritis akibat longsor dan banjir. Pemerintah terkesan lamban menanganinya,” kata Haikal.

Ia meminta pihak terkait mensiagakan alat berat di lokasi-lokasi yang rentan bencana longsor dan banjir agar arus barang dan manusia ke wilayah tersebut bisa lancar.

Sementara itu, tokoh masyarakat Ligan, T Saudi mengatakan longsoran yang terjadi di sepanjang gunung Panteu sudah berlangsung hampir tiga bulan, namun hingga saat ini belum ada tanda-tanda akan diperbaiki. ( ant )


http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=4816882333428624582

Sabtu, 06 Desember 2008

Pemerintah Aceh belum Peka Bencana

Serambi Indonesia, 6 desember 2008

BANDA ACEH - Bencana yang nyaris tanpa henti di Aceh seharusnya
lebih meningkatkan kepekaan pemerintah daerah ini terhadap kondisi alam dengan menyiapkan berbagai strategi antisipasi sehingga bisa meminimalisir dampak risiko yang ditimbulkan.
“Ironis. Di negeri yang berteman dengan bencana, ternyata kita tak punya strategi antisipasi yang optimal,” kata Juru Bicara Kaukus Pantai Barat Selatan, TAF Haikal.

Dalam rilis yang diterima Serambi, Jumat (5/12), Haikal secara khusus menyikapi bencana banjir yang kini mengepung sebagian besar wilayah Aceh. “Memang hal itu fenomena alam. Banjir itu disebabkan karena curah hujan yang cukup tinggi di Aceh. Akan tetapi, agaknya kita perlu melakukan refleksi terhadap strategi pembangunan saat ini,” tulisnya.
Seharusnya, lanjut Haikal, Pemerintah Aceh sudah selayaknya memikirkan peta bencana Alam yang kerap terjadi di Aceh. Dengan adanya informasi tersebut, minimal pemerintah dapat mengurangi dampak risiko yang ditimbulkan dari bencana tersebut. “Menurut kami, sejauh ini strategi antisipasi bencana belum optimal dilakukan,” tandas Haikal.
Menurut Haikal, salah satu contoh tidak adanya strategi dan kepekaan terhadap bencana adalah pembangunan gudang dinas sosial untuk penempatan/penyimpanan barang kebutuhan pascabencana di kawasan Lampeuneurut, Aceh Besar.
Padahal, katanya, kalau dilihat dari intensitas bencana, banjir hampir rutin terjadi di pantai barat-selatan dan kawasan Timur Aceh. “Akan tetapi Pemerintah Aceh belum sensitif terhadap penyiapan sarana dan prasanara penanggulangan bencana,” urainya.
Juga ditegaskan, statement Gubernur Irwandi Yusuf bahwa korban banjir tidak boleh lapar harus didukung. Haikal berharap tidak cukup dengan komentar di media massa. Pemerintah Irwandi harus mewujudkan hal itu dengan pembangunan yang memperhitungkan aspek bencana.
“Sudah saatnya menyusun peta bencana di Aceh. Dengan adanya peta tersebut, banyak hal yang dapat dilakukan seperti pembangunan gudang logistik bencana di Pantai Barat Selatan Aceh dan Pantai Timur serta pembangunan infrastruktur yang lebih baik,” demikian Haikal.
Warning BMG
Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) memprakirakan potensi hujan di Aceh masih tetap terjadi hingga beberapa hari ke depan. Demikian juga dengan potensi banjir dan tanah longsor yang hingga kini masih terjadi di sejumlah daerah.
Informasi itu disampaikan Kepala BMG Blang Bintang Banda Aceh, Samsuir, kepada Serambi, Jumat (5/12). Menurutnya, saat ini kondisi cuaca Aceh masih mengalami gangguan berupa tekanan rendah yang terjadi di Samudera Hindia. Kondisi ini menyebabkan awan bergerak menggumpal di atas daratan Aceh. “Awan ini agak rendah dan sangat aktif,” ujarnya.
Samsuir menyebutkan, intensitas hujan terjadi antara ringan hingga sedang dan terjadi pada waktu pagi dan sore hari.
Sementara angin masih bertiup dari arah timur laut hingga barat laut dengan kecepatan 10 hingga 25 kilometer per jam.
“Untuk gelombang laut, di perairan barat selatan Aceh ketinggian berkisar antara 2 hingga 3 meter, sementara di perairan timur satu sampai dua setengah meter,” sebutnya.(nas/yos)