Selasa, 25 November 2008

Kabupaten/Kota belum Siap Terima Pelimpahan Kewenangan

Serambi Indonesia, 23/09/2007

BANDA ACEH - Sebagian besar kabupaten/kota di Aceh, hingga saat ini dinilai belum siap menerima pelimpahan kewenangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Penyelenggaran Pemerintah Aceh (UUPA). Buktinya, hingga saat ini baru beberapa kabupaten/kota saja yang sudah membentuk panitia legislasi (panleg), sebagai salah satu perangkat dan fungsi di Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota (DPRK) dalam menyusun peraturan-peraturan yang mengimplementasikan terjemahan dari UUPA.

Hal itu diungkap oleh Dekan Fakultas Hukum Unsyiah, Mawardi SH Mhum, dan mantan Ketua Forum LSM, TAF Haikal secara terpisah kepada Serambi Sabtu (22/9). “Saya tidak mau mengatakan mereka belum siap. Tapi dari beberapa informasi yang saya dapat, banyak DPRK yang belum membentuk panleg, apalagi prolegda (program legislasi daerah). Padahal mereka juga harus punya prolega, karena dalam UUPA ada beberapa qanun yang harus dipersiapkan oleh kabupaten/kota, bukan oleh provinsi,” kata Mawardi.
Menanggapi pendapat Ketua Komisi A DPRK Aceh Timur, Muslim A Gani SH yang menilai beberapa pasal dalam UUPA bersifat sentralistik dalam hal pengelolaan keuangan, sehingga harus direvisi kembali, Dekan Fakultas Hukum Unsyiah yang juga mantan anggota DPRD Aceh ini mengatakan, persoalan itu muncul karena adanya kelemahan dalam sosialisasi UUPA yang dilaksanakan beberapa waktu lalu.
“Saya melihat ada kelemahan dalam sosialisasi UUPA. Kita jarang sekali mensosialisasikan dampak UUPA terhadap kabupaten/kota dan apa-apa saja yang harus mereka persiapkan. Sehingga banyak yang belum tahu bagaimana sistim pengelolaan keuangan dalam UUPA, termasuk pengelolaan dana untuk kabupaten/kota,” katanya.
Seperti diberitakan beberapa hari lalu, Ketua Komisi A DPRK Aceh Timur, Muslim A Gani SH berpendapat, beberapa pasal dalam UUPA, terutama pasal-pasal yang masih bersifat sentralistik dalam hal pengelolaan keuangan, perlu direvisi kembali. Menurutnya, pasal 182 ayat (1) hingga (7) tentang pembagian dana migas yang dimasukkan dalam APBA, telah membuat hak-hak otonomi tentang pengelolaan dana bagi hasil migas untuk pemerintah kabupaten/kota menjadi terabaikan. “Yang lebih fatal lagi, berbagai program pembangunan kabupaten /kota yang dananya bersumber dari dana bagi hasil migas, harus terlebih dahulu disepakati oleh Pemerintah Propinsi NAD,” ujar Muslim kepada Serambi, Senin (17/9) lalu.
Menurut Mawardi, pendapat Muslim bahwa UUPA bersifat sentralistik tidak seluruhnya benar. Karena, katanya, pengalokasian tambahan dana bagi hasil migas yang selama ini dibagi dalam bentuk uang ke dalam APBD masing-masing kabupaten/kota, daerah penghasil, dan provinsi, selalu mendapat kritikan dari pusat. “Ini dikritik oleh pemerintah pusat. Mereka menganggap bahwa keberadaan UU Nomor 18 tidak dirasakan oleh masyarakat. Karena uang yang masuk ke dalam APBD itu kemudian banyak yang dipakai untuk beli mobil pejabat dan hal-hal lain yang tidak menyentuh kepentingan publik,” katanya.
Ia menambahkan, atas pertimbangan itu, maka UUPA ingin mengontrol pemakaian dana tersebut dengan menerapkan sedikit unsur sentralistik. “Saya pikir, dalam UUPA hak kabupaten/kota sama sekali tidak berkurang, hanya kewenangannya ––dalam pengelolaan uang cash–– yang sedikit terkurangi. Misalnya mereka dulu mendapatkan Rp 50 miliar, dalam UUPA mereka tetap mendapatkan itu, cuma tidak dalam bentuk uang cash, tapi dalam bentuk program. Jadi saya kira tidak sepenuhnya sentralistik, tapi lebih kepada pengontrolan. Agar dana tersebut benar-benar dapat dinikmati oleh rakyat,” ungkap Mawardi.

