Selasa, 25 November 2008

Jalan Banda Aceh-Calang Memalukan

Serambi Indonesia Serambi, 16/02/2008

BANDA ACEH - Realisasi pembangunan jalan Banda Aceh-Calang (Aceh Jaya) yang didanai USAID, dinilai Ketua DPR Aceh, sangat memalukan, karena sudah dua tahun ditangani belum juga tampak kemajuan yang berarti. Faktor utama terhambatnya pembangunan jalan ini, karena Belem tuntasnya pembebasan tanah yang terkena proyek sebanyak 97 persil lagi.

Untuk itu, Ketua Bapel BRR NAD-Nias, Kuntoro Mangkusubroto, dan Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf, diminta harus lebih serius menangani masalah ini, karena bila tidak, Amerika sebagai negara donor bakal frustrasi dan bukan tak mungkin akan menyetop bantuannya senilai Rp 2 triliun untuk proyek jalan yang bertele-tele itu.

Pernyataan tersebut disampaikan Ketua DPRA, Sayed Fuad Zakaria SE dalam pertemuan dengan

delegasi Kaukus Pantai Barat-Selatan (KPBS) di Ruang Serbaguna Gedung Dewan, Jumat (15/2)

sore, menanggapi pertanyaan seorang peserta dialog dari Aceh Singkil. Menurut Sayed Fuad, dia juga sangat malu dan kehilangan muka melihat perkembangan jalan Banda Aceh-Calang tersebut. Dulu, sewaktu pembangunan jalan dimulai, seremonialnya dibikin besar-besaran. Saya masih ingat, waktu itu ikut menggunting pita yang dilintangkan di jalan. Tapi sudah hampir dua tahun, keadaannya begitu-begitu saja, tukas Sayed Fuad. Kita akan minta Gubernur untuk cepat menuntaskan soal pembebasan tanah itu. Karena, kalau Amerika sampai menarik dananya dari proyek itu jelas sangat merugikan kita, katanya. Ia juga menyatakan bahwa pada Senin (18/2), rombongan Kongres AS akan berkunjung ke Aceh. Selain bertemu DPRA, rombongan tersebut juga akan meninjau proyek pembangunan jalan Banda Aceh-Calang.

Mudah-mudahan mereka tidak kecewa, kata Sayed di depan hampir seratusan

anggota KPBS. Pertemuan yang digelar atas permintaan KPBS itu dihadiri Wakil Ketua DPRA, Raihan Iskandar dan sejumlah anggota dewan asal daerah pemilihan (DP) III, VII, dan VIII, seperti Almanar, Syamsul Bahri, T Bustami Puteh, Abdullah Saleh, Saifuddin Samin, Adriman Kimat, Amir Helmi, Irwansyah, Muzakki Salha, dan Harmen Nuriqman. Sedangkan dari KPBS hadir TAF Haikal selaku juru bicara, Dr Nazamuddin, Akmal Ibrahim (Bupati Abdya), Rafly, Arman, dan puluhan tokoh lainnya dari wilayah delapan kabupaten/kota tersebut.

Meliputi Aceh Jaya, Aceh Barat, Simeulue, Nagan Raya, Aceh Barat Daya (Abdya), Aceh Selatan,

Subulussalam, dan Aceh Singkil. Hadir juga sejumlah pengamat seperti Dr Iskandar Gani (Ketua

Komisi Penyiaran Independen Aceh) dan Akhiruddin Mahjuddin (Koordinator GeRAK Aceh).

Di awal sambutannya, Jubir KPBS, TAF Haikal, mengatakan kedatangan mereka ke DPRA untuk

menyampaikan pendapat dan aspirasi sehubungan dengan pembahasan Prioritas dan Plafon

Anggaran Sementara (PPAS) RAPBA Tahun 2008. Anggaran yang lumayan besar diperoleh Aceh

tahun ini diharapkan tidak melahirkan konflik baru, melainkan harus menjadi solusi dalam

membangun Aceh baru. Kami hanya meminta keadilan dalam pembangunan, katanya. Sebab, dalam PPAS-RAPBA tahun 2008, menurut TAF Haikal, masih terlihat ketidakkeberpihakan

pemerintah provinsi ke wilayah pantai barat-selatan Aceh. Lihat saja dana reguler dan otsus yang dikelola provinsi tidak adil dalam pembagiannya. Buktinya ada kabupaten yang memperoleh mencapai 40 persen lebih dari anggaran yang tersedia pada sebuah dinas. Sedangkan kami di sana cukup 0,5 persen saja, ujar Arman yang mendampingi Haikal.

Selain itu, mereka juga membeberkan sejumlah bukti bahwa jumlah anggaran yang dikucurkan ke Bireuen, kampungnya Gubernur Irwandi, relatif besar dibanding untuk berbagai kabupaten/kota di pantai barat-selatan Aceh. Terkait dengan itu, Irwandi Yusuf diminta anggota KPBS harus bisa menempatkan dirinya menjadi gubernur untuk seluruh daerah dan rakyat Aceh, tidak hanya untuk satu kelompok atau daerah saja. Saat hendak menutup acara dengar pendapat itu, Sayed Fuad Zakaria juga kembali mengulang harapan tersebut. Ya, kita harap Pak Irwandi tetap menjadi gubernur untuk seluruh orang Aceh dan seluruh daerah di Aceh.


Tidak ikhlas

Menanggapi pertanyaan dan kritik sejumlah peserta dialog itu terhadap BRR yang terkesan tidak serius membangun pantai barat-selatan, terutama Aceh Singkil dan Aceh Jaya, Sayed Fuad menyatakan akan menyampaikan aspirasi ini ke BRR. Fuad mengatakan tidak ikhlas BRR bubar apabila kewajiban-kewajibannya membangun rumah, kantor pemerintahan, dan berbagai infrastruktur lainnya yang rusak atau hancur akibat gempa dan tsunami, tidak diselesaikan secara tuntas dan tepat waktu. Bagaimana mungkin BRR menyerahkan tanggung jawabnya kepada Pemerintah Aceh atau kepada kabupaten/kota, kalau cantor bupati/walikota dan kantor DPR di daerah-daerah yang terkena tsunami, belum selesai mereka bangun, tukas Sayed Fuad. Fuad membenarkan pernyataan Ketua Bappeda Aceh Jaya dalam kesempatan itu bahwa sejumlah proyek rehab-rekon di Aceh Jaya sampai saat ini belum tuntas. Padahal Aceh Jaya paling parah terkena tsunami, ujarnya. Ia juga menyesalkan sikap diskriminatif BRR dalam penetapan dana bantuan rehab rumah untuk korban gempa di Aceh Singkil yang hanya Rp 2,5 juta. Padahal, untuk korban yang sama di wilayah Banda Aceh mendapat bantuan Rp 15 juta per unit. Kita harap, Ketua Bapel BRR memperhatikan ketimpangan ini, sebelum terjadi hal-hal yang tak diingin, kata Sayed Fuad.


Tak ditanggapi

Saat dipersilakan bicara, Akmal Ibrahim mengatakan, pihaknya mengaku sudah sangat lelah

meminta perhatian dan keadilan dari pemerintah provinsi dalam alokasi anggaran pembangunan. Saya sudah lima kali datang ke Dinas Sumber Daya Air dan meminta pemerintah mengalokasikan dana untuk pembangunan lanjutan Irigasi Sayap Kanan Krueng Susoh, tapi tidak ditanggapi. Begitu juga ke Dinas Praswil meminta alokasi dana untuk jalan di Abdya, tapi juga tidak dihiraukan, kata Akmal yang juga Bupati Abdya. Pada bagian akhir tuntutan delegasi KPBS itu, mereka meminta DPRA untuk menolak pembahasaan PPAS dengan eksekutif apabila alokasi anggarannya tidak adil secara proporsional. Sebab, tempat kami berharap hanya tinggal pada wakil- wakil kami di dewan ini, ujar Haikal.Sedangkan Dr Nazamuddin yang kelahiran Aceh Barat menyatakan, dana yang banyak mengalir ke Aceh tapi pembagiannya ke daerah-daerah tertentu sangat minim, jangan sampai menjadi sumber perpecahan di Aceh. Ia berharap, wakil- wakil masyarakat pantai barat selatan di DPRA dapat memperjuangkan aspirasi tersebut, sehingga tidak menimbulkan kekecewaan dari tahun ke tahun. Menanggapi komentar-komentar itu, Ketua DPRA, Sayed Fuad Zakaria mengakui bahwa selama ini alokasi anggaran pembangunan belum dilakukan secara adil dengan memperhatikan indikator luas

wilayah, jumlah penduduk, keterbelakangan dan ketinggalan, serta angka kemiskinan. Saya tidak mengatakan barat-selatan saja yang tidak diperhatikan, tapi wilayah lain juga sama seperti wilayah tengah. Maka untuk ini kami di dewan akan memperjuangkan aspirasi ini, katanya. Sedangkan sejumlah anggota dewan yang hadir dalam pertemuan itu sepakat untuk menolak ikut dalam pembahasan PPAS apabila pihak eksekutif tidak adil dalam pengalokasian anggaran dengan melihat indikator keterbelakangan daerah, luas wilayah, jumlah penduduk, angka kemiskinan, dan hal lainnya. Kita tetap akan tolak dan bila perlu akan walk out dari ruang rapat apabila hal ini tidak diperhatikan, ujar Harmen Nuriqmar yang diamini Almanar, Irwansyah, dan Saifuddin Samin. Di akhir acara, TAF Haikal menyerahkan dokumen hasil pencermatan mereka terhadap PPAS-RAPBA 2008 yang diserahkan kepada Ketua DPRA, Sayed Fuad Zakaria. (sup)

Tidak ada komentar: