Kamis, 25 Desember 2008

Proses Rehab-Rekon belum Selesai

Serambi Indonesia, 26 Desember 2008
BANDA ACEH - Hari ini, Jumat (26/12), bencana gempa dan tsunami yang meluluhlantakkan sebagian Aceh, genap empat tahun. Ini merupakan tonggak sejarah yang perlu direnungi dan dikenang setiap tahun. Meski, proses rehabilitasi dan rekonstruksi (rehab-rekon) akibat peristiwa 26 Desember 2004 lalu itu, yang selama ini dimotori BRR NAD-Nias, masih menyisakan banyak masalah.
Demikian sari pendapat yang disampaikan oleh berbagai komponen masyarakat seperti Sekjen Panglima Laot Aceh M Adli Abdullah, Juru Bicara Kaukus Pantai Barat Selatan (KPBS) TAF Haikal, dan Pjs Koordinator GeRAK Aceh Askhalani, terkait peringatan empat tahun tsunami, kepada Serambi, Kamis (25/12).

Menurut Adli Abdullah, rakyat Aceh diingatkan, saat ini ada proses rehab rekon yang belum selesai meskipun sudah empat tahun proses rekontruksi berlangsung di Aceh. “Paling kurang masih ada 3.000 korban tsunami yang masih tinggal di barak. Kita perlu ingat ini harus dituntaskan sebelum BRR bubar,” ujarnya. Dikatakannya, masyarakat Aceh di pesisir harus siap mengantisipasi bom waktu seiring berakhirnya mandat BRR NAD-Nias pada April 2009. Di antaranya, masih ada proyek infrastruktur, termasuk rumah yang rusak karena mutu bangunannya di bawah standar. “Semua ini menjadi kerja tambahan bagi Pemerintah Aceh,” tegasnya.

Pada peringatan empat tahun tsunami ini, Panglima Laot juga mengingatkan agar para nelayan di seluruh Aceh untuk tidak melaut pada 26 Desember dan memperbanyak doa untuk mengenang para korban yang meninggal.

Sementara sorotan kepada BRR juga datang dari Gerak Aceh. Pjs Gerak Aceh, Askhalani menyebutkan, empat tahun tsunami Aceh ternyata masih banyak ditemukan proses rehab-rekon yang belum tuntas dan makin tingginya terjadi kasus yang berpotensi korupsi. “Kedua persoalan ini adalah kegagalan yang terstruktur. BRR NAD-Nias harus bertanggung jawab,” ungkapnya.

Berdasarkan hasil monitoring pihaknya, sebut Askhalani, masih banyak rumah bagi para korban tsunami yang belum selesai dibangun, di antaranya di Aceh Barat, Aceh Jaya, Singkil, dan Simeulue dengan kebutuhan rata-rata di atas seribu unit tiap-tiap kabupaten.

Sementara itu Juru Bicara KPBS, TAF Haikal menyorot, hingga kini salah satu persoalan yang dihadapi masyarakat di kawasan itu terkait belum tuntasnya pembangunan lintasan Banda Aceh-Meulaboh yang didanai USAID. Menurutnya, jalan yang menghubungkan ibukota Provinsi Aceh menuju Kota Meulaboh belum juga menunjukkan perkembangan yang pesat. “Banyak persoalan yang dihadapi dalam menyelesaikan pembangunan jalan tersebut. Menurut kami jalan ini sangat strategis dan penting untuk menjadi prioritas,” tegasnya. Dia sebutkan, saat ini terdapat tiga jalur menuju pantai barat-selatan Aceh. Jalur dari Medan melalui Aceh Selatan, jalur tengah melalui Geumpang dan Calang. Namun, katanya, ketiga jalur ini kondisinya sangat memprihatinkan. “Jika jalur ini putus akibat banjir dan longsor, hal ini akan berakibat pada melonjaknya harga kebutuhan pokok. Oleh karena itu, jalan strategis itu mutlak harus diselesaikan,” kata Haikal. Dia juga menambahkan, sisa waktu sebelum BRR bubar, diharapkan program pembangunan rumah bagi korban tsunami harus dituntaskan dengan tetap mengacu pada kualitas rumah yang dibangun.(sar/nal)

Sabtu, 20 Desember 2008

Sengkarut Panwaslu Aceh

Saturday, 20 December 2008 15:15 WIB
MUNAWARDI ISMAIL
WASPADA ONLINE

PEMILU di Aceh kali ini punya corak yang berbeda. Partai-partai politik yang akan bertarung di tanah rencong diramaikan dengan kehadiran partai lokal. Partai 'made in' Serambi Makkah itu akan berupaya mendongkel dominasi partai nasional dalam meraih kursi di legislatif. Sialnya, sampai hari ini posisi 'wasit' mulai mengerucut.

Yusra Jamali mungkin sudah lelah berpolemik, sehingga dia mengundurkan diri dalam fit and proper test yang dilakukan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dua hari lalu di Banda Aceh. Dia salah satu dari lima anggota Panwaslu Aceh, yang lelah menunggu pelantikan. Empat lainnya adalah Nyak Arief Fadhillah, Rasyidin Hamin, Radhiana, dan Asqalani.

Kasus Panwaslu Aceh memang sudah lama berbelit-belit. Jalan panjang itu dimulai dari dualisme hukum berkaitan dengan pembentukan lembaga itu. Komisi Pemilihan Umum pusat ingin pembentukan serta pelantikan anggota panwaslu di Aceh merujuk pada UU No 22 tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilu dan Peraturan KPU Nomor 14 Tahun 2008.

Sedang Dewan Perwakilan Rakyat Aceh berpedoman pada UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dan Qanun Nomor 7 Tahun 2007. Dengan aturan itu, lembaga legislatif itu berwenang menyeleksi dan menetapkan anggota Panwaslu Aceh.

Masalah itu tambah mencelat, ketika DPR Aceh tetap mengukuhkan lima anggota panitia pengawas pemilu, pada 5 Juni 2008. Kelimanya adalah Nyak Arief Fadhillah, Rasyidin Hamin, Radhiana, Yusra Jamali dan Asqalani. Nama-nama itu dikirim ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) di Jakarta.

Akibatnya bisa ditebak, Bawaslu dan KPU menolak. Gara-gara penolakan pelantikan inilah yang menyebabkan anggota Panwaslu Aceh yang sudah direkrut oleh DPRA belum dilantik. Imbasnya, Panwaslu kabupaten dan kota juga tidak dapat dilantik, sehingga tugas-tugas pengawasan terhadap jalannya pemilu di Aceh tidak dapat dilaksanakan.

Pengamat politik Universitas Syiah Kuala, Mawardi Ismail, SH, M.Hum punya pandangan tersendiri terhadap polemik ini. Ternyata, penafsiran antara yang di Jakarta dengan Aceh berbeda. Memang ada dualisme hukum di sana. Namun, yang membuat dia geleng-geleng kepala, kasus ini diselesaikan lewat korespondensi (surat menyurat) bukan melalui aturan hukum.

Korespondensi yang dimaksud dekan Fakultas Hukum Unsyiah itu tak lain surat penolakan yang dikirim Bawaslu ke DPR Aceh. Kemudian giliran legislatif Aceh membalas surat itu. Begitu pula hal yang sama juga dilakukan KPU. Mereka meminta Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh untuk menyeleksi ulang anggota Panwaslu yang dimaksud.

Jika kasusnya seperti itu, menurut Mawardi, ada mekanisme hukum yang harus ditempuh untuk mengoreksi Qanun No.7 Tahun 2007 sebagai landasan membentuk Panwaslu di Aceh. Kata dia, berlarutnya pembentukan Panwaslu itu akibat adanya penafsiran antara pusat dan daerah.

"Daerah menafsirkan Panwaslu termasuk melaksanakan pemilu legislatif dan presiden, sedangkan pusat berpikir Panwas yang diatur dalam UU No.11 tahun 2006 tidak ikut mengawasi ini," beber mantan anggota DPRD DI Aceh itu.

Ketidaksetujuan pusat terhadap Qanun itu, hingga kini berbuntut panjang. Mawardi mengkritik. Sejatinya, jika ada perbedaan penafsiran dan pusat --terutama lembaga semacam KPU dan Bawaslu --yang menganggap isi qanun yang diatur daerah tidak benar, maka untuk mengoreksinya harus ditempuh sesuai mekanisme.

Mekanisme itu, lanjut dia dengan peraturan presiden yang bisa membatalkan Qanun itu. "Kalau tidak bisa lewat Perpres karena sudah lewat 60 hari, maka bisa ditempuh lewat yudicial review," sebut ahli hukum tata negara ini.

Nah, dengan demikian, ada kepastian hukum terhadap setiap produk hukum. "Perbaikan atau koreksi terhadap putusan daerah tidak ditunjukkan dengan bentuk surat menyurut. Yang kita lihat kemarin kan itu," ujarnya.

"Jadi ketidaksetujuan sah, tapi harus dilakukan dengan mekanisme yang sah. Selama ini kita lihat pusat tidak menempuh mekanisme yang diatur perundang-undangan. Makanya, jika ada daerah yang mengerti tak terima hal seperti itu. Seharusnya, pusat memberi contoh yang baik untuk daerah," ungkap Mawardi.

Kenapa pusat tak setuju? Sebenarnya ketidaksetujuan pusat bukan pada substansinya, tapi pada mekanismenya. Pada sisi lain dia melihat kenapa persoalan jumlah anggota Panwas Aceh tidak menjadi masalah.

Kata dia, jika melihat surat dari Bawaslu kepada DPRA dan Pemerintah Aceh, mereka tidak menyebutkan tak boleh lima orang, tiga diangkat Bawaslu, sisanya diangkat daerah. "Kalau soal anggaran itu bisa dinegosiasikan."

Sebagai pengamat, Mawardi mengaku setuju Panwaslu Aceh dihuni lima personel. Karena beban yang ditanggung KIP dan Panwaslu di Aceh sangat berat. Berat? Ya, karena di Aceh selain ada partai nasional, juga terdapat partai lokal yang akan ikut mengutip suara dalam Pemilu 2009 nanti.

Pada sisi lain, dia menilai ketidakadaan Panwaslu bukan berarti pengawasan itu tidak ada. Jika tak ada pengawas khusus, maka pengawas umum harus berfungsi. Pengawas umum yang dimaksud Mawardi adalah polisi dan jaksa. "Tak ada Panwaslu bukan berarti pengawas pemilu tak ada, kalau sudah masuk wilayah pidana itu urusan polisi dan jaksa," ulasnya.

Pendapat penuh khawatir juga dilontarkan Manager Aceh Justice Resource Center (AJRC), Dr. Saleh Sjafei. Dia kondisi persiapan Pemilu yang kurang menguntungkan itu berpotensi dan dapat menjadi ancaman bagi kelanggengan perdamaian di Aceh yang baru saja beberapa tahun terwujud.

"Panwaslu harus segera dibentuk untuk mengurangi ancaman keutuhan perdamaian Aceh," katanya singkat.

Kerikil-kerikil yang dikhawatirkan Sjafei itu, mulai terbukti saat Kasibun Daulay, Komandan Lapangan Brigade 8 PKS Aceh, melihat bendera partainya dicomot simpatisan partai lain. Kasibun dan petinggi PKS pun mencak-mencak. Tak tahu harus menyeret kemana si pelaku.

Dia cuma berharap seluruh parpol yang sudah mendeklarasikan pemilu damai, dapat mengimplementasikan hingga ke tingkat bawah. Karena tak ada Panwaslu, dia hanya bisa berharap pihak keamanan dapat bertindak lebih tegas dalam mengamankan pemilu di Aceh ke depan.