Belum siap
Pendapat hampir senada juga diungkap anggota jaringan Prolega dari Forum LSM Aceh, TAF Haikal. Bahkan, Haikal dengan tegas menyatakan bahwa sebagian besar kabupaten/kota hingga saat ini belum siap menerima pelimpahan kewenangan sebagaimana tercantum dalam UUPA.
“Saya pikir, sebagian besar kabupaten/kota belum siap menerima pelimpahan kewenangan sebagaimana yang diatur dalam UUPA. Soalnya, hingga sekarang sebagian besar DPRK belum membentuk panleg, padahal itu merupakan salah satu fungsi dewan, selain fungsi anggaran dan pengawasan. Kalau panleg tidak ada, maka satu fungsinya tidak jalan, karena merekalah yang akan menjabarkan aturan-aturan turunan UUPA,” katanya.
Menurut dia, jika kewenangan dari UUPA itu dipaksa dilimpahkan ke kabupaten/kota yang tidak ada panleg dan peraturan yang mengatur kewenangan itu, maka dipastikan akan berimbas pada uang yang banyak, tapi tidak ada aturan. “Sehingga uang itu hanya menumpuk saja, dan tidak dinikmati oleh masyarakat,” katanya.
Haikal berpendapat, akan sangat strategis jika semua kabupaten/kota sudah punya panleg dan sudah punya peraturan-peraturan yang mengimplementasikan terjemahan UUPA, terutama yang berkaitan dengan qanun-qanun yang berhubungan dengan publik. Karenanya, ia mendesak kepada DPRK di kabupaten/kota untuk segera membentuk panleg dan menetapkan program legislasi daerah kabupaten/kota. “Saya pikir itu sangat mendesak dilakukan, sehingga provinsi semakin yakin untuk melimpahkan wewenang ke kabupaten/kota. Kalau belum punya aturan ya belum bisa dilimpahkan,” katanya. Ditanya tentang usul untuk merevisi beberapa pasal UUPA yang dinilai masih sentralistik, Haikal mengatakan hal itu hanya akan membuang energi saja. “Saya pikir jangan dulu direvisi, tapi apa yang menjadi terjemahan dari UUPA itu yang sebenarnya lebih mendesak untuk dijalankan. Apabila itu sudah bisa berjalan, kita baru bisa melihat kelemahan-kelemahan dari UUPA,” katanya.

Desak selesaikan raqan
Selain mengomentari tentang kesiapan kabupaten/kota dalam menerima pelimpahan kewenangan dari UUPA, Mawardi Ismail dan TAF Haikal juga mendesak pihak Pemprov dan DPR Aceh untuk memacu penyelesaian 17 rancangan qanun (raqan) prioritas yang dijadwalkan selesai dalam tahun ini.
Menurut Mawardi, penyelesaian 17 raqan prioritas itu akan menunjukkan keseriusan Pemerintah Aceh dan DPRA dalam mengimplementasikan pasal-pasal dalam UUPA.
“Supaya langkah pertama ini terlihat lancar, Pemerintah Aceh dan DPRA harus mengambil langkah - langkah yang konkrit sehingga upaya untuk menyelesaikan qanun-qanun yang telah diprioritaskan akan selesai tahun ini.
Minimal sebagian besar (di atas 12 qanun) akan selesai dibahas tahun ini. Kalaupun ada yang tersisa, itu harus karena alasan yang sangat kuat,” ujar Mawardi.
TAF Haikal menambahkan, jika 17 rancangan qanun prioritas itu tidak bisa diselesaikan dalam tahun ini, maka akan berdampak pada akan menumpuknya pekerjaan pada tahun berikutnya. “Jika ini terus terjadi pada tahun berikutnya, maka akan berdampak pada lambannya implementasi dari butir-butir UUPA.
Sehingga akan sangat merugikan masyarakat Aceh,” demikian TAF Haikal.(nal)

Tidak ada komentar: