Rabu, 18 Februari 2009

Haikal : Lemah Pengawasan Hutan di Aceh Barat

theglobejournal.com, 18 Februari 2008
Terbakarnya hutan gambut yang terjadi di Aceh Barat dan Aceh Jaya yang sudah terjadi semenjak sepekan terakhir dan hingga saat ini belum bisa ditangani, hal ini terjadi akibat lemahnya pengawasan pemerintah daerah dalam menjaga kawasan yang dijadikan lahan perkebunan oleh masyarakat.

"Kebakaran hutan di lahan gambut tersebut terjadi akibat pembukaan lahan untuk perkebunan sawit oleh masyarakat. Ini juga dikarenakan lemahnya pemantauan dan koordinasi para dinas terkait," ujar Juru Bicara Kaukus Pantai Barat Selatan, TAF Haikal kepada wartawan, Rabu (18/2).
Menurutnya, pembukaan lahan jika tidak ditangani dengan baik sering mengakibatkan kebakaran, belum lagi wilayah tersebut dalam beberapa pekan terakhir bercuaca panas, sehingga sangat rawan kebakaran. Haikal menyebut, jika tidak segera ditangani, api bisa semakin meluas. Dan tidak menutup kemungkinan hal yang sama juga akan terjadi di Aceh Selatan dan Aceh Singkil. "Sebelumnya juga pernah muncul asap tebal di Singkil, tapi kemudian tidak meluas," ujarnya.
Untuk itu, Kaukus Pantai Barat Selatan meminta pemerintah segera melakukan langkah-langkah penanganan secara berlanjut dengan perencanaan yang terpadu di seluruh instansi terkait. Khususnya untuk meminimalkan kebakaran yang sedang terjadi dan pencegahan terhadap hal sama yang mungkin terulang lagi ke depan.

Dia berharap masyarakat lebih berhati-hati dalam melakukan pembersihan lahan. Haikal meminta masyarakat selalu melakukan koordinasi dengan instansi terkait, jika ingin membuka lahan di wilayah yang rawan kebakaran hutan.[003]

Jumat, 23 Januari 2009

Jalan Banda Aceh-Calang Harus Dituntaskan

Serambi Indonesia, 23 Januari 2009
BANDA ACEH - Masyarakat di pantai barat selatan Aceh yang tergabung dalam Kaukus Pantai Barat Selatan (KPBS) mengharapkan kepada Pemerintah Aceh, BRR, dan USAID, untuk menuntaskan pembangunan jalan Banda Aceh-Calang. Pembangunan jalan ini dinilai sebagai salah satu indikator bagi pelaksanaan rekonstruksi Aceh pascatsunami.
“Jika jalan ini belum mampu diwujudkan, maka menurut kami ini menciderai harapan ribuan korban tsunami di Aceh, terutama masyarakat yang berada di pesisr pantai barat selatan,” tulis Jubir KPBS, TAF Haikal dalam siaran persnya kepada Serambi, Kamis (22/1).

Ia mendesak Pemerintah Aceh segera mengambil tindakan yang diperlukan untuk menuntaskan proses pembebasan tanah. “Jika proses ini diharuskan menempuh jalur hukum, maka kami mendesak pemerintah untuk menempatkan dana tersebut di pengadilan. Biarkan mekanisme hukum yang menyelesaikannya,” kata dia.

Haikal juga mendesak USAID dan kontraktornya untuk segera menyelesaikan pembangunan jalan tersebut, khususnya di section IV. Dikatakan, kalau alasan keamanan yang dikeluhkan, maka USAID dan kontraktornya harus berkoordinasi dengan pemerintah, baik pemerintah Provinsi maupun Kabupaten Aceh Jaya.

“Jika hal ini dirasakan juga belum cukup, maka diperlukan pengamanan yang lebih strategis. Pada prinsipnya, jangan sampai persoalan tersebut menyebabkan terhambatnya pembangunan jalan tersebut,” ujar Haikal.

Ia juga mendesak DPR Aceh untuk segera mengambil langkah nyata. Menurut dia, jika persoalan ini juga belum mampu diselesaikan, maka kekecewaan masyarakat tidak akan berhenti.(nal

Proyek Jalan Banda Aceh-Calang Masih Terbelit Ganti Rugi, USAID jangan Kambinghitamkan Masyarakat

Serambi Indonesia, 22 Januari 2009
Harapan untuk segera bisa ’berpacu‘ di jalan tanpa hambatan mulai dari Banda Aceh sampai ke Calang, tampaknya harus disimpan dulu, entah sampai kapan. Kabar terbaru yang diperoleh Serambi, pembangunan ruas jalan tersebut oleh USAID masih saja terbelit masalah ganti rugi pembebasan tanah serta penghentian pekerjaan oleh USAID dengan alasan kontraktor tidak nyaman.
Seperti diketahui, biaya pembangunan fisik pembukaan dan pelebaran badan jalan dan jembatan di lintas Banda Aceh-Calang ditanggung sepenuhnya oleh USAID. Sedangkan ganti rugi tanah yang terkena proyek, seharusnya ditanggung oleh BRR NAD-Nias namun karena prosesnya tak tuntas sepanjang dua tahun lalu, kini beban ganti rugi menjadi tanggungjawab APBA.

Tahun lalu Pemerintah Aceh menyediakan anggaran untuk pembebasan tanah yang terkena proyek jalan Banda Aceh-Calang mencapai Rp 21 miliar. Tapi dari yang disediakan itu, hanya terealisir Rp 10 miliar sedangkan sisanya Rp 11 miliar dimatikan. Tahun ini untuk maksud yang sama dialokasikan kembali Rp 10 miliar.

Sehubungan masih banyaknya kendala dalam pelaksanaan proyek jalan Banda Aceh-Calang, dilakukan rapat koordinasi di Kantor Gubernur Aceh, Rabu (21/1) yang diikuti unsur pemerintah provinsi, kabupaten, dan semua pihak lainnya yang terlibat dalam proyek tersebut. Rapat dipimpin Asisten II Bidang Pembangunan dan Ekonomi Setda Aceh, Said Mustafa didampingi Asisten I Bidang Pamerintahan, M Ali Alfata. Hadir Wakil Bupati Aceh Jaya, Zamzami A Rani, utusan dari USAID (Roy), kontraktor pelaksana (PT Hutama Karya, Syamyong dari Korea dan PT Wika), Dinas Bina Marga dan Cipta Karya, BPN Provinsi dan Aceh Jaya, serta sejumlah pihak terkait lainnya.

Jumlah persil bertambah
Dalam forum itu, Kepala BPN Aceh Jaya, T Johan melaporkan, dari hasil pengukuran yang dilakukan juru ukurnya, jumlah tanah masyarakat yang terkena pelebaran ruas jalan baru dari Lhoong (Aceh Besar) sampai Calang (Aceh Jaya) bertambah 238 persil lagi.

Terjadinya penambahan, menurut T Johan, karena dari ruas jalan yang dilebarkan awalnya dibutuhkan sekitar 30 meter, tapi fakta di lapangan pada waktu dilakukan pembersihan badan jalan karena medannya berat, luas tanah yang dibutuhkan bertambah antara 35-50 meter. “Ini harus dibebaskan untuk keselamatan pengendara dan keindahan badan jalan, meski hal itu tidak terjadi di semua ruas badan jalan yang dilebarkan,” lapor Johan.

Jumlah yang terjadi penambahan itu, menurut Johan yang juga Sekretaris Panitia Pembebasan Tanah Aceh Jaya, belum termasuk 54 persil tanah masyarakat yang menurut Roy dari USAID belum diganti ruginya.

Desakan Pemkab Aceh Jaya
Selain masalah ganti rugi tanah, dalam rapat koordinasi itu juga muncul desakan dari Wakil Bupati Aceh Jaya, Zamzami A Rani, supaya USAID segera melanjutkan pembangunan jalan dan jembatan Lambeusoe yang terdapat dalam Section IV Lamno, Aceh Jaya.

Menurut Zamzami, dirinya kurang sependapat dengan alasan yang disampaikan Roy dari USAID bahwa penyetopan kegiatan proyek jembatan Lambeusoe disebabkan kurang nyamannya kontraktor untuk melaksanakan pekerjaan.

Masyarakat Lamno, kata Zamzami, meminta supaya USAID segera melanjutkan pembangunan jembatan Lambeusoe serta dua jembatan lainnya dan 12 kilometer badan jalan yang tanahnya telah dibebaskan di Lamno.

Dikatakan Zamzami, ketika proyek itu dihentikan pada bulan April 2008, pihak USAID berjanji akan melanjutkan pekerjaan dua bulan ke depan. “Nyatanya, sampai bulan ke delapan pasca-penghentian, belum juga dilaksanakan pekerjaan,” ungkap Zamzami.

Wakil Bupati Aceh Jaya itu mengungkapkan, pada awal proyek jembatan itu dilaksanakan PT Wika dua tahun lalu, masyarakat sekitar proyek ada mengajukan proposal bantuan dana untuk pembangunan masjid. Hal seperti ini lazim dilakukan masyarakat. Namun jika tidak diberikan, tak masalah. “Masyarakat tidak mengganggu kegiatan proyek, asal dalam pekerjaan proyeknya melibatkan masyarakat setempat. Permintaan untuk dilibatkan inilah yang mungkin diterjemahkan oleh pihak USAID sebagai gangguan yang membuat tidak nyaman sehingga menghentikan pekerjaan,” kata Wakil Bupati Aceh Jaya.

Konflik Wika-USAID
Berdasarkan informasi yang diperoleh Wakil Bupati Aceh Jaya, penyebab dihentikannya untuk sementara pembangunan jembatan Lambeuso, karena adanya konflik antara PT Wika dengan USAID. “Yang tidak enaknya, masyarakat sekitar dijadikan dalih penyetopan kegiatan proyek. Harusnya USAID tak mengkambinghitamkan masyarakat,” ujar Zamzami yang dihubungi terpisah, tadi malam.

Sedangkan Roy dari USAID mengatakan, penyetopan sementara pekerjaan pembangunan jembatan Lambeusoe dan dua jembatan lainnya serta 12 kilometer jalan di Lamno yang masuk dalam paket pekerjaan Section IV, semata-mata karena kurang nyamannya kontraktor melakukan pekerjaan lapangan. “Setelah ada garansi dari masyarakat bahwa proyek itu bisa dikerjakan kembali dengan rasa aman, maka pekerjaannya akan dilanjutkan,” tandas Roy.

Soal tiang listrik
Hambatan lainnya, ungkap seorang peserta rapat adalah pemindahan tiang listrik PLN yang terkena pelebaran jalan. Tahun lalu BRR NAD-Nias masih menyediakan anggaran untuk pemindahan tiang listrik dan penyambungan kembali jaringan listrik ke rumah penduduk. Namun tahun ini BRR tidak lagi mengalokasikan dana tersebut sehingga harus menjadi tanggungan APBA.

Untuk pemindahan tiang litrik dibutuhkan dana Rp 700 juta. Selain itu penyelesaian pipa air bersih dan penyambungannya ke rumah penduduk dibutuhkan dana senilai Rp 800 juta sehingga total dana yang dibutuhkan untuk kedua kegiatan itu mencapai Rp 1,5 miliar.

Bentuk tim terpadu
Menanggapi berbagai persoalan dan masukan yang disampaikan peserta rapat, Asisten II Setda Aceh, Said Mustafa menyatakan, untuk menyelesaikan masalah tersebut diperlukan satu tim terpadu yang melibatkan seluruh pihak dalam menentukan sistem dan cara apa yang akan ditempuh untuk menyelesaikan semua masalah yang muncul di lapangan.

Tujuan pembentukan tim terpadu itu dimakudkan agar masalah yang muncul bisa diselesaikan secepatnya dan memuaskan semua pihak, baik masyarakat, USAID maupun rekanan serta pemerintah daerah. Tim ini dipmpin oleh Pemerintah Aceh Jaya. “Pemerintah provinsi mengirimkan anggotanya yang berkenaan dengan pembayaran ganti rugi dan pemantauan lapangan,” ujar Said seraya menutup rapat.(her/nas)

Selasa, 13 Januari 2009

APBA 2009 Harus Menjawab Kebutuhan Rakyat

theglobejournal.com, 14 januari 2009

Beberapa pihak mengharapkan rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (RAPBA) 2009 mencapai Rp 9,5 triliun beberapa pihak mengharapkan dana sebesar itu haruslah menjawab kebutuhan akan pemerataan pembangunan di Aceh.

Jurubicara Kaukus Pantai Barat Selatan, TAF Haikal kepada The Globe Journal, Senin (12/1) menyebutkan, RAPBA 2009 mencapai Rp 9,5 triliun, angka tersebut merupakan usulan dari Eksekutif melalui Tim Anggaran Pemerintah Aceh (TAPA), akan tetapi, berbeda dengan anggota DPRA melalui pokjanya yang mengusulkan Rp 11,036 triliun. “Berapapun besarnya alokasi APBA tahun ini haruslah menjawab kebutuhan akan pemerataan pembangunan di Aceh, pembangunan yang akan dilakukan mestilah melihat aspek akselerasi pembangunan, sehingga APBA betul-betul dapat dinikmati dalam bentuk pembangunan dan menurunkan angka kemiskinan di Aceh,” ujar Haikal.

Menurut Haikal hal ini masyarakat menanti APBA yang betul-betul memberikan manfaat bagi semua pihak, bukan hanya bagi kalangan pemerintah saja. “Bisa kita lihat, bagaimana penanganan pembangunan di pantai barat-selatan Aceh yang masih sulit ditempuh dengan darat. Selain itu, bagaimana penanganan banjir disebagian wilayah di Aceh. Rakyat Aceh membutuhkan kerja yang cepat dan berkualitas,” sebutnya.

Haikal meminta pemerintah Aceh dan DPRA untuk lebih terbuka dalam membahas RAPBA 2009. Jangan ada yang ditutup-tutupi. “Toh, hari ini kita semua bekerja untuk dan demi rakyat. Pembahasan APBA 2009 merupakan ukuran untuk melihat sisi kerakyatan dari Pemerintah Aceh dan DPR Aceh. Sejauhmana kualitas program dan kegiatan mampu dinikmati oleh rakyat,” paparnya.[003]

Kamis, 25 Desember 2008

Proses Rehab-Rekon belum Selesai

Serambi Indonesia, 26 Desember 2008
BANDA ACEH - Hari ini, Jumat (26/12), bencana gempa dan tsunami yang meluluhlantakkan sebagian Aceh, genap empat tahun. Ini merupakan tonggak sejarah yang perlu direnungi dan dikenang setiap tahun. Meski, proses rehabilitasi dan rekonstruksi (rehab-rekon) akibat peristiwa 26 Desember 2004 lalu itu, yang selama ini dimotori BRR NAD-Nias, masih menyisakan banyak masalah.
Demikian sari pendapat yang disampaikan oleh berbagai komponen masyarakat seperti Sekjen Panglima Laot Aceh M Adli Abdullah, Juru Bicara Kaukus Pantai Barat Selatan (KPBS) TAF Haikal, dan Pjs Koordinator GeRAK Aceh Askhalani, terkait peringatan empat tahun tsunami, kepada Serambi, Kamis (25/12).

Menurut Adli Abdullah, rakyat Aceh diingatkan, saat ini ada proses rehab rekon yang belum selesai meskipun sudah empat tahun proses rekontruksi berlangsung di Aceh. “Paling kurang masih ada 3.000 korban tsunami yang masih tinggal di barak. Kita perlu ingat ini harus dituntaskan sebelum BRR bubar,” ujarnya. Dikatakannya, masyarakat Aceh di pesisir harus siap mengantisipasi bom waktu seiring berakhirnya mandat BRR NAD-Nias pada April 2009. Di antaranya, masih ada proyek infrastruktur, termasuk rumah yang rusak karena mutu bangunannya di bawah standar. “Semua ini menjadi kerja tambahan bagi Pemerintah Aceh,” tegasnya.

Pada peringatan empat tahun tsunami ini, Panglima Laot juga mengingatkan agar para nelayan di seluruh Aceh untuk tidak melaut pada 26 Desember dan memperbanyak doa untuk mengenang para korban yang meninggal.

Sementara sorotan kepada BRR juga datang dari Gerak Aceh. Pjs Gerak Aceh, Askhalani menyebutkan, empat tahun tsunami Aceh ternyata masih banyak ditemukan proses rehab-rekon yang belum tuntas dan makin tingginya terjadi kasus yang berpotensi korupsi. “Kedua persoalan ini adalah kegagalan yang terstruktur. BRR NAD-Nias harus bertanggung jawab,” ungkapnya.

Berdasarkan hasil monitoring pihaknya, sebut Askhalani, masih banyak rumah bagi para korban tsunami yang belum selesai dibangun, di antaranya di Aceh Barat, Aceh Jaya, Singkil, dan Simeulue dengan kebutuhan rata-rata di atas seribu unit tiap-tiap kabupaten.

Sementara itu Juru Bicara KPBS, TAF Haikal menyorot, hingga kini salah satu persoalan yang dihadapi masyarakat di kawasan itu terkait belum tuntasnya pembangunan lintasan Banda Aceh-Meulaboh yang didanai USAID. Menurutnya, jalan yang menghubungkan ibukota Provinsi Aceh menuju Kota Meulaboh belum juga menunjukkan perkembangan yang pesat. “Banyak persoalan yang dihadapi dalam menyelesaikan pembangunan jalan tersebut. Menurut kami jalan ini sangat strategis dan penting untuk menjadi prioritas,” tegasnya. Dia sebutkan, saat ini terdapat tiga jalur menuju pantai barat-selatan Aceh. Jalur dari Medan melalui Aceh Selatan, jalur tengah melalui Geumpang dan Calang. Namun, katanya, ketiga jalur ini kondisinya sangat memprihatinkan. “Jika jalur ini putus akibat banjir dan longsor, hal ini akan berakibat pada melonjaknya harga kebutuhan pokok. Oleh karena itu, jalan strategis itu mutlak harus diselesaikan,” kata Haikal. Dia juga menambahkan, sisa waktu sebelum BRR bubar, diharapkan program pembangunan rumah bagi korban tsunami harus dituntaskan dengan tetap mengacu pada kualitas rumah yang dibangun.(sar/nal)

Sabtu, 20 Desember 2008

Sengkarut Panwaslu Aceh

Saturday, 20 December 2008 15:15 WIB
MUNAWARDI ISMAIL
WASPADA ONLINE

PEMILU di Aceh kali ini punya corak yang berbeda. Partai-partai politik yang akan bertarung di tanah rencong diramaikan dengan kehadiran partai lokal. Partai 'made in' Serambi Makkah itu akan berupaya mendongkel dominasi partai nasional dalam meraih kursi di legislatif. Sialnya, sampai hari ini posisi 'wasit' mulai mengerucut.

Yusra Jamali mungkin sudah lelah berpolemik, sehingga dia mengundurkan diri dalam fit and proper test yang dilakukan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dua hari lalu di Banda Aceh. Dia salah satu dari lima anggota Panwaslu Aceh, yang lelah menunggu pelantikan. Empat lainnya adalah Nyak Arief Fadhillah, Rasyidin Hamin, Radhiana, dan Asqalani.

Kasus Panwaslu Aceh memang sudah lama berbelit-belit. Jalan panjang itu dimulai dari dualisme hukum berkaitan dengan pembentukan lembaga itu. Komisi Pemilihan Umum pusat ingin pembentukan serta pelantikan anggota panwaslu di Aceh merujuk pada UU No 22 tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilu dan Peraturan KPU Nomor 14 Tahun 2008.

Sedang Dewan Perwakilan Rakyat Aceh berpedoman pada UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dan Qanun Nomor 7 Tahun 2007. Dengan aturan itu, lembaga legislatif itu berwenang menyeleksi dan menetapkan anggota Panwaslu Aceh.

Masalah itu tambah mencelat, ketika DPR Aceh tetap mengukuhkan lima anggota panitia pengawas pemilu, pada 5 Juni 2008. Kelimanya adalah Nyak Arief Fadhillah, Rasyidin Hamin, Radhiana, Yusra Jamali dan Asqalani. Nama-nama itu dikirim ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) di Jakarta.

Akibatnya bisa ditebak, Bawaslu dan KPU menolak. Gara-gara penolakan pelantikan inilah yang menyebabkan anggota Panwaslu Aceh yang sudah direkrut oleh DPRA belum dilantik. Imbasnya, Panwaslu kabupaten dan kota juga tidak dapat dilantik, sehingga tugas-tugas pengawasan terhadap jalannya pemilu di Aceh tidak dapat dilaksanakan.

Pengamat politik Universitas Syiah Kuala, Mawardi Ismail, SH, M.Hum punya pandangan tersendiri terhadap polemik ini. Ternyata, penafsiran antara yang di Jakarta dengan Aceh berbeda. Memang ada dualisme hukum di sana. Namun, yang membuat dia geleng-geleng kepala, kasus ini diselesaikan lewat korespondensi (surat menyurat) bukan melalui aturan hukum.

Korespondensi yang dimaksud dekan Fakultas Hukum Unsyiah itu tak lain surat penolakan yang dikirim Bawaslu ke DPR Aceh. Kemudian giliran legislatif Aceh membalas surat itu. Begitu pula hal yang sama juga dilakukan KPU. Mereka meminta Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh untuk menyeleksi ulang anggota Panwaslu yang dimaksud.

Jika kasusnya seperti itu, menurut Mawardi, ada mekanisme hukum yang harus ditempuh untuk mengoreksi Qanun No.7 Tahun 2007 sebagai landasan membentuk Panwaslu di Aceh. Kata dia, berlarutnya pembentukan Panwaslu itu akibat adanya penafsiran antara pusat dan daerah.

"Daerah menafsirkan Panwaslu termasuk melaksanakan pemilu legislatif dan presiden, sedangkan pusat berpikir Panwas yang diatur dalam UU No.11 tahun 2006 tidak ikut mengawasi ini," beber mantan anggota DPRD DI Aceh itu.

Ketidaksetujuan pusat terhadap Qanun itu, hingga kini berbuntut panjang. Mawardi mengkritik. Sejatinya, jika ada perbedaan penafsiran dan pusat --terutama lembaga semacam KPU dan Bawaslu --yang menganggap isi qanun yang diatur daerah tidak benar, maka untuk mengoreksinya harus ditempuh sesuai mekanisme.

Mekanisme itu, lanjut dia dengan peraturan presiden yang bisa membatalkan Qanun itu. "Kalau tidak bisa lewat Perpres karena sudah lewat 60 hari, maka bisa ditempuh lewat yudicial review," sebut ahli hukum tata negara ini.

Nah, dengan demikian, ada kepastian hukum terhadap setiap produk hukum. "Perbaikan atau koreksi terhadap putusan daerah tidak ditunjukkan dengan bentuk surat menyurut. Yang kita lihat kemarin kan itu," ujarnya.

"Jadi ketidaksetujuan sah, tapi harus dilakukan dengan mekanisme yang sah. Selama ini kita lihat pusat tidak menempuh mekanisme yang diatur perundang-undangan. Makanya, jika ada daerah yang mengerti tak terima hal seperti itu. Seharusnya, pusat memberi contoh yang baik untuk daerah," ungkap Mawardi.

Kenapa pusat tak setuju? Sebenarnya ketidaksetujuan pusat bukan pada substansinya, tapi pada mekanismenya. Pada sisi lain dia melihat kenapa persoalan jumlah anggota Panwas Aceh tidak menjadi masalah.

Kata dia, jika melihat surat dari Bawaslu kepada DPRA dan Pemerintah Aceh, mereka tidak menyebutkan tak boleh lima orang, tiga diangkat Bawaslu, sisanya diangkat daerah. "Kalau soal anggaran itu bisa dinegosiasikan."

Sebagai pengamat, Mawardi mengaku setuju Panwaslu Aceh dihuni lima personel. Karena beban yang ditanggung KIP dan Panwaslu di Aceh sangat berat. Berat? Ya, karena di Aceh selain ada partai nasional, juga terdapat partai lokal yang akan ikut mengutip suara dalam Pemilu 2009 nanti.

Pada sisi lain, dia menilai ketidakadaan Panwaslu bukan berarti pengawasan itu tidak ada. Jika tak ada pengawas khusus, maka pengawas umum harus berfungsi. Pengawas umum yang dimaksud Mawardi adalah polisi dan jaksa. "Tak ada Panwaslu bukan berarti pengawas pemilu tak ada, kalau sudah masuk wilayah pidana itu urusan polisi dan jaksa," ulasnya.

Pendapat penuh khawatir juga dilontarkan Manager Aceh Justice Resource Center (AJRC), Dr. Saleh Sjafei. Dia kondisi persiapan Pemilu yang kurang menguntungkan itu berpotensi dan dapat menjadi ancaman bagi kelanggengan perdamaian di Aceh yang baru saja beberapa tahun terwujud.

"Panwaslu harus segera dibentuk untuk mengurangi ancaman keutuhan perdamaian Aceh," katanya singkat.

Kerikil-kerikil yang dikhawatirkan Sjafei itu, mulai terbukti saat Kasibun Daulay, Komandan Lapangan Brigade 8 PKS Aceh, melihat bendera partainya dicomot simpatisan partai lain. Kasibun dan petinggi PKS pun mencak-mencak. Tak tahu harus menyeret kemana si pelaku.

Dia cuma berharap seluruh parpol yang sudah mendeklarasikan pemilu damai, dapat mengimplementasikan hingga ke tingkat bawah. Karena tak ada Panwaslu, dia hanya bisa berharap pihak keamanan dapat bertindak lebih tegas dalam mengamankan pemilu di Aceh ke depan.

Berpikir jernih

Menyikapi itu, akademisi Unsyiah lainnya, Taqwaddin, SH, SE, MS mendesak Bawaslu Pusat berpikir arif dan jernih dalam menyikapi masalah Panwaslu Aceh. Kata dia, Bawaslu tidak perlu menunda pelantikan Panwaslu Aceh karena masa kampanye terbatas telah dimulai sejak 12 Juli 2008, sementara petugas yang mengawasi pelaksanaan pemilu di daerah ini belum ada.

Kata dia, mestinya Bawaslu perlu memahami bahwa Aceh sebagai daerah "khusus" dengan otonominya yang luas harus adanya kebijakan tersediri yang mengadopsi peraturan secara nasional dengan yang berlaku di daerah ini. Dia mencontohkan Undang-Undang nomor 11/2006 tentang penyelenggaraan Pemerintahan di Aceh.

Kandidat doktor Ilmu Hukum ini menambahkan, selama ini semua aktivitas di Aceh, mengacu kepada UU No.11/2006. "Begitu juga dalam hal pembentukan Panwaslu, harus dicarikan solusi secara arif agar pelaksanaan kampanye Pemilu 2009 berjalan secara adil, jujur, demokratis dan tanpa cacat," ungkap dosen Fakultas Hukum ini.

Sehingga, tambah dia, perbedaan antara UU nomor 11/2006 dengan produksi hukum lainnya tidak perlu dipertentangkan. Tertundanya pengesahan dan pelantikan Panwaslus Aceh, kata Taqwaddin, lebih terkait karena perbedaan pemahaman antara UU nomor 22/2007 tentang penyelenggaraan pemilu dengan UU nomor 11/2006 dalam hal rekrutmen calon anggota Panwaslu Aceh harus segera diakhiri.

"UU Pemerintahan Aceh itu harus dipandang sebagai lex seperior dan sekaligus lex spesialis untuk Aceh. Seharusnya, apa yang ditentukan dalam UUPA bahwa anggota panwaslus masing-masing sebanyak lima orang diusulkan DPRA merupakan ketentuan khusus yang harus dijadikan acuan oleh Bawaslu," papar dia lagi.

Apalagi, lanjutnya, UU penyelenggara pemilu maupun UUPA, yang berbeda hanya tentang lembaga yang merekrut. Yang penting lembaga yang melantiknya Panwaslu adalah Bawaslu Pusat. Bukan siapa yang berhak merekrut tetapi yang terpenting diakui ekistensinya," tambah Taqwaddin.

Sementara, TAF Haikal, salah seorang calon legislatif untuk DPR-RI mengatakan sudah seharusnya Panwaslu berada di Aceh seperti daerah lain. "Harus segera ada kebikan yang dilakukan karena eskalasi konflik pemilu akan terbuka lebar dengan adanya parlok di Aceh," sebut dia.

Katanya, jika Panwas tidak ada, akan membuat KIP tidak punya mitra dalam melakukan tahapan-tahapan pelaksanaan pemilu di Aceh. "Juga dapat merugikan partai-partai, serta pengawasan sengketa pengawasan pemilu menjadi lebih rumit," pungkas Haikal.

Syukurlah, kini masalah tersebut bakal segera pamungkas. Segala tafsir segera berakhir. Pasalnya, Bawaslu sudah menyeleksi para kandidat yang sudah dipilih DPRA sebelumnya. Semoga ini tidak lagi membawa sengkarut bagi Pemilu Aceh nanti.
(wir)

http://www.waspada.co.id/berita/sengkarut-panwaslu-aceh.html

Pemilu Aceh harus bebas tekanan

Saturday, 20 December 2008 11:20 WIB
WASPADA ONLINE

BANDA ACEH - Sejumlah elemen sipil di Aceh mendesak agar pemilihan umum di Aceh pada 2009 nanti berlangsung tanpa tekanan. Pemilu kali ini diharapkan bisa berlangsung tanpa tekanan psikologis seperti masa konflik dan darurat militer.

Harapan itu diungkapkan dalam rangka menciptakan pemilu yang berbeda, agar tidak sama seperti masa dulu. "Selama ini kondisi psikologis masyarakat Aceh masih trauma akibat konflik yang berkepanjangan, kita harapkan Pemilu nanti berbeda dengan masa lalu," ungkap Ibrahim Syamsuddin, dari Partai Aceh, kepada wartawan di Banda Aceh.

Disebutkan, sejatinya pada Pemilu nanti, tidak akan berdampak pada psikologis bagi pemilih. Sehingga bisa independen dan tanpa rasa takut dan tekanan dan teror, baik psikologis maupun fisik oleh siapa pun.

"Kami mengharapkan semua pihak untuk dapat memahami kondisi transisi politik yang sedang terjadi di Aceh. Jangan ada tindakan-tindakan dan penyataan mengarah pada ancaman perdamaian di Aceh. Biarlah fungsi keamanan pada Pemilu 2009 kita serahkan pada polisi dan Panwaslu," kata dia.

Pihaknya mengharapkan Pemilu 2009 di Aceh berjalan secara demokratis, adil dan jujur. Apalagi jika mengacu pada undang-undang, keamanan menjadi tanggungjawab polisi. "Peran dan fungsi TNI/Polri harus dipahami semua kalangan dalam rangka menjaga perdamaian di Aceh," ungkap dia.

Hal serupa diungkapkan TAF Haikal, politisi Partai Amanat Nasional (PAN) yang meminta pihak kepolisian agar lebih konsentrasi menjaga keamanan dalam Pemilu. "Jika memang dibutuhkan, TNI baru bisa diminta bantuan tenaganya," sebut dia.

Dia menambahkan, sejatinya dalam kondisi perdamaian sekarang, diberi kesempatan kepada pemilih di Aceh untuk mengekspresikan pilihannya tanpa ada tekanan dari mana pun. "Masyarakat harus bebas dari beban psikologi masa lalu ketika hidup masa konflik," sebutnya.

Haikal sepakat dengan sejumlah politisi lainnya yang menginginkan agar masalah keamanan Pemilu menjadi kewenangan polisi. "Kalau ada keterlibatan TNI untuk pengamanan, ini patut dipertanyakan, sebab Pemilu ini dilakukan secara nasional," ungkap Ketua LSM GeMPAR Aceh, Auzir Fahlevi, SH.

Kata dia, jika ada keterlibatan TNI, harus ada kebijakan khusus dari petinggi, karena tak bisa dilakukan sembarangan. Jadi, lanjut Auzir, kalau sekarang pihak Polri-lah yang sangat berkompeten untuk mengamankan Pemilu sesuai kebijakan pemerintah pusat. "Kalau ada permintaan dari Polri untuk memback-up, saya pikir itu boleh ditindaklanjuti," ujarnya.

Begitu pula dengan Rahmad Djailani dari Partai Rakyat Aceh, yang menilai TNI sama sekali tidak punya wewenang dalam pengamanan Pemilu. "Dalam persoalan Pemilu, domainnya tetap Panwaslu, kalau sudah kriminal maka Polri yang berwenang," katanya.

Dia mengingatkan, agar TNI seharusnya bisa menjaga statemen agar tidak memperkeruh suasana.
(wir/b05)

http://www.waspada.co.id/berita/pemilu-aceh-harus-bebas-tekanan.html