Berpikir jernih

Menyikapi itu, akademisi Unsyiah lainnya, Taqwaddin, SH, SE, MS mendesak Bawaslu Pusat berpikir arif dan jernih dalam menyikapi masalah Panwaslu Aceh. Kata dia, Bawaslu tidak perlu menunda pelantikan Panwaslu Aceh karena masa kampanye terbatas telah dimulai sejak 12 Juli 2008, sementara petugas yang mengawasi pelaksanaan pemilu di daerah ini belum ada.

Kata dia, mestinya Bawaslu perlu memahami bahwa Aceh sebagai daerah "khusus" dengan otonominya yang luas harus adanya kebijakan tersediri yang mengadopsi peraturan secara nasional dengan yang berlaku di daerah ini. Dia mencontohkan Undang-Undang nomor 11/2006 tentang penyelenggaraan Pemerintahan di Aceh.

Kandidat doktor Ilmu Hukum ini menambahkan, selama ini semua aktivitas di Aceh, mengacu kepada UU No.11/2006. "Begitu juga dalam hal pembentukan Panwaslu, harus dicarikan solusi secara arif agar pelaksanaan kampanye Pemilu 2009 berjalan secara adil, jujur, demokratis dan tanpa cacat," ungkap dosen Fakultas Hukum ini.

Sehingga, tambah dia, perbedaan antara UU nomor 11/2006 dengan produksi hukum lainnya tidak perlu dipertentangkan. Tertundanya pengesahan dan pelantikan Panwaslus Aceh, kata Taqwaddin, lebih terkait karena perbedaan pemahaman antara UU nomor 22/2007 tentang penyelenggaraan pemilu dengan UU nomor 11/2006 dalam hal rekrutmen calon anggota Panwaslu Aceh harus segera diakhiri.

"UU Pemerintahan Aceh itu harus dipandang sebagai lex seperior dan sekaligus lex spesialis untuk Aceh. Seharusnya, apa yang ditentukan dalam UUPA bahwa anggota panwaslus masing-masing sebanyak lima orang diusulkan DPRA merupakan ketentuan khusus yang harus dijadikan acuan oleh Bawaslu," papar dia lagi.

Apalagi, lanjutnya, UU penyelenggara pemilu maupun UUPA, yang berbeda hanya tentang lembaga yang merekrut. Yang penting lembaga yang melantiknya Panwaslu adalah Bawaslu Pusat. Bukan siapa yang berhak merekrut tetapi yang terpenting diakui ekistensinya," tambah Taqwaddin.

Sementara, TAF Haikal, salah seorang calon legislatif untuk DPR-RI mengatakan sudah seharusnya Panwaslu berada di Aceh seperti daerah lain. "Harus segera ada kebikan yang dilakukan karena eskalasi konflik pemilu akan terbuka lebar dengan adanya parlok di Aceh," sebut dia.

Katanya, jika Panwas tidak ada, akan membuat KIP tidak punya mitra dalam melakukan tahapan-tahapan pelaksanaan pemilu di Aceh. "Juga dapat merugikan partai-partai, serta pengawasan sengketa pengawasan pemilu menjadi lebih rumit," pungkas Haikal.

Syukurlah, kini masalah tersebut bakal segera pamungkas. Segala tafsir segera berakhir. Pasalnya, Bawaslu sudah menyeleksi para kandidat yang sudah dipilih DPRA sebelumnya. Semoga ini tidak lagi membawa sengkarut bagi Pemilu Aceh nanti.
(wir)

http://www.waspada.co.id/berita/sengkarut-panwaslu-aceh.html

Pemilu Aceh harus bebas tekanan

Saturday, 20 December 2008 11:20 WIB
WASPADA ONLINE

BANDA ACEH - Sejumlah elemen sipil di Aceh mendesak agar pemilihan umum di Aceh pada 2009 nanti berlangsung tanpa tekanan. Pemilu kali ini diharapkan bisa berlangsung tanpa tekanan psikologis seperti masa konflik dan darurat militer.

Harapan itu diungkapkan dalam rangka menciptakan pemilu yang berbeda, agar tidak sama seperti masa dulu. "Selama ini kondisi psikologis masyarakat Aceh masih trauma akibat konflik yang berkepanjangan, kita harapkan Pemilu nanti berbeda dengan masa lalu," ungkap Ibrahim Syamsuddin, dari Partai Aceh, kepada wartawan di Banda Aceh.

Disebutkan, sejatinya pada Pemilu nanti, tidak akan berdampak pada psikologis bagi pemilih. Sehingga bisa independen dan tanpa rasa takut dan tekanan dan teror, baik psikologis maupun fisik oleh siapa pun.

"Kami mengharapkan semua pihak untuk dapat memahami kondisi transisi politik yang sedang terjadi di Aceh. Jangan ada tindakan-tindakan dan penyataan mengarah pada ancaman perdamaian di Aceh. Biarlah fungsi keamanan pada Pemilu 2009 kita serahkan pada polisi dan Panwaslu," kata dia.

Pihaknya mengharapkan Pemilu 2009 di Aceh berjalan secara demokratis, adil dan jujur. Apalagi jika mengacu pada undang-undang, keamanan menjadi tanggungjawab polisi. "Peran dan fungsi TNI/Polri harus dipahami semua kalangan dalam rangka menjaga perdamaian di Aceh," ungkap dia.

Hal serupa diungkapkan TAF Haikal, politisi Partai Amanat Nasional (PAN) yang meminta pihak kepolisian agar lebih konsentrasi menjaga keamanan dalam Pemilu. "Jika memang dibutuhkan, TNI baru bisa diminta bantuan tenaganya," sebut dia.

Dia menambahkan, sejatinya dalam kondisi perdamaian sekarang, diberi kesempatan kepada pemilih di Aceh untuk mengekspresikan pilihannya tanpa ada tekanan dari mana pun. "Masyarakat harus bebas dari beban psikologi masa lalu ketika hidup masa konflik," sebutnya.

Haikal sepakat dengan sejumlah politisi lainnya yang menginginkan agar masalah keamanan Pemilu menjadi kewenangan polisi. "Kalau ada keterlibatan TNI untuk pengamanan, ini patut dipertanyakan, sebab Pemilu ini dilakukan secara nasional," ungkap Ketua LSM GeMPAR Aceh, Auzir Fahlevi, SH.

Kata dia, jika ada keterlibatan TNI, harus ada kebijakan khusus dari petinggi, karena tak bisa dilakukan sembarangan. Jadi, lanjut Auzir, kalau sekarang pihak Polri-lah yang sangat berkompeten untuk mengamankan Pemilu sesuai kebijakan pemerintah pusat. "Kalau ada permintaan dari Polri untuk memback-up, saya pikir itu boleh ditindaklanjuti," ujarnya.

Begitu pula dengan Rahmad Djailani dari Partai Rakyat Aceh, yang menilai TNI sama sekali tidak punya wewenang dalam pengamanan Pemilu. "Dalam persoalan Pemilu, domainnya tetap Panwaslu, kalau sudah kriminal maka Polri yang berwenang," katanya.

Dia mengingatkan, agar TNI seharusnya bisa menjaga statemen agar tidak memperkeruh suasana.
(wir/b05)

http://www.waspada.co.id/berita/pemilu-aceh-harus-bebas-tekanan.html

Transportasi darat Calang-Meulaboh digenangi air

Friday, 19 December 2008 17:33 WIB
WASPADA ONLINE

ACEH JAYA - Arus transportasi darat dari Calang Kebupaten Aceh Jaya menuju Meulaboh Kabupaten Aceh Barat selama sebulan terakhir mengalami gangguan akibat badan jalan negara digenangi air antara 50 cm hingga satu meter.

"Sudah sebulan air hujan menggenangi badan jalan negara calang-Meulaboh di kawasan hutan rawa Cot Balam, namun hingga hari ini belum ada tanda-tanda akan dilakukan penanganan," kata seorang warga Syafrizal (35) di Teunom Kabupaten Aceh Jaya, Jumat.

Genangan air di kawasan hutan rawa itu disebabkan tidak adanya saluran pembuangan /drainase sehingga air hujan menggenangi badan jalan yang lokasinya lebih rendah.

Genangan air yang terjadi selama musim hujan tersebut telah mengakibatkan badan jalan dipenuhi lubang.

Menurut Syafrizal, sejak November hingga pertengahan Desember 2008 , daerah itu sering turun hujan. Jika hujan terus berlangsung maka dipastikan ruas jalan negara tidak dapat dilewati kendaraan.

Juru bicara Kaukus Pantai Barat Selatan, TAF Haikal meminta pemerintah melalui dinas terkait untuk segera melakukan penanganan terutama di titik yang rawan banjir di sepanjang jalan negara tersebut.

"Jika tidak segera ditangani , maka dipastikan akan terjadi gangguan atau kemacetan lalu lintas, dampaknya dari segi ekonomi sangat mengganggu masyakat di Kabupaten Aceh Jaya," katanya.
(nov/ann)

http://www.waspada.co.id/berita/transportasi-darat-calang-meulaboh-digenangi-air.html

Belajar Pada Banjir

· 10/12/2008 10:58 WIB

[ penulis: TAF. Haikal | topik: Bencana Alam ]


SIKLUS di antara tanda kekuasaan Allah swt. Adanya panas matahari maka terjadi penguapan, uap air pada kondisi tertentu berubah menjadi awan. Awan berubah menjadi hujan, air yang jatuh ke bumi mengalir sebagai air permukaan, air tanah dan sebagian lagi menguap kembali.

Setiap tahunnya ketika memasuki bulan November, kita selalu dalam perasaan harap-harap cemas. Dan tahun ini hujan turun merata yang menyebabkan sejumlah wilayah menjadi banjir. Inilah yang terus menerus menjadi momok menakutkan bagi warga, terutama mereka yang hidup di pedasaan di kawasan rendah yang rawan banjir. Banjir tak hanya merendam areal pertanian rakyat, tapi menenggalamkan rumah-rumah penduduk, bahkan membawa korban jiwa semua. Kecuali itu, banjir telah menghentikan aktivitas ekonomi rakyat.

Sementara bagi sebagian warga yang tinggal di perkotaan, setiap kali hujan dengan frekwensi tinggi akan menimbulkan banjir mereka harus kerja ekstra, minimal memindahkan barang-barang mereka akan tak terendam. Kecuali itu banjir juga telah meninggalkan ekses penyakit akibat genangan air, seperti bibit jentik nyamuk sumber demam berdarah atau tipus akibat bangkai binatang yang mati.

Masalahnya, peristiwa banjir ternyata tak membuat masyarakat sadar. Aktivitas “cuek” lingkungan seperti membuang sampah serampangan, atau menutup pintu-pintu air terkesan menjadi budaya kita. Ini diperparah kebijakan pemerintah dalam penataan wwilayah ruang dan tata lingkungan yang belum baik. Buktinya, belum berselang tiga jam hujan berlangsung, jalan-jalan di tengah kota Banda Aceh misalnya telah digenangi air. Bahkan sebagian wilayah yang relative rendah, warga mulai cemas terhadap kehadiran banjir.

Berkait struktur penataan tata ruang, hampir seluruh wilayah pedesaan di Aceh, belum baik plus budaya buruk masyarakat yang tak sadar lingkungan hidup. Hal itu makin klop ketika aktivitas Illegal Logging, sebagai biang kerusakan lingkungan yang berpotensi terjadi banjir, sampai saat ini terus berlangsung, dan pemerintah Aceh seperti tak berdaya mencegahnya.

Mitigasi bencana

Bencana merupakan rangkaian peristiwa yang mengancam kehidupan masyarakat.
Faktor penyebab selain alam juga non alam yaitu faktor manusia. Itulah inti yang termaktub dalam Undang-undang nomor 24 tahun 2007 (pasal 1 ayat 1) berkait Penanggulangan Bencana. Akibat bencana adalah korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.

Banjir dan tanah longsor merupakan bencana yang dapat mengancam jiwa dan menggangu penghidupan masyarakat. Tentu, bukan untuk menghentikan agar tidak hujan, tapi bagaimana curah hujan tidak membuat banjir. Maka upaya yang dilakukan, di antaranya memperbaiki saluran-saluran air (drainase), tanggul-tanggul sungai, sehingga dalam kapasits tertentu air tidak akan memasuki pemukiman dan menghancurkan tanaman dan hasil pertanian masyarakat.

Itulah yang sebut kesadaran terhadap ancaman bencana. Dan itu sangat dibutuhkan. Menjaga lingkungan dan menumbuhkan kesadaran masyarakat, supaya lingkungan tetap bersih, tertata dan tidak membuat sumbatan sehingga air tidak tergenang.
Demikian halnya kesadaran rakyat untuk menjaga hutan dari perambahan liar (Illegal logging) agar hutan sebagai penyangga air dan penyeimbang ekosistem alam tidak rusak, tetap lestari dan bermanfaat secara berkelanjutan. Misal, kelestarian hutan yang ada pada wilayah hulu DAS (Daerah Aliran Sungai ) sangat berpengaruh terhadap distribusi air pada wilayah hilir. Sebaliknya apabila kondisi DAS tidak baik maka banjir akan terjadi walau curah hujan tidak tinggi.

Hutan dapat menahan laju turunnya air hujan, daun-daun kayu akan menahan air langit sehingga tidak langsung ke lantai hutan. Ranting, dahan dan batang akan mengalirkan air secara perlahan sampai ke bawah yang ditangkap oleh serasah hutan dan menyimpan. Kemudian mengalihkannya secara perlahan ke wilayah anak-anak sungai. Hujan pada skala tinggi menyebabkan aliran permukaan di lantai hutan terjadi dengan kayu namun dalam kenyataannya bila hujan turun dengan kapasitas yang banyak maka kemampuan hutan dalam menhan laju presipitasi air akan berkurang.

Pentingnya kesadaran masyarakat menjaga lingkungan dan hutan agar alam mampu berfungsi maksimal, suplai air pada wilayah hilir terjadi secara normal. Lebih jauh, untuk mencegah terjadinya korban yang lebih banyak, perlu dikembangkan Sistem Peringatan Dini (SPD) yaitu alat teknis untuk mengetahui dan meramalkan peristiwa datangnya bahaya dan memberi tanda siaga, dilengkapi informasi mengenai risiko yang akan muncul dari bahaya dan strategi meredam kehilangan dan kerusakan yang mungkin timbul dari kelompok rentan.

SPD melancarkan proses pengambilan keputusan dan memampukan masyarakat untuk bertindak pada waktunya yang tepat.

Anggaran bencana

Penanggulangan bencana memang butuh biaya besar. Tentu, bukan dalam program sesaat-atau ketika bencana terjadi. Inilah yang selama ini belum dilakukan pemerintah dan lembaga terkait. Yang terjadi ketika ada bencana, baru direspon dengan cara-cara emergency. Padahal sejatinya respon itu dilakukan sebelum bencana tiba. Seperti pepatah, “sebelum hujan sediakan payung”, bukan sebaliknya, baru berpikir bagaimana beli payung ketika hujan telah membuat kita basah kuyup.

Seharusnya pemerintah harus belajar ketika Aceh terus menjadi langganan banjir. Artinya perlu proses awal mitigasi dan pengendalian bencana, baik ketika terjadi maupun pascabencana berupa rehabilitasi dan rekontruksi. Bahwa terjadinya pembiayaan yang tinggi dan mahal untuk upaya keselamatan nyawa, merupakan satu kepastian yang harus dilakukan.

Ironi kita di Aceh. Pertama, dengan kondisi keuangan yang melimpah dan berlipat-lipat, ternyata begitu sulit membuat dan menjalankan kebijakan-kebijakan pembangunan dalam persfektif bencana. Harus dicatat, bahwa penggunaan anggaran pembangunan yang tidak mempertimbangkan persfektif bencana akan berdampak buruk tidak berlangsungnya pembangunan sebagai sebuah proses perubahan dan perkembangan.

Kedua, penanganan banjir tentu saja tidak akan pernah selesai hanya dengan pernyataan atau demonstrasi maupun pendekatan-pendekatan teknologi saja. Masalah banjir memerlukan pendekatan dan penanganan yang komprehensif. Mulai tingkat tindak yang bersifat regional, sampai pada upaya setempat; mulai konservasi di daerah hulu sampai perawatan saluran daerah hilir; mulai pembangunan saluran rumah sampai pembangunan waduk penahan air. Semua itu mungkin dilakukan di daerah yang saat ini sedang banyak mengelola dana pembangunannya.

Sekarang apakah itu menjadi political will penanganan bencana terhadap perencanaan, implementasi serta evaluasi yang kuat terhadap apa yang sudah dilakukan saat ini? Kita prihatin masyarakat di wilayah-wilayah yang saban tahun jadi langganan bencana, terutama wilayah tengah dan pantai barat Selatan Aceh.

*) Penulis adalah mantan Direktur Eksekutif Forum LSM Aceh, Jubir Kaukus Pantai Barat Selatan

http://serambinews.com/old/index.php?aksi=bacaopini&opinid=1938

Kamis, 11 Desember 2008

Banjir Aceh, Ruas Jalinteng Longsor


Ilustrasi longsor

Sabtu, 6 Desember 2008 | 09:58 WIB

BANDA ACEH, SABTU — Ruas jalan lintas tengah Banda Aceh-Meulaboh, Aceh kembali macet akibat badan jalan tertimbun longsor di pegunungan Tangse-Tutut, Sabtu (6/12). Lokasi longsor berada sekitar 175 km arah timur Kota Banda Aceh, tepatnya di Gunung Lhok Reuloh, Desa Iereu, atau sekitar 15 km dari pusat ibu kota Tangse di Kabupaten Pidie.

Longsor terjadi sekitar pukul 05.00, mengakibatkan puluhan kendaraan roda dua dan empat dari arah Banda Aceh-Meulaboh maupun sebaliknya terjebak kemacetan selama 210 menit. Arus transportsi kembali normal setelah warga membersihkan badan jalan yang ditutupi pohon kayu dengan menggunakan mesin pemotong.

Juru Bicara Kaukus Pantai Barat Selatan (KPBS) TAF Haikal bersama Presiden Mahasiswa Universitas Abulyatama (Unaya) Devi Satria Saputra (24) dan Ketua Himpunan Mahasiswa Aceh Selatan (HAMAS) Wawan Darmawan (21) mengatakan, bencana tanah longsor ruas jalan alternatif menuju ke wilayah di pantai barat Selatan sudah sangat sering terjadi.

"Longsor di Gunung Lhok Reuloh sudah dua kali memacetkan lalu lintas. Saya sangat prihatin terhadap kondisi jalan Banda Aceh-Meulaboh yang sering kali dilanda longsor itu. Seharusnya pihak terkait cepat tanggap terhadap kondisi ini," Kata TAF Haikal.

Ia mengharapkan Pemerintah Aceh untuk lebih serius memerhatikan sarana transportasi dari ibu kota Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam menuju ke wilayah pantai barat selatan Aceh.

Menurut Haikal, guna menjaga kelancaran arus mudik pada hari raya Idul Adha 1429 Hijriah, Pemerintah Aceh harus mendirikan posko yang dilengkapi alat berat sehingga apabila terjadi bencana dapat segera diatasi.


MSH
Sumber : Ant

KPBS Salurkan Bantuan Untuk Korban Banjir

10 Desember 2008 | 11:47 WIB


Tapaktuan ( Berita ) : Kaukus Pantai Barat Selatan (KPBS) Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam menyalurkan bantuan untuk korban banjir di Kecamatan Trumon dan Trumon Timur, Kabupaten Aceh Selatan.

“Bantuan yang kami salurkan kepada korban banjir luapan sungai Gelombang merupakan wujud kepdulian kami atas bencana yang sedang mereka hadapi,” kata Juru bicara KPBS, TAF Hiakal, di Tapaktuan, Selasa [09/12].

Bantuan yang disalurkan tersebut berupa minyak tanah, minyak makan dan makanan siap saji yang diterima oleh pengurus desa Lhok Raya, Cot Bayu dan Camat Trumon, Isa Ansari.

Berdasarkan data yang diperoleh wartawan dari Kecamatan Trumon dan Trumon Timur menyebutkan sebanyak 773 jiwa korban banjir bandang di desa Seunebok Jaya, Padang Harapan dan Ujung Tanoh masih mengungsi di tenda darurat dan di rumah famili yang tidak tergenang air.

Banjir yang terjadi sejak Minggu (30/11) juga merendam 568 unit rumah di lima desa di Kecamatan Trumon Timur yakni desa Cot Bayu, Lhok Raya, Seunebok Pusaka, Kapa Sesak di Kecamatan Trumon Timur juga digenangi air hingga mencapai 1,5 meter sehingga seribu lebih warga di daerah itu juga terpaksa mengungsi.

TAF Haikal yang didampingi anggota DPRK, Ridwan A Rahman dan beberapa pengerus partai Amanat Nasional (PAN) mengatakan, banjir luapan sungai gelombang juga telah merusak ratusan hektar lahan perkebunan dan merendam tiga unit sekolah dasar di daerah itu.

Untuk mengatasi bencana “langganan” yang terjadi pada setiap musim hujan itu, Ia mendesak pemerintah untuk segera melakukan normalisasi sungai dan membuat kanal pencegahan banjir di dua kecamatan yang berada sekitar 90 Km arah Timur ibukota Kabupaten Aceh Selatan, Tapaktuan.





Lintas Banda Aceh-Calang Lumpuh

Arus transportasi Banda Aceh-Calang, Kabupaten Aceh Jaya, melalui Ligan kembali lumpuh akibat ruas jalan di pengunungan Panteu Ligan Kabupaten Aceh Jaya tertimbun longsor sepanjang 50 meter.

“Kami sudah terjebak longsor di hutan ini sejak Minggu (30/11). Kami harap ada bantuan alat berat agar bisa terbebas dari lumpur,” kata seorang supir truk tronton, Jufri (32) di Ligan, Aceh Jaya, Selasa [09/12].

Akibat longsor di beberapa titik di sepanjang pengunungan tersebut, arus lalu lintas dari Banda Aceh-Calang hanya dapat dilewati melalui jalur Kuala Ligan dan Babah Nipah dengan menggunakan rakit penyeberangan. Jalur Kuala Ligan dan Babah Nipah hanya dapat dilalui dengan menggunakan kendaraan roda dua dan mobil berukuran kecil.

Jubir Kaukus Pantai Barat Selatan (KPBS), TAF Haikal yang terjebak longsor sejak Minggu (7/12) mengaku prihatin kondisi jalan utama menuju daerah delapan kabupaten/kota pantai barat selatan Aceh.

“Pemerintah Aceh dan pemerintah daerah setempat seharusnya tanggap dengan kondisi jalan yang kritis akibat longsor dan banjir. Pemerintah terkesan lamban menanganinya,” kata Haikal.

Ia meminta pihak terkait mensiagakan alat berat di lokasi-lokasi yang rentan bencana longsor dan banjir agar arus barang dan manusia ke wilayah tersebut bisa lancar.

Sementara itu, tokoh masyarakat Ligan, T Saudi mengatakan longsoran yang terjadi di sepanjang gunung Panteu sudah berlangsung hampir tiga bulan, namun hingga saat ini belum ada tanda-tanda akan diperbaiki. ( ant )


http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=4816882333428624582

Sabtu, 06 Desember 2008

Pemerintah Aceh belum Peka Bencana

Serambi Indonesia, 6 desember 2008

BANDA ACEH - Bencana yang nyaris tanpa henti di Aceh seharusnya
lebih meningkatkan kepekaan pemerintah daerah ini terhadap kondisi alam dengan menyiapkan berbagai strategi antisipasi sehingga bisa meminimalisir dampak risiko yang ditimbulkan.
“Ironis. Di negeri yang berteman dengan bencana, ternyata kita tak punya strategi antisipasi yang optimal,” kata Juru Bicara Kaukus Pantai Barat Selatan, TAF Haikal.

Dalam rilis yang diterima Serambi, Jumat (5/12), Haikal secara khusus menyikapi bencana banjir yang kini mengepung sebagian besar wilayah Aceh. “Memang hal itu fenomena alam. Banjir itu disebabkan karena curah hujan yang cukup tinggi di Aceh. Akan tetapi, agaknya kita perlu melakukan refleksi terhadap strategi pembangunan saat ini,” tulisnya.
Seharusnya, lanjut Haikal, Pemerintah Aceh sudah selayaknya memikirkan peta bencana Alam yang kerap terjadi di Aceh. Dengan adanya informasi tersebut, minimal pemerintah dapat mengurangi dampak risiko yang ditimbulkan dari bencana tersebut. “Menurut kami, sejauh ini strategi antisipasi bencana belum optimal dilakukan,” tandas Haikal.
Menurut Haikal, salah satu contoh tidak adanya strategi dan kepekaan terhadap bencana adalah pembangunan gudang dinas sosial untuk penempatan/penyimpanan barang kebutuhan pascabencana di kawasan Lampeuneurut, Aceh Besar.
Padahal, katanya, kalau dilihat dari intensitas bencana, banjir hampir rutin terjadi di pantai barat-selatan dan kawasan Timur Aceh. “Akan tetapi Pemerintah Aceh belum sensitif terhadap penyiapan sarana dan prasanara penanggulangan bencana,” urainya.
Juga ditegaskan, statement Gubernur Irwandi Yusuf bahwa korban banjir tidak boleh lapar harus didukung. Haikal berharap tidak cukup dengan komentar di media massa. Pemerintah Irwandi harus mewujudkan hal itu dengan pembangunan yang memperhitungkan aspek bencana.
“Sudah saatnya menyusun peta bencana di Aceh. Dengan adanya peta tersebut, banyak hal yang dapat dilakukan seperti pembangunan gudang logistik bencana di Pantai Barat Selatan Aceh dan Pantai Timur serta pembangunan infrastruktur yang lebih baik,” demikian Haikal.
Warning BMG
Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) memprakirakan potensi hujan di Aceh masih tetap terjadi hingga beberapa hari ke depan. Demikian juga dengan potensi banjir dan tanah longsor yang hingga kini masih terjadi di sejumlah daerah.
Informasi itu disampaikan Kepala BMG Blang Bintang Banda Aceh, Samsuir, kepada Serambi, Jumat (5/12). Menurutnya, saat ini kondisi cuaca Aceh masih mengalami gangguan berupa tekanan rendah yang terjadi di Samudera Hindia. Kondisi ini menyebabkan awan bergerak menggumpal di atas daratan Aceh. “Awan ini agak rendah dan sangat aktif,” ujarnya.
Samsuir menyebutkan, intensitas hujan terjadi antara ringan hingga sedang dan terjadi pada waktu pagi dan sore hari.
Sementara angin masih bertiup dari arah timur laut hingga barat laut dengan kecepatan 10 hingga 25 kilometer per jam.
“Untuk gelombang laut, di perairan barat selatan Aceh ketinggian berkisar antara 2 hingga 3 meter, sementara di perairan timur satu sampai dua setengah meter,” sebutnya.(nas/yos)

Kamis, 27 November 2008

Terkait Pembahasan RAPBA 2009 Gubernur Diminta Perketat Evaluasi Kinerja SKPA

Serambi Indonesia, 28 Nov 2008

BANDA ACEH - Rendahnya realisasi program dan kegiatan APBA 2008, yang hingga bulan November ini belum mencapai angka 50 persen, menimbulkan keprihatinan sejumlah kalangan. Pemerintah Aceh pun dinilai gagal memenuhi harapan masyarakat untuk menikmati kue pembangunan dari anggaran 2008 sebesar Rp 8,5 triliun. Untuk itu, Gubernur Aceh diminta agar mengevaluasi secara ketat kinerja SKPA ujung tombak pembangunan di Aceh.

“Gubernur Aceh harus mengevalusi kinerja Satuan Kerja Pemerintah Aceh (SKPA) secara ketat. Karena SKPA adalah ujung tombak pembangunan di Aceh. SKPA merupakan cerminan dari kebijakan gubernur, Bila kinerjanya jelek, maka rakyat akan menyimpulkan kinerja gubernur tidak bagus,” ujar Juru Bicara Kaukus Pantai Barat Selatan (KPBS), TAF Haikal, dalam siaran persnya kepada Serambi, Kamis (27/11). Haikal mengatakan, pengalaman itu harus menjadi pelajaran berharga bagi pihak eksekutif dan legislatif di Aceh dalam menyusun anggaran 2009. Terutama agar kasus temuan panitia khusus DPRA tentang banyaknya proyek APBA 2008 yang belum diketahui lokasinya, tidak terulang kembali tahun depan.

“Memang betul, kontribusi ’kegagalan‘ tersebut bukan hanya dari eksekutif, namun juga tidak lepas dari kesalahan legislatif. Tapi hendaknya ini menjadi pelajaran bagi semua pengambil kebijakan di Aceh agar kasus seperti ini tidak terulang lagi tahun depan,” ujarnya.
Pria yang mencalonkan diri sebagai caleg DPRRI dari Partai Amanat Nasional (PAN) Aceh ini menambahkan, kebijakan Gubernur Irwandi Yusuf dengan melakukan fit and proper test terhadap kepala SKPA (Satuan Kerja Pemerintah Aceh) sudah sangat baik. Namun, kata dia, hal itu tampaknya belum cukup untuk mendukung keinginan gubernur untuk melahirkan pemerintahan yang kuat dan bersih.
“Saya pikir harus ada terobosan besar untuk mengawal dan mengevaluasi secara ketat kinerja SKPA,” kata dia.
Jubir KPBS juga mendesak DPRA untuk selektif dalam menyetujui program dan kegiatan dari eksekutif. “DPRA juga harus melakukan pengawasan secara ketat terhadap kinerja SKPA. Menurut kami, semua pihak harus jujur untuk introspeksi diri, jangan lagi masyarakat ditipu dengan ungkapan ’Aceh melimpah dana”, karena kesempatan menikmati itu tidak pernah terwujud,” kata dia.(nal)

APBA 2008 Terancam Molor

Serambi Indonesia, 21 Nov 2008

BANDA ACEH - Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) tahun 2008 dipastikan bakal terlambat pengesahannya, karena sampai saat ini rancangan anggaran tersebut belum diajukan eksekutif ke legislatif untuk dibahas. Bahkan, Selasa (20/11) kemarin, eksekutif baru menyerahkan draf kebijakan umum anggaran (KUA) yang baru selesai diperbaiki, setelah sebelumnya sempat dikembalikan oleh legislatif.

Sekda Aceh, Husni Bahri TOB selaku Ketua Panitia Anggaran Eksekutif yang dikonfirmasi Serambi kemarin tak mau banyak berkomentar tentang RAPBA yang sampai kemarin belum diajukan ke legislatif itu. Kita sudah berupaya maksimal supaya anggaran itu bisa tepat waktu disahkan, tapi bagaimana keadaannya memang seperti ini, katanya.
Ketika didesak, kenapa pengesahan anggaran setiap tahunnya terus molor dari jadwal yang seharusnya, yaitu sebulan sebelum tahun anggaran berjalan berakhir atau satu bulan sebelum tahun anggaran berlaku sudah disahkan. Tolong jangan tanya soal itu lagi, nanti saya salah lagi menjawabnya.
Anda tanya saja pada Rahman Lubis (Kepala Bappeda Aceh -red). Soalnya, itu masalah teknis. Saya tak bisa memberi penjelasan dan itu Kepala Bappeda yang tahu, ujar Husni sambil mengarahkan Serambi agar menjumpai Kepala Bappeda Aceh.
Kepala Bappeda Prof Dr A Rahman Lubis MSc yang dihubungi Serambi kemarin secara terpisah mengakui bahwa APBA 2008 tidak mungkin bisa disahkan pada awal Januari 2008. Bahkan pihaknya memprediksi, anggaran tersebut paling cepat bisa disahkan pada akhir Januari. Itu pun dengan catatan semua pihak berkomitmen mau bekerja keras dalam membahas dan menuntaskan masalah ini (anggaran-red), katanya.
Dikatakan, sejak awal semua pihak sudah berupaya untuk menyelesaikan APBA tahun 2008 sesuai jadwal yang telah ditentukan, yakni awal Januari. Buktinya, eksekutif pada 4 Juli lalu sudah menyerahkan draf KUA ke DPRA. Setelah diteliti, draf tersebut baru dikembalikan legislatif pada 29 Agustus dan diminta untuk diperbaiki kembali. Setelah diperbaiki eksekutif, draf itu diserahkan pada 17 September. Kemudian baru bisa dibahas bersama-sama pada 9-25 Oktober 2007.
Dan baru tadi pukul 15.00 WIB (kemarin-red) kita serahkan hasil pembahasan tersebut untuk dilihat dan diteliti kembali oleh DPRA, kemudian baru akan disetujui bersama dalam nota kesempahaman antara eksekutif dan legislatif mengenai KUA. Saya kira, dalam dua tiga hari ke depan KUA itu sudah ditandatangani, ujar Rahman.

Menurut Rahman, akhir November 2007 nanti pihaknya baru akan menyerahkan ke dewan draf Plafon Prioritas Anggaran Sementara (PPAS), mengingat PPAS tersebut masih dalam penyusunan dan pembahasan dengan kabupaten/kota. Sebab, UU Pemerintahan Aceh sudah mengatur bahwa untuk dana otonomi khusus (Otsus), bagi hasil migas, dan anggaran pendidikan, haruslah melalui persetujuan kabupaten/kota.
Maka kita harus membahasnya dengan kabupaten/kota lebih dulu sebelum dibuat PPAS, ujarnya seraya menerangkan bahwa dana migas dan otsus sudah selesai dibahas dan pekan ini akan dibahas pula dana pendidikan.
Jika PPAS selesai dibahas dewan selama dua pekan, kata Rahman Lubis, maka pihaknya dalam waktu berbarengan akan menyerahkan rancangan kegiatan anggaran (RKA). Pekan pertama Januari kita akan usahakan RAPBA diserahkan ke dewan. Kalau misalnya dewan bisa menyelesaikan pembahasan RAPBA satu bulan, maka pekan pertama Februari anggaran itu sudah bisa disahkan. Itu pun dengan catatan semua pihak mau bekerja keras, timpalnya.
Menurutnya, keterlambatan tersebut tak bisa dipersalahkan pada Pemerintah Aceh semata, karena terkait juga dengan ketentuan yang dikeluarkan pemerintah pusat yang setiap tahun berubah. Contohnya, Permendagri Nomor 13/2006 yang baru setahun berlaku, tapi sudah diubah kembali dengan PP Nomor 59/2007 tentang Penyusunan APBD. Padahal, PP tersebut belum tersosialisasi pada semua pejabat di provinsi, katanya.
Memang diakui PP Nomor 59/2007 itu efektif berlalu pada tahun 2009. Namun, kalau dilihat dari ketentuan yang ada dalam PP tersebut lebih sempurna dibandingkan dengan Permendagri Nomor 13/2006 yang di dalamnya banyak terjadi kerancuan. Maka anggaran kita tahun 2008 sudah menggunakan PP Nomor 59 Tahun 2007, katanya.

Bisa berkepanjangan

Sejumlah pihak sangat menyayangkan molornya pengesahan APBA Tahun 2008 itu, sebab masyarakat akan dirugikan. Apabila anggaran baru bisa disahkan awal Februari, maka hak-hak publik terhadap pembangunan akan terabaikan dalam satu bulan sebelumnya, tukas TAF Haikal, mantan koordinator Forum LSM Aceh.
Dia ingatkan bahwa kerugian publik terhadap molornya pengesahan APBA itu bisa jadi berkepanjangan, karena dinas selaku pengguna anggaran masih memerlukan waktu untuk menyusun rancangan kegiatan dan proses tender. Ini bisa memakan waktu tiga hingga empat bulan, kata tokoh muda yang juga Jubir Kaukus Barat-Selatan ini.
Oleh sebab itu, TAF Haikal mendesak kepala pemerintahan yang ada sekarang segera melakukan pengkajian ulang terhadap semua pejabat, mulai dari sekda, kepala dinas, badan, hingga kepala biro yang ada di lingkungan Pemprov NAD. Sehingga hal seperti ini tahun depan tak terjadi lagi. Bagaimanapun, tindakan seperti ini jelas merugikan rakyat. Sedianya, sebelum triwulan pertama sudah ada proyek yang terealisasi. Tapi karena penetapan APBA molor, apa yang diharapkan itu tak jadi kenyataan, ulas Haikal.
Haikal kembali mengingatkan baha akibat molornya pengesahan anggaran pada tahun 2007, menyebabkan serapan APBA tahun ini menjadi tak maksimal. Bahkan diprediksi, sekitar Rp 2 triliun dari Rp 4 triliun anggaran yang kini ada, bakal tak terserap.
Sementara itu, anggota DPRA, Almanar SH mengatakan, semestinya RAPBA 2008 telah diajukan ke dewan pada awal Oktober 2007. Itu pun dengan catatan telah selesai dibahas KUA dan PPAS.
Namun, kenyataannya sampai saat ini PPAS belunm diserahkan ke dewan. Jadi, apa yang mau dibahas, tukas politisi PAN ini.
Begitupun, menurutnya, masih bisa dipahami, sebab pengelolaan dana otsus dan migas seusai UUPA baru tahun 2008 mendatang diberlakukan. Sementara perangkat hukum tentang penggunaan anggaran itu, yakni qanun, belum selesai dibahas.
Anggota DPRA dari Fraksi Partai Golkar, M Husen Banta, juga sangat menyesalkan keterlambatan pengajuan RAPBA tersebut. Kami tidak mau nanti disalahkan oleh rakyat seolah-olah dewan yang memperlambat pengesahan anggaran. Padahal, sampai saat ini belum juga diajukan eksekutif, ujar Husen seraya menerangkan bahwa untuk membahas hingga tuntas anggaran tersebut minimal memerlukan waktu 45 hari. (sup)

Selasa, 25 November 2008

Penyelesaian Jalan Banda Aceh-Calang Sangat Lamban

Analisa, 7 November 2008

Kaukus Pantai Barat Selatan (KPBS) meminta pembangunan ruas jalan Banda Aceh-Calang (Kabupaten Aceh Jaya) dipercepat sebagai upaya untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi masyarakat di pesisir Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) itu.

“Kami merasakan pembangunan di pesisir barat dan selatan ini jauh tertinggal dibandingkan daerah lainnya di Aceh. Salah satu penyebabnya karena lambannya pembangunan ruas jalan yang didanai Pemerintah Amerika Serikat melalui USAID tersebut,” kata TAF Haikal, Jurubicara KPBS, kepada wartawan di Banda Aceh, Kamis (30/10). Ia menilai, proses pembangunan ruas jalan pantai barat yang dimulai dari Aceh Besar sampai ke Calang sepanjang 150 kilometer itu kemajuannya saat ini baru mencapai 32 persen. “Kami mendapat informasi yang menyebutkan pekerjaan pembangunan jalan itu masih dalam kawasan Aceh Besar, sementara Lamno (Aceh Jaya) ke Calang sudah berhenti karena persoalan teknis,” katanya. Menurut dia, kelanjutan pembangunan jalan Banda Aceh-Calang yang didanai USAID itu diperkirakan terhenti.

“Saya mengindikasikan terhentinya proyek tersebut sebagai salah satu dampak krisis keuangan global yang menimpa Amerika Serikat,” tambahnya. Dari informasi yang diperoleh, Haikal menyebutkan bahwa ruas sepanjang Lanmo-Calang itu terhenti dengan alasan pihak rekanan (PT WK) menarik diri melanjutkan pekerjaan.

Alasan

“Saya melihat itu sebagai alasan. Saya mengkhawatirkan pihak donor akan mencabut bantuan kelanjutan penyelesaian pembangunan jalan Banda Aceh-Calang. Kalau itu terjadi, maka kami juga berharap Pemerintah Aceh serta Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) NAD-Nias untuk menuntut komitmen USAID,” kata dia. KPBS juga minta BRR NAD-Nias sebagai lembaga yang bertanggungjawab dalam proses rehab dan rekon Aceh pasca tsunami 26 Desember 2004 agar mendesak percepatan pembangunan ruas jalan tersebut.

“BRR NAD-Nias harus bertanggungjawab jika pihak donor menarik bantuannya. Sebab, jika kelanjutan pembangunan jalan tersebut dibebankan kepada provinsi jelas tidak mungkin, karena dana yang dibutuhkan cukup besar,” kata Haikal. Seperti diketahui, untuk pembangunan ruas jalan pesisir barat Aceh itu, USAID sebelumnya telah mengalokasikan anggaran senilai 108 juta dolar AS atau sekitar Rp972 miliar Oleh Pemerintah Amerika Serikat (AS) melalui Badan Pembangunan internasionalnya, USAID menyerahkan kontrak rehabilitasi dan rekonstruksi pembangunan jalan Banda Aceh-Calang sepanjang ratusan kilometer kepada kontraktor asal Korea yang memenangkan tender internasional, Ssangyong Enginering Construction Company Limited, sebagai kontraktor utama yang bermitra dengan PT Hutama Karya.

Sebagai jalur ekonomi, jalan itu akan membawa produk perdagangan terbaik yang bisa ditawarkan oleh Provinsi Aceh, dan jalan ini akan mengundang dan memungkinkan adanya invasi investor domestik dan internasional, yang akan menjamin tidak hanya pemulihan ekonomi tapi juga kesejahteraan masyarakat. (mhd)

Pembangunan Jalan Banda Aceh-Calang Lamban

Harian Aceh, 3 November 2008

Juru Bicara Kaukus Pantai Barat Selatan (KPBS) TAF Haikal mengatakan pembangunan ruas jalan Banda Aceh –Calang yang didanai Pemerintah Amerika Serikat melalui USAID terkesan lamban

“ Kami merasakan pembangunan ruas jalan dipesisir barat ddan selatan lamban dibangun, sehingga daerah itu jauh tertinggal dibandingkan daerah lainnya di Aceh, “ kata Haikal (Minggu, 2/11), di Banda Aceh.

Ia meminta pembangunan ruas jalan Banda Aceh Calang (Kabupaten Aceh Jaya) dipercepat sebagai upaya untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi masyarakat dipesisir Aceh itu.

Haikal menilai, proses pembangunan ruas jalan pantai barat yang dimulai datri Aceh Besar sampai Calang sepanjang 150 KM itu kemajuannya saat ini baru mencapai 32 persen,” Kami mendapat informasi yang mnyebutkan pekerjaan pembangunan jalan itu masih dalam kawasan Aceh Besar, sementara Lamno ( Aceh Jaya) ke Calang sudah berhenti karena persoalan teknis, “ katanya. (bai)

Aparat diminta siaga hadapi bencana alam

Waspada, 22 October 2008

BANDA ACEH - Pemerintah kabupaten di pesisir barat dan selatan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) meminta aparatnya mempersiapkan wilayahnya masing-masing dalam menghadapi banjir dan tanah longsor, guna meminimalkan korban manusia bila terjadi bencana alam.
"Kami berharap pemerintah di wilayah rawan banjir dan tanah longsor akibat tingginya curah hujan agar menyiagakan semua aparat mulai dari Keuchik (kepala desa-red) sampai pejabat di kabupaten masing-masing," kata juru bicara Kaukus Pantai Barat dan Selatan (KPBS) TAF Haikal di Banda Aceh, Rabu.
Kesiagaan aparatur pemerintahan itu penting untuk meminimalkan masalah bila terjadi bencana sekaligus penanganan pengungsi pasca musibah itu terjadi.
"Antisipasi penanganan akan jauh lebih bermanfaat terutama mengurangi resiko korban nyawa, harta dan benda akibat bencana alam," tambahnya.
Menurutnya, kesiapan aparatur pemerintah sejak kades sampai pejabat di jajaran Pemerintah kabupaten dan kota itu sangat membantu masyarakat, terutama terkait dengan sosialisasi pencegahan korban saat bencana alam terjadi.
"Dengan adanya informasi dari pemerintah maka kesiapan masyarakat menghadapi bencana alam akan lebih matang," kata dia.
TAF Haikal menjelaskan sejumlah kabupaten di pesisir barat dan selatan merupakan rawan banjir bandang dan tanah longsor, seperti di Aceh Selatan, Aceh Barat Daya, Nagan Raya, Aceh Barat dan Aceh Jaya.
"Wilayah pantai barat selatan Aceh rawan bencana alam banjir, tanah longsor dan kekeringan sebagai dampak dari deforestasi yang merusakan lingkungan/alam yang terjadi dari masa maraknya operasi HPH," kata dia.
Selain itu, juru bicara KPBS juga minta komitmen Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) untuk mencegah aksi pembalakan hutan yang hingga kini disinyalir masih marak di wilayah pesisir tersebut.
"Komitmen pemerintah sipil dan aparat penegak hukum penting untuk menyelamatkan lingkungan dari kepunahan akibat keserakahan orang yang tidak bertanggung jawab dengan tujuan memperkaya diri tanpa memperhatikan keselamatan ekosistem," kata TAF Haikal.

Masyarakat Aceh Diingatkan Bahaya Banjir Dan Longsor

Serambi Indonesia, 20 Oktober 2008

Banda Aceh ( Berita ) : Badan Meteorogi dan Geofisika (BMG) mengingatkan masyarakat Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) yang bermukim di daerah rawan bencana lebih meningkatkan kewaspadaan terhadap ancaman bahaya banjir dan tanah longsor menghadapi musim penghujan sejak awal Oktober 2008.

“Aceh kini mulai masuk musim penghujan serta beberapa daerah mulai dilanda banjir sehingga warga harus meningkatkan kewaspadaan menghadapi cuaca kurang menguntungkan ini,” kata Kepala Stasiun Meteorogi Bandara Sultan Iskandar Muda (SIM) Blang Bintang, Banda Aceh, Syamsuir, di Banda Aceh, Minggu [19/10].

Masyarakat di daerah rawan banjir dan tanah longsor harus selalu waspada karena dalam beberapa pekan mendatang daerah ini berpotensi diguyur hujan dengan intensitas sedang dan lebat, baik pagi, siang atau malam hari.

Kondisi itu diperburuk dengan menguatnya angin yang bertiup dari arah barat laut yang bersifat labil sehingga memicu pembentukan awan-awan menjulang tinggi sebagai pembawa hujan. Musim hujan bukan berarti setiap harinya daerah ini diguyur hujan, tetapi terjadi hanya sewaktu-waktu.

“Hujan kadang kala terjadi mulai pagi hingga siang hari, namun biasanya lebih sering pada petang hingga pagi harinya,” kata Syamsuir.

Wilayah pesisir barat selatan Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) yang memiliki musim cukup spesifik di bandingkan pantai utara, timur dan tengah tidak terlalu tampa pebredaan antara musim hujan dan musim kemarau.

“Untuk wilayah barat selatan kini dan hingga beberapa hari mendatang tingkat curah hujan diperkirakan cukup tinggi dan berpotensi terjadi banjir,” katanya.

Semnatar itu jurubicara Kaukus pantai barat selatan Aceh TAF Haikal meminta Pemerintah Aceh lebih peka dan segera mensikapi secara serius persoalan bencana alam banjir yang telah melanda sebagian wilayah Aceh Barat dan Nagan Raya, terutama penyalur bantuan masa panik dan kemungkinan warga mengungsi.

Bencana alam banjir yang sudah menjadi “langganan” bagi hampir semua wilayah di pesisir barat selatan Aceh itu perlu mendapat perhatian serius, terutama perlu adanya solusi pencegahan agar masyarakat tidak setiap tahunnya terancam babahaya, baik harat maupun jiwanya akibat fenomena alam tidak terkendali.

“Saya pikir Pemerintah Aceh perlu segera mencari solusi tepat agar masyarakat di pesisir barat selatan tidak setiap tahunnya terancam bencana. Tanpa penanganan tepat dan serius masyarakat di pesisir barat selatan Aceh sulit melepaskan diri dari bahaya banjir dan tanah longsor,” demikian TAF Haikal. ( an t )

BRR Harus Tuntaskan 746 Rumah Terbengkalai di Simeulue

Analisa , 5 September 2008

Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) NAD-Nias, harus menuntaskan terlebih dahulu realisasi atas pembangunan bantuan perumahan bagi warga korban bencana alam gempa dan tsunami, sebelum habis masa peralihan kerja ke Pemerintahan Aceh di medio April 2009.

Sebab berdasarkan hasil penulusuran lapangan, diketahui hingga saat ini ada 746 unit bantuan perumahan di Kabupaten Simeulue yang terbengkalai dan tidak dilanjutkan lagi pekerjaannya di lapangan.

“GeRAK Aceh dan Kaukus Pantai Barat Selatan (KPBS) Aceh mendesak BRR untuk segera memperbaiki semua bangunan dan perumahan warga, baik yang rusak pada waktu gempa maupun bencana tsunami sebelum berakhirnya masa kerja BRR NAD-Nias di Aceh. Sementara desain rumah yang harus diterima masyarakat perlu dilakukan perancangan bangunan yang tahan gempa, sebab wilayah Simeulue adalah salah satu kawasan yang rawan dengan bencana,” ujar TAF Haikal, Jurubicara KPBS Aceh, kepada wartawan di Banda Aceh, Kamis (4/9).

Dijelaskannya, berdasarkan hasil monitoring atas pembangunan perumahan di wilayah Simeulue yang ditemukan Badan Pekerja Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh dan KPBS, diketahui bahwa khusus di wilayah Simeulue, realisasi atas pembangunan bantuan kepada masyarakat cukup lambat dan sangat memprihatinkan, padahal diketahui daerah tersebut merupakan daerah terparah kejadian bencana baik tsunami maupun gempa-gempa susulan.

Hasil penulusuran atas bantuan perumahan diketahui bahwa hingga saat ini ada sekitar 746 unit bantuan perumahan dari Re-Kompak yang dibiayai melalui dana-dana MDF-Wold Bank tidak dapat dilanjutkan kerjanya dan terbengkalai, yakni di Kecamatan Simeulue Timur sebanyak 532 unit dan 214 unit terletak di Kecamatan Teupah Selatan.

Sedangkan hasil atas bantuan perumahan yang saat ini sedang dalam realisasi pekerjaan lapangan yang dikerjakan oleh BRR NAD-Nias dan NGO diketahui mencapai angka sebanyak 2.159 unit dalam penanganan, yang tersebar di delapan kecamatan yaitu meliputi Simeulue Timur, Simeulue Barat, Salang, Teupah Selatan, Teupah Barat, Teluk Dalam dan Kecamatan Alafan, dan diprediksikan bantuan perumahan tersebut tidak akan mampu diselesaikan tepat waktu sebagaimana yang telah direncanakan karena banyak kontraktor yang memenangkan proyek tidak melakukan kerja sebagaimana rencana kerja yang ditanda tangani.

Lemahnya Pengawasan

“Banyak terbengkalai pekerjaan rehabilitasi dan rekonstruksi di Simeulue tidak terlepas dari pengawasan yang lemah. Lemahnya pengawasan dilakukan sejak awal pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi dan dampaknya saat ini, dengan banyak proyek-proyek yang terbengkalai,” jelas Haikal.

Ditambahkannya, dari laporan dan wawancara dengan masyarakat korban diketahui, program pembangunan di Simeulue ternyata hanya difokuskan pada hal-hal yang sifatnya tidak menyentuh masyarakat, seperti pembangunan beberapa kantor pemerintahan seperti Kantor BPM, Kantor Dispenda, Kantor Dinas Kelautan dan pembangunan instalasi vertikal seperti Pos AL, dan Asrama Polres Simeulue yang pekerjaannya dipacu dan cepat selesai. Akan tetapi untuk pembangunan bantuan perumahan belum berhasil dibangun dengan sempurna.

Bahkan di beberapa tempat seperti Kecamatan Alafan dan Teupah Selatan hampir sebagian besar masyarakatnya masih mendiami shalter dan barak hunian sementara.

TAF Haikal juga mengharapkan BRR NAD-Nias benar-benar melakukan pengawasan atas semua bantuan yang sedang dikerjakan, sebab jika dilihat berdasarkan fisik bantuan yang telah dibangun banyak bangunan yang telah dibangun jauh di bawah standar, dan jika ini tidak dikontrol secara berkala maka dipastikan bantuan yang diberikan kepada masyarakat akan sia-sia sebab baru satu tahun setelah PHO rumah langsung rusak.

“Kami mendesak BRR untuk mempercepat proses pembangunan perumahan bagi korban khususnya di wilayah Simeulue. Hal ini penting segera untuk dilakukan mengingat keberadaan lembaga ini tinggal beberapa bulan lagi. Apabila ini tidak dilakukan secepatnya maka ditakutkan kegagalan dalam rehab-rekon akan menjadi ancaman besar kelak bagi Pemerintahan Aceh (Irwandi-Nazar) terutama wilayah pantai barat selatan,” ungkapnya. (mhd)

Publikasi Isu ALA dan ABAS Jangan Meresahkan Masyarakat

Analisa, 21 Agustus 2008

juru bicara Kaukus Pantai Barat dan Selatan (KPBS) Aceh, TAF Haikal mengharapkan, isu pemekaran Aceh dengan pembentukan Provinsi Aceh Leuser Antara (ALA) dan Aceh Barat Selatan (ABAS) yang dipublikasikan di media massa, jangan sampai berdampak pada keresahan masyarakat, apalagi menjelang penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu) 2009.

la menyatakan, informasi yang disiarkan salah satu media cetak beberapa hari lalu terkait keluarnya Amanat Presiden (Ampres) tentang pemekaran lima provinsi dan 12 kabupaten/kota di Indonesia, termasuk di Aceh, dinilai keliru.

Menurutnya, isu pemekaran Aceh akan berpotensi konflik jika media massa tidak berhati-hati dalam menyiarkan berita, apalagi kalau sumbernya tidak berkompeten.

“Saya berharap dan mengimbau setiap berita yang akan disebarluaskan kepada publik, media massa agar tidak menimbulkan keresahan dan kesalahpahaman dalam masyarakat sebagai upaya kita bersama mencegah jangan sampai Aceh kembali didera konflik bersenjata,” ujar Haikal kepada wartawan di Banda Aceh, Rabu (20/8)

Dijelaskan, peran serta media massa penting untuk menyelamatkan proses perdamaian di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) pasca perjanjian damai (MoU) antara Pemerintah RI dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Helsinki, 15 Agustus 2005.

Selektif

“Begitu besarnya peran media massa agar perdamaian di Aceh terus berjalan baik. Karenanya, saya berharap agar media massa lebih selektif dalam menyiarkan berbagai informasi bagi keselamatan MoU Helsinki,” katanya.

TAF Haikal mencontohkan, dampak dari pemberitaan dua hari terakhir tentang isu pemekaran ALA dan ABAS telah menimbulkan berbagai tanggapan beragam dalam masyarakat, ada yang mendukung dan menolak.

Padahal, situasi Aceh saat ini masih dalam kategori proses transisi dari konflik ke damai sehingga masyarakat mudah tersulut provokatif. Memang, jelasnya, masalah pemekaran sebuah wilayah itu bukanlah “barang haram” yang tidak diperbolehkan di Indonesia yang menjunjung tinggi demokrasi.

“Tapi khusus untuk Aceh, saya juga berharap pemerintah pusat agar hati-hati dalam mengambil keputusan serta kebijakan,” kata TAF Haikal.

Jika dalam Undang Undang (UU) Nomor. 32 Tahun 2004, menjelaskan bahwa pemekaran sebuah wilayah di Indonesia itu dimungkinkan, namun implementasinya maka wacana pemekaran harus dilihat dengan cermat dari berbagai aspek seperti filosofis, yuridis dan aspek sosio-demografis, katanya. (mhd)

Peran media penting selamatkan perdamaian Aceh

WASPADA ONLINE ,19 agustus 2008

BANDA ACEH - Peran serta media massa penting untuk menyelamatkan proses perdamaian di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) pasca perjanjian damai (MoU) antara Pemerintah dengan pihak Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Helsinki, 15 Agustus 2005.

"Begitu besar peran media massa agar perdamaian di Aceh terus berjalan baik. Karenanya, saya berharap agar media massa lebih selektif dalam menyiarkan berbagai informasi bagi keselamatan MoU Helsinki," kata Jurubicara Kaukus Pantai Barat dan Selatan (KPBS) Aceh TAF Haikal di Banda Aceh, Selasa.

Dia menyatakan, informasi yang disiarkan salah satu media cetak beberapa hari lalu terkait keluarnya amanat presiden (ampres) tentang pemekaran lima provinsi dan 12 Kabupaten/kota di Indonesia, termasuk di Aceh, dinilai keliru.

"Saya berharap isu pemekaran provinsi Aceh Leuser Antara (ALA) dan Aceh Barat Selatan (ABAS) yang dipublikasikan di media itu jangan sampai berdampak pada keresahan masyarakat, apalagi menjelang pemilu," tambahnya.

Karena itu, ia menyatakan isu pemekaran Aceh akan berpotensi konflik jika media massa tidak berhati-hati dalam menyiarkan berita, apalagi kalau sumbernya tidak berkompeten.

"Sekali lagi saya berharap dan mengimbau setiap berita yang akan disebar luaskan kepada publik oleh media massa agar tidak menimbulkan keresahan dan kesalahpahaman dalam masyarakat," katanya.

TAF Haikal mencontohkan dampak dari pemberitaan dua hari terakhir tentang isu pemekaran ALA dan ABAS telah menimbulkan berbagai tanggapan beragam dalam masyarakat, ada yang mendukung dan menolak.

Padahal, tambahnya, situasi Aceh saat ini masih dalam kategori proses transisi dari konflik ke damai sehingga masyarakat mudah tersulut provokasi.

Memang, jelasnya, masalah pemekaran sebuah wilayah itu bukanlah "barang haram" di Indonesia yang menjunjung tinggi demokrasi.

"Tapi khusus untuk Aceh, saya berharap pemerintah pusat agar hati-hati dalam mengambil keputusan serta kebijakannya," kata dia.

TAF Haikal juga menjelaskan bahwa walaupun pemekaran sebuah wilayah di Indonesia itu dimungkinkan, namun implementasinya harus dilihat dengan cermat dari berbagai aspek seperti filosofis, yuridis dan aspek sosio-demografisnya.

KPBS Nilai BRR tidak responsif

Serambi indonesia 15 Agustus 2008

Kaukus Pantai barat selatan (KPBS) mnendesak pemerintah Aceh, baik eksekutif maupu legislatif guna menyelesaikan persoalan tuntutan korban tsunami dan gempa soal dana rehab rumah sebesar 15 juta. Langkah strategis berupa pertemuan tripartit antara BRR, Gubernur danDPRA, perlu segera dilakukan guna mengambil sebuah keputusan konkrit tuntutan korban tersebut.

Juru bicara Kaukus Pantai barat Selatan (KPBS), Tafhaikal kepada Serambi, (14/4/08) mengatakan, pihaknya menilai BRR tidak Responsif terhadap tuntutan korban yang belakngan ini nyaring disuarakan melalui aksi Demo ke kantor BRR itu.

Bahkan, ia menilai badan yang dipimpin Kuntoro tersebut terkesan melakukan pembiaran terkait tuntutan korban tersebut ‘ kalau tindakan ini terus dibiarkan tidak ada penyelasaian, kita khawatirkan akan menimbulkan persoalan baru di Aceh yang sedang menapak perdamaian”, karena itu, Haikal meminta Gubernur dan DPRA untuk segera mencari sebuah solusi dengan mengambil peran yang lebih besar atau berada dibarisan terdepan dalam menyelaikan permasalahan ini. “ saya kira solusinya untuk langkah pertama Gubernur dan dewan segera esak BRR untuk melakukan pertemuan tripartit yang melibatkan ketiga pihak ini”

Bahkan tidak tertutup kemungkinan aksi-aksi yang dilkukan para korban Tsunami itu untuk menuntut keadilan soal dana rehab rumah itu akan bermunculan berbagai spekulasi untuk kepentingan kelompok tertentu. Apalagi aksi demo ke BRR yang dilakukan korban akan terus berlanjut, malah kabarnya dalam pekan ini, ratusan masyarakat dari barat selatan akan kembali melakukan aksi yang sama ke kantor BRRpusat du Lueng bata. “ Masyarakat sudah sangat menderita, janga diambah lagi beban pada mereka . tolong segera selesaikan permaslahan ini”.

Dari rentetan aksi demo yang dilakukan para korban selam ini yang menolak pembayaran dana rehab rumah sebesar Rp 2,5 juta, sudah memperlihatkan bukti kuat bahwa kebijakan BRR itu harus dirubah. Lihat saja, 1.500. masyarakat Aceh Singkil melakukan aksi demoke kantor BRR regional V, selasa (11/3/08). Kemudian aksi yang sma berlanjut di aceh barat, puluhan ibu-iburumah tangga mendatangi kantor BRR setempat. Terakhir ratusan warga barat –selatan melakukan aksi ke kantor pusat BRR di lueng bata, banda aceh, berlangsung selama lima hari yang dimulai hari jum’at (4/408) lalu.

“Tetapi ternyata BRR tetap bersikeras dengan kebijakan itu, dan ini sanagt disayangkan. Pada hal dana di BRR masih sangat besar dan memungkinkan tuntutan yang disuarakan korban bisa dipenuhi.

Obrak-Abrik Tanaman, Gajah Sumatera Terancam Dibunuh

Waspada, 3 Agustus 2008

Puluhan warga kecamatan Trumon Timur Kabupaten Aceh Selatan mengancam memburu dan membunuh gajah sumatera (Elephas maximus Sumatranus) karena telah mengobrak-abrik tanaman mereka.

"Warga datang ke rumah saya menyampaikan keluhannya kepada pemerintah terkait gangguan gajah liar. Warga juga mengancam akan memburu dan membunuh satwa itu," kata Kades Jambo Dalem, Tgk Baili di Tapaktuan, Sabtu (02/08/08).

Konflik satwa dan manusia di kecamatan Trumon Timur telah berlangsung sekitar tujuh tahun, akibat keganasan satwa itu seorang warga di daerah itu tewas diinjak gajah pada awal 2006.

Selain itu, puluhan hektar lahan perkebunan sawit, nilam, pisang, kelapa, jagung dan palawija lainnya rusak diobrak-abik kawanan gajah.

Warga mendesak pemerintah dan BKSDA segera menanggulangi gangguan gajah itu, sehingga masyarakat dengan tenang dan nyaman dalam menggarap lahan pertaniannya.

"jika tidak segera ditangani warga akan menyebarkan racun agar gajah-gajah itu mati," katanya mengutip pernyataan warga.

Menanggapi laporan itu, Camat Trumon Timur, H Lahmuddin mengatakan pihaknya telah menerima laporan masyarakat tentang keganasan gajah di Desa Jambo Dalem.

Kawananan gajah mencapai delapan ekor telah merusak tanaman sawit bantuan BRR yang masih berumur empat bulan.

Gangguan gajah liar di daerahnya telah terjadi puluhan kali, namun Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) provinsi Nanggroe Aceh Darussalam selaku pihak yang bertanggung jawab hingga saat ini masih "menutup mata".

"Saya sudah berulang kali melaporkan dam memohon agar kawanan gajah liar itu segera ditangani," katanya.

Secara terpisah, Juru bicara Kaukus Pantai Barat Selatan (KPBS) TAF Haikal, mengatakan gangguan gajah semakin ganas. Tidak hanya di Kabupaten Aceh Selatan, gangguan gajah juga terjadi di Kabupaten Aceh Jaya, Pidie, Bireun, Aceh Timur dan Subulussalam.

Selain mendesak BKSDA untuk menanggulanginya, Pemerintah Aceh serta Pemerintah Kabupaten/Kota juga harus melakukan perencanaan untuk mengatasi gangguan satwa liar baik jangka pendek, menengah dan jangka panjang.

"Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota perlu segera menangani masalah gangguan gajah liar. Bila perlu duduk bersama menyelesaikan konflik manusia dan satwa daerah itu," kata TAF Haikal. (*/lin)

USAID Diminta Segera Bangun Jalan Calang –Meulaboh

Harian Aceh, Sabtu 19 Juli 2008

Banda Aceh- Juru Bicara Kaukus Pantai barat Selatan (KBPS), TAF Haikal, meminta pihak Donatur USAID tidak menunda paket pembangunan jalan Calang-Meulaboh. “ Jangan ditunda-tunda paket pembangunan jalan Calang – Meulaboh. Karena, jika ditunda-tunda akan menjadi kasus seperti jalan Banda Aceh-Calang, “ katanya, Jum’at (18/7). Disebutkan, jalan pantai barat Aceh yang hancur akibat Tsunami akhir Desember 2004 lalu sudah lama pihak USAID komit untuk membangunnya. Namun, hingga kini pembangunan kembali jalan Calng – Meulaboh belum dikerjakan, sedangkan Banda Aceh – Calang masih banyak terdapat masalah.

Sehubungan langkah-langkah yang akan diambil oleh Pemerintah Aceh dan jajarannya dalam penyelesaian masalah jalan Banda Aceh-Calang , Haikal menyampaikan Apresiasi yang tinggi. Apalagi Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf telah menegaskan sikap yang tepat, yakni pentingnya penegakan wibawa hukum dan pemerintahan

Kata wibawa hukum dan pemerintahan, serta kesepakatan dalam pelaksanaan pembangunan, menurut Haika, dua kata kunci ini yang sangat penting bagi pemerintah sebagi eksekutor dan fasilitator pembangunan. Untuk kasus jambo Jagung disekitar kawasan wisata Lhoknga, Haikal menyarankan PEMKAB Aceh Besar dapat mengambil langkah segera, mencarai alternatif lokasi baru. “ini penting, karena untuk jangka panjang bisa menjadi kawasan wisata andalan PEMKAB Aceh Besar dan kesempatan menatakembali wilayah itu, “ (bai)

Kaukus PBS Surati Dubes Amerika

Serambi Indonesia19/06/2008

BANDA ACEH - Kaukus Pantai Barat-Selatan (PBS) menyurati Dubes Amerika mempertanyakan soal terhentinya pembangunan ruas jalan Banda Aceh-Calang yang didanai negara Paman Sam itu melalui USAID. Akibat terhentinya pembangunan kembali jalan yang luluh-lantak dihantam tsunami itu, telah membuat masyarakat wilayah tersebut rugi besar baik secara ekonomi maupun pskilogis.

Demikian bunyi surat yang ditujukan kepada Dubes Amerika, Mr Cameron R Hume dan ditandatangi Jubicara Kaukus PBS, TAF Haikal serta diterima Serambi, tadi malam. Dalam surat berisikan empat poin penting itu tertanggal 18 Juni 2008 juga turut menyatakan, keterlambatan dan sampai terhentinya pembangunan jalan itu dinilai akibat ketidakseriusan dan kemampuan Pemerintahan Aceh, Pemkab Aceh Besar, dan Aceh Jaya dalam menangani berbagai masalah yang muncul di lapangan terkait kegiatan proyek tersebut.
Menurut Kaukus PBS, jalan tersebut menjadi urat nadi transportasi baik ekonomi maupun urusan pemerintahan lainnya bagi masyarakat delapan kabupaten/kota terdiri dari, Aceh Jaya, Aceh Barat, Nagan Raya, Simuelue, Aceh Barat Daya, Aceh Selatan, Subulussalam, dan Aceh Singkil.
Bahkan, implikasi politik juga sangat mungkin terjadi di masa mendatang. Masyarakat menghubungkan keterlambatan pembangunan ruas jalan tersebut dengan ketidakmampuan dan ketidakseriusan pemerintah menanganinya, akibatnya akan menurunnya kepercayaan masyarakat kepada pemerintah. Untuk jangka panjang dan menengah, distrust tersebut dapat juga mengakibatkan terganggunya proses perdamaian di Aceh.
Mengingat dua hal di atas, maka pihaknya ingin menanyakan kepada Mr Cameron R Hume terkait kelanjutan pembangunan jalan tersebut. Bahkan secara terbuka Kaukus PBS juga mengakui dan mengetahui ada masalah dalam pembebasan tanah masyarakat. “Dalam kaitan ini kami sangat menghargai sekiranya Mr Cameron R Hume menjelaskan juga bagaimana posisi Pemerintah Amerika Serikat dalam masalah ini,” tulis Haikal.
Di samping itu, Kaukus PBS percaya bahwa masyarakat sepenuhnya mendukung niat baik Pemerintah Amerika Serikat mendanai pembangunan ruas jalan yang sangat penting tersebut. “Kami juga menyatakan kecewa dan rasa marah yang mendalam terhadap individu-individu atau kelompok-kelompok yang yang telah mengambil keuntungan pribadi atas jalan tersebut,” tegasnya dalam surat yang turut ditembusi kepada Kepala Pemerintahan Aceh, Ketua DPRA, Kapolda Aceh, Panglima Kodam Iskandar Muda, Kepala Bapel BRR NAD-Nias, Bupati Aceh Besar, Ketua DPRK Aceh Besar, Bupati Aceh Jaya, Ketua DPRK Aceh Jaya, Konsulat Jenderal Amerika Serikat di Medan.
Kaukus PBS menyatakan, bahwa individu-individu atau kelompok-kelompok tersebut adalah musuh bersama rakyat Aceh yang cinta pembangunan dan perdamaian, dan meminta pihak keamanan di Aceh untuk mengambil tindakan tegas sesuai dengan hukum yang berlaku.
TAF Haikal sempat menghubungi Serambi, tadi malam juga meminta masyarakat pantai barat-selatan untuk bersabar terhadap proses kelanjutan kembali pembangunan jalan tersebut. Juga meminta masyarakat turut membantu mempercepat proses pembangunan jalan tersebut dengan tidak melakukan tindakan yang bisa menghambat kegiatan proyek jalan itu, yang pada akhirnya akan merugikan semua pihak. “Kami meminta masyarakat untuk perlu memikirkan matang-matang dan tidak terpengaruh dengan ajakan pihak tertentu yang membuat kita semua menjadi rugi,” imbaunya.(sup)

"Nasionalisme" Pascakonflik

Serambi Indonesia, 18/05/2008


Nasionalisme adalah prinsip, rasa dan usaha yang patriotic.
Dengan segala daya siap pula mempertahannya. (terjemahan Moritza Thaher dari sumber; concise oxford dictionary-Tenth Edition).

ACEH disebut sebagai daerah modal bagi kemerdekaan RI. Pascamerdeka, nyaris menjadi daerah model , terutama dalam beberapa hal.
Menjadi modal karena kolonialisme Belanda 350 tahun di negeri Indonesia, tak bisa mencium Aceh. Demikian pula kolonialisme Jepang. Bahkan ketika agresi militer Belanda pasca 17 Agustus 1945, Aceh menjadi penyelamat kemerdekaan di tengah dunia Internasional. Radio Rimba Raya satu-satunya saksi bisu yang masih tersisa. Dari rimba raya, menyuarakan kepada dunia, bahwa Indonesia negara merdeka. Selanjutnya, ketika Indonesia hendak menaikkan gengsi di mata dunia dan memudahkan koordinasi pemerintah pusat, maka rakyat Aceh dengan penuh kerelaan menyumbang harta benda kepada negara RI. Dikoordinir oleh para saudagar di bawah payung GASIDA, atas arahan Tgk Mohd Daud Beureueh (Gubernur Militer kala itu), sehingga RI mampu memiliki pesawat terbang dan diberi nama Seulawah RI 001 dan Seulawah RI 002. Pesawat terbang sumbangan rakyat Aceh itu, sebagai kapal terbang pertama dimiliki oleh negara RI. Itulah cikal bakal maskapai penerbangan negara saat ini, Garuda Indonesia.

Sesungguhnya, Aceh lebih daripada itu telah memberi sumbangan maha penting bagi bangsa dan negara ini. Lebih kurang 400 tahun silam, seorang sastrawan sufistik dunia, Syech Hamzah Fansury, memberikan sumbangan terbesar bagi persatuan Indonesia, berupa bahasa. Fansury adalah orang pertama yang menulis karya sastra dengan menggunakan bahasa Melayu (kini disebut sebagai bahasa Indonesia). Betapa banyak negara bangsa di dunia ini yang tidak memiliki bahasa pemersatu. Tapi atas jasa Hamzah Fansury, Indonesia memiliki bahasa persatuan dan menjadi salah satu inti yang menggerakkan spirit nasionalisme, yang diikrarkan pada 28 Oktober 1928, menjunjung tinggi bahasa persatuan yakni bahasa Indonesia. Spirit itu telah membebaskan bangsa ini dari perbudakan Belanda 350 tahun.

Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945. Itu menjadi kebahagiaan tersendiri bagi Aceh. Sertamerta pula menyatakan kesetiaan kepada Indonesia merdeka. Padahal Aceh pernah diperjanjikan sebagai zona bebas yang membatasi wilayah jajahan Inggris dan Belanda. Peluang untuk berdiri sendiri terbuka amat lebar. Namun atas dasar kecintaan terhadap sesama bangsa tertindas, Aceh merasa patut memiliki kebanggaan terhadap negara besar Indonesia. Ada keinginan untuk mewujudkan negara besar ini menjadi kuat di tengah percaturan dunia. Sehingga tanpa tedeng aling-aling komitmen keindonesiaan dipatrikan pada dada pemimpin dan rakyat Aceh kala itu.

Namun sejarah berikutnya berkata lain. Aceh menuai kekecewaan-kekecewaan atas pengelolaan negara yang telah menindas perasaan keadilan.
Kesewenangan pemerintah pusat dianggap sebagai bentuk penjajahan baru terhadap bangsa sendiri. Maka sebagai komunitas merdeka yang tidak berpengalaman berada di bawah kekuasaan penjajah, Aceh lebih reaktif menyikapi ketidak-adilan pemerintah Indonesia merdeka, dibandingkan daerah lain di Indonesia. Konsekwensi itulah yang kemudian melahirkan konflik internal berupa perlawanan-demi perlawanan terhadap negara sendiri.

Konflik berpuluh tahun terjadi di Aceh sejak Indonesia merdeka, bukanlah separatisme buta yang mengangkangi nasionalisme. Akan tetapi sebuah protes terhadap penyelenggaraan pemerintahan yang justru berpotensi melunturkan nasionalisme. Cita-cita kemerdekaan Indonesia untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur, justru dicemari oleh noda kekuasaan yang amat berbisa dan meracuni. Sehingga keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia terkontaminasi oleh birahi politik-kekuasaan. Primordialisme lebih mengemuka dibandingkan kebersamaan nasional untuk perwujudan keadilan social. Itulah yang membuat konflik berdarah-darah di Aceh, ditambah bencana gempa dan tsunami yang meluluh lantakan Aceh mendorong pihak yang bertikai pada 15 Agustus 2005 menandatangani MoU Helsinki sebagai perdamaaian yang kita harapkan dapat abadi, Amin.

Pascakonflik, rakyat Aceh mengharapkan perdamaian dapat abadi. Perdamaian atas dasar keadilan social bagi seluruh rakyat negeri ini. Perdamaian tidak akan abadi bila keadilan tak terselenggara baik; tidak akan abada bila kehidupan bangsa kembali dihimpit hegemoni kekuasaan yang destruktif. Perdamaian mesti diselamatkan dengan memenuhi keadilan rakyat. Harus ada indikator usaha nyata bukan sekedar slogan usaha, bukan retorika usaha, bukan impian sebentuk janji-janji yang mendongkolkan hati. Tapi pembuktian bahwa usaha keras telah dilakukan.

Damai Aceh untuk kesejahteraan rakyat, bukan damai bagi kepentingan sekelompok masyarakat, atau segelintir mereka yang telah meraih kekuasaan. Sebagai komunitas yang tidak berpengalaman berada di bawah penjajahan, dan sebagai komunitas yang senantiasa duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi dengan berbagai bangsa lain di dunia ini, Aceh akan terus melawan setiap bentuk ketidak-adilan dan ketidak benaran. Namun akan menjunjung tinggi setiap usaha dan keadaan yang mengarah pada pencapaian keadilan hidup lahir batin, dunia dan akhirat. Nasionalisme rakyat Aceh bukan sebatas kain merah dan putih. Tapi filosofi merah putih yang maujud dalam kehidupan nyata. Sebab yang harus diselamatkan bukanlah selembar kain, tapi berjuta-juta lembar nyawa rakyat yang merindukan keadilan dan kesejahteraan.

*) TAF Haikal adalah aktivis LSM Aceh & Mantan Direktur Eksekutif Forum LSM Aceh serta Jurubica Kaukus Pantai Barat Selatan (KPBS)

KPBS Nilai BRR Semakin Curang

Serambi Indonesia, 20 April 2008

Kaukus Pantai Barat-Selatan (KPBS) menilai kebijakan yang diambil Badan Rehabilitasi dan Rekontruksi (BRR) Aceh-Nias, akhir-akhir semakin curang, dan tidak berpihakan pada korban. Padahal badan yang dipimpin Kuntoro tersebut seharusnya lebih mementingkan kepentingan korban tsunami dan gempa sebagai mana diamanahkan Perpres, malah hal itu diabaikan begitu saja. Buktinya sampai saat ini tuntutan korban tsunami untuk dana rehab rumah Rp 15 juta belum juga dipenuhi. Malah sebaliknya badan tersebut memperhatikan hal-hal yang di luar kepentingan korban bencana dan tidak ada dalam Blueprit seperti, pembangunan beberapa kantor kejaksaan yang tidak rusak karena tsunami, ungkap TAF Haikal kepada Serambi, Sabtu (19/4).

Bukan itu saja, beber Haikal, untuk kegiatan pekan kebudayaan yang diberinama Diwana Cakradonya malah BRR memberi dana mencapai Rp 3 miliar. Sebenarnya kita tidak mempersoalkan hal seperti itu, kalau hak-hak korban terlebih dahulu dipenuhi. Karena itu tugas utamanya, maka kita nilai kebijakan yang diambil BRR yang dituntut korban tidak dipenuhi itu tindakan curang, ujar Haikal.

Namun yang lebih menyedihkan, katanya, pernyataan T Kamaruzzaman (sekretaris BRR Aceh-Nias) melalui media beberapa hari lalu yang dinilai tidak mencermin sebuah solusi menyangkut tuntutan korban stunami soal dana rehab rumah Rp 15 juta.
Penjelasan panjang, salah satu orang penting di BRR itu, katanya, justru mencerminkan pengaburan masalah walau secara sekilas tampak sedang menjelaskan kerangka prosedural terkait pengelolaan anggaran APBN.

Siapa pun tahu, lanjutnya, bahwa badan ini diberi mandat untuk melakukan koordinasi program rehabilitasi dan rekontruksi yang dilakukan oleh berbagai pihak. Dan, pada saat yang sama juga menjadi pelaksana dari program dan kegiatan rehab/rekon baik di Aceh dan Nias. Untuk yang terakhir ini, BRR NAD -NIAS mendapat kesempatan yang luas untuk melakukan penyusunan rencana, pelaksanaan kegiatan, dan lainnya terkait dengan manajemen dan mekanisme kelembagaan, program, dan juga anggaran. Bahwa jika kemudian BRR membutuhkan legalitas dan persetujuan dari berbagai pihak jelas menjadi sebuah keharusan, katanya. Namun, sebagai lembaga yang keberadaannya cukup strategis maka segala sesuatu sangat tergantung pada bagaimana BRR menempatkan sebuah persoalan. Maka posisi lembaga ini bisa dikatakan menjadi aktor kunci baik dalam konteks penyusunan dan pengajuan kegiatan maupun dalam hal pengajuan anggaran, tandas Haikal.

Menjadi sangat tidak cerdas, lanjutnya, manakala berbagai komponen yang ada di Aceh diajak untuk melakukan lobi politik ke DPR dan pemerintah pusat melalui Menteri Keuangan. Karena disaat bersamaan BRR sendiri sudah melakukan sebuah tindakan yang dipandang telah mencederai korban tsunami sekaligus berpotensi merusak harmonisasi sosial. Karena sebagai korban telah dibayar dana rehab rumah Rp 15 juta, sementara korban lain hanya diberiakn Rp 2,5 juta. Ini kan namanya buat konflik baru ditengah masyarakat, ujar Haikal dengan kesalnya

Kalau kemudian BRR mempersoalan jumlah rumah korban yang harus mendapat dana rehab sangatlah banyak sehingga alasannya tidak cukup dana. Ini saya nilai sangat aneh, sebab untuk kepentingan yang di luar korban ada dananya. Maka saya tegaskan sekali lagi bahwa BRR memang semakin curang dalam melakukan tugasnya di Aceh,