Kamis, 27 November 2008

Terkait Pembahasan RAPBA 2009 Gubernur Diminta Perketat Evaluasi Kinerja SKPA

Serambi Indonesia, 28 Nov 2008

BANDA ACEH - Rendahnya realisasi program dan kegiatan APBA 2008, yang hingga bulan November ini belum mencapai angka 50 persen, menimbulkan keprihatinan sejumlah kalangan. Pemerintah Aceh pun dinilai gagal memenuhi harapan masyarakat untuk menikmati kue pembangunan dari anggaran 2008 sebesar Rp 8,5 triliun. Untuk itu, Gubernur Aceh diminta agar mengevaluasi secara ketat kinerja SKPA ujung tombak pembangunan di Aceh.

“Gubernur Aceh harus mengevalusi kinerja Satuan Kerja Pemerintah Aceh (SKPA) secara ketat. Karena SKPA adalah ujung tombak pembangunan di Aceh. SKPA merupakan cerminan dari kebijakan gubernur, Bila kinerjanya jelek, maka rakyat akan menyimpulkan kinerja gubernur tidak bagus,” ujar Juru Bicara Kaukus Pantai Barat Selatan (KPBS), TAF Haikal, dalam siaran persnya kepada Serambi, Kamis (27/11). Haikal mengatakan, pengalaman itu harus menjadi pelajaran berharga bagi pihak eksekutif dan legislatif di Aceh dalam menyusun anggaran 2009. Terutama agar kasus temuan panitia khusus DPRA tentang banyaknya proyek APBA 2008 yang belum diketahui lokasinya, tidak terulang kembali tahun depan.

“Memang betul, kontribusi ’kegagalan‘ tersebut bukan hanya dari eksekutif, namun juga tidak lepas dari kesalahan legislatif. Tapi hendaknya ini menjadi pelajaran bagi semua pengambil kebijakan di Aceh agar kasus seperti ini tidak terulang lagi tahun depan,” ujarnya.
Pria yang mencalonkan diri sebagai caleg DPRRI dari Partai Amanat Nasional (PAN) Aceh ini menambahkan, kebijakan Gubernur Irwandi Yusuf dengan melakukan fit and proper test terhadap kepala SKPA (Satuan Kerja Pemerintah Aceh) sudah sangat baik. Namun, kata dia, hal itu tampaknya belum cukup untuk mendukung keinginan gubernur untuk melahirkan pemerintahan yang kuat dan bersih.
“Saya pikir harus ada terobosan besar untuk mengawal dan mengevaluasi secara ketat kinerja SKPA,” kata dia.
Jubir KPBS juga mendesak DPRA untuk selektif dalam menyetujui program dan kegiatan dari eksekutif. “DPRA juga harus melakukan pengawasan secara ketat terhadap kinerja SKPA. Menurut kami, semua pihak harus jujur untuk introspeksi diri, jangan lagi masyarakat ditipu dengan ungkapan ’Aceh melimpah dana”, karena kesempatan menikmati itu tidak pernah terwujud,” kata dia.(nal)

APBA 2008 Terancam Molor

Serambi Indonesia, 21 Nov 2008

BANDA ACEH - Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) tahun 2008 dipastikan bakal terlambat pengesahannya, karena sampai saat ini rancangan anggaran tersebut belum diajukan eksekutif ke legislatif untuk dibahas. Bahkan, Selasa (20/11) kemarin, eksekutif baru menyerahkan draf kebijakan umum anggaran (KUA) yang baru selesai diperbaiki, setelah sebelumnya sempat dikembalikan oleh legislatif.

Sekda Aceh, Husni Bahri TOB selaku Ketua Panitia Anggaran Eksekutif yang dikonfirmasi Serambi kemarin tak mau banyak berkomentar tentang RAPBA yang sampai kemarin belum diajukan ke legislatif itu. Kita sudah berupaya maksimal supaya anggaran itu bisa tepat waktu disahkan, tapi bagaimana keadaannya memang seperti ini, katanya.
Ketika didesak, kenapa pengesahan anggaran setiap tahunnya terus molor dari jadwal yang seharusnya, yaitu sebulan sebelum tahun anggaran berjalan berakhir atau satu bulan sebelum tahun anggaran berlaku sudah disahkan. Tolong jangan tanya soal itu lagi, nanti saya salah lagi menjawabnya.
Anda tanya saja pada Rahman Lubis (Kepala Bappeda Aceh -red). Soalnya, itu masalah teknis. Saya tak bisa memberi penjelasan dan itu Kepala Bappeda yang tahu, ujar Husni sambil mengarahkan Serambi agar menjumpai Kepala Bappeda Aceh.
Kepala Bappeda Prof Dr A Rahman Lubis MSc yang dihubungi Serambi kemarin secara terpisah mengakui bahwa APBA 2008 tidak mungkin bisa disahkan pada awal Januari 2008. Bahkan pihaknya memprediksi, anggaran tersebut paling cepat bisa disahkan pada akhir Januari. Itu pun dengan catatan semua pihak berkomitmen mau bekerja keras dalam membahas dan menuntaskan masalah ini (anggaran-red), katanya.
Dikatakan, sejak awal semua pihak sudah berupaya untuk menyelesaikan APBA tahun 2008 sesuai jadwal yang telah ditentukan, yakni awal Januari. Buktinya, eksekutif pada 4 Juli lalu sudah menyerahkan draf KUA ke DPRA. Setelah diteliti, draf tersebut baru dikembalikan legislatif pada 29 Agustus dan diminta untuk diperbaiki kembali. Setelah diperbaiki eksekutif, draf itu diserahkan pada 17 September. Kemudian baru bisa dibahas bersama-sama pada 9-25 Oktober 2007.
Dan baru tadi pukul 15.00 WIB (kemarin-red) kita serahkan hasil pembahasan tersebut untuk dilihat dan diteliti kembali oleh DPRA, kemudian baru akan disetujui bersama dalam nota kesempahaman antara eksekutif dan legislatif mengenai KUA. Saya kira, dalam dua tiga hari ke depan KUA itu sudah ditandatangani, ujar Rahman.

Menurut Rahman, akhir November 2007 nanti pihaknya baru akan menyerahkan ke dewan draf Plafon Prioritas Anggaran Sementara (PPAS), mengingat PPAS tersebut masih dalam penyusunan dan pembahasan dengan kabupaten/kota. Sebab, UU Pemerintahan Aceh sudah mengatur bahwa untuk dana otonomi khusus (Otsus), bagi hasil migas, dan anggaran pendidikan, haruslah melalui persetujuan kabupaten/kota.
Maka kita harus membahasnya dengan kabupaten/kota lebih dulu sebelum dibuat PPAS, ujarnya seraya menerangkan bahwa dana migas dan otsus sudah selesai dibahas dan pekan ini akan dibahas pula dana pendidikan.
Jika PPAS selesai dibahas dewan selama dua pekan, kata Rahman Lubis, maka pihaknya dalam waktu berbarengan akan menyerahkan rancangan kegiatan anggaran (RKA). Pekan pertama Januari kita akan usahakan RAPBA diserahkan ke dewan. Kalau misalnya dewan bisa menyelesaikan pembahasan RAPBA satu bulan, maka pekan pertama Februari anggaran itu sudah bisa disahkan. Itu pun dengan catatan semua pihak mau bekerja keras, timpalnya.
Menurutnya, keterlambatan tersebut tak bisa dipersalahkan pada Pemerintah Aceh semata, karena terkait juga dengan ketentuan yang dikeluarkan pemerintah pusat yang setiap tahun berubah. Contohnya, Permendagri Nomor 13/2006 yang baru setahun berlaku, tapi sudah diubah kembali dengan PP Nomor 59/2007 tentang Penyusunan APBD. Padahal, PP tersebut belum tersosialisasi pada semua pejabat di provinsi, katanya.
Memang diakui PP Nomor 59/2007 itu efektif berlalu pada tahun 2009. Namun, kalau dilihat dari ketentuan yang ada dalam PP tersebut lebih sempurna dibandingkan dengan Permendagri Nomor 13/2006 yang di dalamnya banyak terjadi kerancuan. Maka anggaran kita tahun 2008 sudah menggunakan PP Nomor 59 Tahun 2007, katanya.

Bisa berkepanjangan

Sejumlah pihak sangat menyayangkan molornya pengesahan APBA Tahun 2008 itu, sebab masyarakat akan dirugikan. Apabila anggaran baru bisa disahkan awal Februari, maka hak-hak publik terhadap pembangunan akan terabaikan dalam satu bulan sebelumnya, tukas TAF Haikal, mantan koordinator Forum LSM Aceh.
Dia ingatkan bahwa kerugian publik terhadap molornya pengesahan APBA itu bisa jadi berkepanjangan, karena dinas selaku pengguna anggaran masih memerlukan waktu untuk menyusun rancangan kegiatan dan proses tender. Ini bisa memakan waktu tiga hingga empat bulan, kata tokoh muda yang juga Jubir Kaukus Barat-Selatan ini.
Oleh sebab itu, TAF Haikal mendesak kepala pemerintahan yang ada sekarang segera melakukan pengkajian ulang terhadap semua pejabat, mulai dari sekda, kepala dinas, badan, hingga kepala biro yang ada di lingkungan Pemprov NAD. Sehingga hal seperti ini tahun depan tak terjadi lagi. Bagaimanapun, tindakan seperti ini jelas merugikan rakyat. Sedianya, sebelum triwulan pertama sudah ada proyek yang terealisasi. Tapi karena penetapan APBA molor, apa yang diharapkan itu tak jadi kenyataan, ulas Haikal.
Haikal kembali mengingatkan baha akibat molornya pengesahan anggaran pada tahun 2007, menyebabkan serapan APBA tahun ini menjadi tak maksimal. Bahkan diprediksi, sekitar Rp 2 triliun dari Rp 4 triliun anggaran yang kini ada, bakal tak terserap.
Sementara itu, anggota DPRA, Almanar SH mengatakan, semestinya RAPBA 2008 telah diajukan ke dewan pada awal Oktober 2007. Itu pun dengan catatan telah selesai dibahas KUA dan PPAS.
Namun, kenyataannya sampai saat ini PPAS belunm diserahkan ke dewan. Jadi, apa yang mau dibahas, tukas politisi PAN ini.
Begitupun, menurutnya, masih bisa dipahami, sebab pengelolaan dana otsus dan migas seusai UUPA baru tahun 2008 mendatang diberlakukan. Sementara perangkat hukum tentang penggunaan anggaran itu, yakni qanun, belum selesai dibahas.
Anggota DPRA dari Fraksi Partai Golkar, M Husen Banta, juga sangat menyesalkan keterlambatan pengajuan RAPBA tersebut. Kami tidak mau nanti disalahkan oleh rakyat seolah-olah dewan yang memperlambat pengesahan anggaran. Padahal, sampai saat ini belum juga diajukan eksekutif, ujar Husen seraya menerangkan bahwa untuk membahas hingga tuntas anggaran tersebut minimal memerlukan waktu 45 hari. (sup)

Selasa, 25 November 2008

Penyelesaian Jalan Banda Aceh-Calang Sangat Lamban

Analisa, 7 November 2008

Kaukus Pantai Barat Selatan (KPBS) meminta pembangunan ruas jalan Banda Aceh-Calang (Kabupaten Aceh Jaya) dipercepat sebagai upaya untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi masyarakat di pesisir Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) itu.

“Kami merasakan pembangunan di pesisir barat dan selatan ini jauh tertinggal dibandingkan daerah lainnya di Aceh. Salah satu penyebabnya karena lambannya pembangunan ruas jalan yang didanai Pemerintah Amerika Serikat melalui USAID tersebut,” kata TAF Haikal, Jurubicara KPBS, kepada wartawan di Banda Aceh, Kamis (30/10). Ia menilai, proses pembangunan ruas jalan pantai barat yang dimulai dari Aceh Besar sampai ke Calang sepanjang 150 kilometer itu kemajuannya saat ini baru mencapai 32 persen. “Kami mendapat informasi yang menyebutkan pekerjaan pembangunan jalan itu masih dalam kawasan Aceh Besar, sementara Lamno (Aceh Jaya) ke Calang sudah berhenti karena persoalan teknis,” katanya. Menurut dia, kelanjutan pembangunan jalan Banda Aceh-Calang yang didanai USAID itu diperkirakan terhenti.

“Saya mengindikasikan terhentinya proyek tersebut sebagai salah satu dampak krisis keuangan global yang menimpa Amerika Serikat,” tambahnya. Dari informasi yang diperoleh, Haikal menyebutkan bahwa ruas sepanjang Lanmo-Calang itu terhenti dengan alasan pihak rekanan (PT WK) menarik diri melanjutkan pekerjaan.

Alasan

“Saya melihat itu sebagai alasan. Saya mengkhawatirkan pihak donor akan mencabut bantuan kelanjutan penyelesaian pembangunan jalan Banda Aceh-Calang. Kalau itu terjadi, maka kami juga berharap Pemerintah Aceh serta Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) NAD-Nias untuk menuntut komitmen USAID,” kata dia. KPBS juga minta BRR NAD-Nias sebagai lembaga yang bertanggungjawab dalam proses rehab dan rekon Aceh pasca tsunami 26 Desember 2004 agar mendesak percepatan pembangunan ruas jalan tersebut.

“BRR NAD-Nias harus bertanggungjawab jika pihak donor menarik bantuannya. Sebab, jika kelanjutan pembangunan jalan tersebut dibebankan kepada provinsi jelas tidak mungkin, karena dana yang dibutuhkan cukup besar,” kata Haikal. Seperti diketahui, untuk pembangunan ruas jalan pesisir barat Aceh itu, USAID sebelumnya telah mengalokasikan anggaran senilai 108 juta dolar AS atau sekitar Rp972 miliar Oleh Pemerintah Amerika Serikat (AS) melalui Badan Pembangunan internasionalnya, USAID menyerahkan kontrak rehabilitasi dan rekonstruksi pembangunan jalan Banda Aceh-Calang sepanjang ratusan kilometer kepada kontraktor asal Korea yang memenangkan tender internasional, Ssangyong Enginering Construction Company Limited, sebagai kontraktor utama yang bermitra dengan PT Hutama Karya.

Sebagai jalur ekonomi, jalan itu akan membawa produk perdagangan terbaik yang bisa ditawarkan oleh Provinsi Aceh, dan jalan ini akan mengundang dan memungkinkan adanya invasi investor domestik dan internasional, yang akan menjamin tidak hanya pemulihan ekonomi tapi juga kesejahteraan masyarakat. (mhd)

Pembangunan Jalan Banda Aceh-Calang Lamban

Harian Aceh, 3 November 2008

Juru Bicara Kaukus Pantai Barat Selatan (KPBS) TAF Haikal mengatakan pembangunan ruas jalan Banda Aceh –Calang yang didanai Pemerintah Amerika Serikat melalui USAID terkesan lamban

“ Kami merasakan pembangunan ruas jalan dipesisir barat ddan selatan lamban dibangun, sehingga daerah itu jauh tertinggal dibandingkan daerah lainnya di Aceh, “ kata Haikal (Minggu, 2/11), di Banda Aceh.

Ia meminta pembangunan ruas jalan Banda Aceh Calang (Kabupaten Aceh Jaya) dipercepat sebagai upaya untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi masyarakat dipesisir Aceh itu.

Haikal menilai, proses pembangunan ruas jalan pantai barat yang dimulai datri Aceh Besar sampai Calang sepanjang 150 KM itu kemajuannya saat ini baru mencapai 32 persen,” Kami mendapat informasi yang mnyebutkan pekerjaan pembangunan jalan itu masih dalam kawasan Aceh Besar, sementara Lamno ( Aceh Jaya) ke Calang sudah berhenti karena persoalan teknis, “ katanya. (bai)

Aparat diminta siaga hadapi bencana alam

Waspada, 22 October 2008

BANDA ACEH - Pemerintah kabupaten di pesisir barat dan selatan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) meminta aparatnya mempersiapkan wilayahnya masing-masing dalam menghadapi banjir dan tanah longsor, guna meminimalkan korban manusia bila terjadi bencana alam.
"Kami berharap pemerintah di wilayah rawan banjir dan tanah longsor akibat tingginya curah hujan agar menyiagakan semua aparat mulai dari Keuchik (kepala desa-red) sampai pejabat di kabupaten masing-masing," kata juru bicara Kaukus Pantai Barat dan Selatan (KPBS) TAF Haikal di Banda Aceh, Rabu.
Kesiagaan aparatur pemerintahan itu penting untuk meminimalkan masalah bila terjadi bencana sekaligus penanganan pengungsi pasca musibah itu terjadi.
"Antisipasi penanganan akan jauh lebih bermanfaat terutama mengurangi resiko korban nyawa, harta dan benda akibat bencana alam," tambahnya.
Menurutnya, kesiapan aparatur pemerintah sejak kades sampai pejabat di jajaran Pemerintah kabupaten dan kota itu sangat membantu masyarakat, terutama terkait dengan sosialisasi pencegahan korban saat bencana alam terjadi.
"Dengan adanya informasi dari pemerintah maka kesiapan masyarakat menghadapi bencana alam akan lebih matang," kata dia.
TAF Haikal menjelaskan sejumlah kabupaten di pesisir barat dan selatan merupakan rawan banjir bandang dan tanah longsor, seperti di Aceh Selatan, Aceh Barat Daya, Nagan Raya, Aceh Barat dan Aceh Jaya.
"Wilayah pantai barat selatan Aceh rawan bencana alam banjir, tanah longsor dan kekeringan sebagai dampak dari deforestasi yang merusakan lingkungan/alam yang terjadi dari masa maraknya operasi HPH," kata dia.
Selain itu, juru bicara KPBS juga minta komitmen Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) untuk mencegah aksi pembalakan hutan yang hingga kini disinyalir masih marak di wilayah pesisir tersebut.
"Komitmen pemerintah sipil dan aparat penegak hukum penting untuk menyelamatkan lingkungan dari kepunahan akibat keserakahan orang yang tidak bertanggung jawab dengan tujuan memperkaya diri tanpa memperhatikan keselamatan ekosistem," kata TAF Haikal.

Masyarakat Aceh Diingatkan Bahaya Banjir Dan Longsor

Serambi Indonesia, 20 Oktober 2008

Banda Aceh ( Berita ) : Badan Meteorogi dan Geofisika (BMG) mengingatkan masyarakat Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) yang bermukim di daerah rawan bencana lebih meningkatkan kewaspadaan terhadap ancaman bahaya banjir dan tanah longsor menghadapi musim penghujan sejak awal Oktober 2008.

“Aceh kini mulai masuk musim penghujan serta beberapa daerah mulai dilanda banjir sehingga warga harus meningkatkan kewaspadaan menghadapi cuaca kurang menguntungkan ini,” kata Kepala Stasiun Meteorogi Bandara Sultan Iskandar Muda (SIM) Blang Bintang, Banda Aceh, Syamsuir, di Banda Aceh, Minggu [19/10].

Masyarakat di daerah rawan banjir dan tanah longsor harus selalu waspada karena dalam beberapa pekan mendatang daerah ini berpotensi diguyur hujan dengan intensitas sedang dan lebat, baik pagi, siang atau malam hari.

Kondisi itu diperburuk dengan menguatnya angin yang bertiup dari arah barat laut yang bersifat labil sehingga memicu pembentukan awan-awan menjulang tinggi sebagai pembawa hujan. Musim hujan bukan berarti setiap harinya daerah ini diguyur hujan, tetapi terjadi hanya sewaktu-waktu.

“Hujan kadang kala terjadi mulai pagi hingga siang hari, namun biasanya lebih sering pada petang hingga pagi harinya,” kata Syamsuir.

Wilayah pesisir barat selatan Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) yang memiliki musim cukup spesifik di bandingkan pantai utara, timur dan tengah tidak terlalu tampa pebredaan antara musim hujan dan musim kemarau.

“Untuk wilayah barat selatan kini dan hingga beberapa hari mendatang tingkat curah hujan diperkirakan cukup tinggi dan berpotensi terjadi banjir,” katanya.

Semnatar itu jurubicara Kaukus pantai barat selatan Aceh TAF Haikal meminta Pemerintah Aceh lebih peka dan segera mensikapi secara serius persoalan bencana alam banjir yang telah melanda sebagian wilayah Aceh Barat dan Nagan Raya, terutama penyalur bantuan masa panik dan kemungkinan warga mengungsi.

Bencana alam banjir yang sudah menjadi “langganan” bagi hampir semua wilayah di pesisir barat selatan Aceh itu perlu mendapat perhatian serius, terutama perlu adanya solusi pencegahan agar masyarakat tidak setiap tahunnya terancam babahaya, baik harat maupun jiwanya akibat fenomena alam tidak terkendali.

“Saya pikir Pemerintah Aceh perlu segera mencari solusi tepat agar masyarakat di pesisir barat selatan tidak setiap tahunnya terancam bencana. Tanpa penanganan tepat dan serius masyarakat di pesisir barat selatan Aceh sulit melepaskan diri dari bahaya banjir dan tanah longsor,” demikian TAF Haikal. ( an t )

BRR Harus Tuntaskan 746 Rumah Terbengkalai di Simeulue

Analisa , 5 September 2008

Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) NAD-Nias, harus menuntaskan terlebih dahulu realisasi atas pembangunan bantuan perumahan bagi warga korban bencana alam gempa dan tsunami, sebelum habis masa peralihan kerja ke Pemerintahan Aceh di medio April 2009.

Sebab berdasarkan hasil penulusuran lapangan, diketahui hingga saat ini ada 746 unit bantuan perumahan di Kabupaten Simeulue yang terbengkalai dan tidak dilanjutkan lagi pekerjaannya di lapangan.

“GeRAK Aceh dan Kaukus Pantai Barat Selatan (KPBS) Aceh mendesak BRR untuk segera memperbaiki semua bangunan dan perumahan warga, baik yang rusak pada waktu gempa maupun bencana tsunami sebelum berakhirnya masa kerja BRR NAD-Nias di Aceh. Sementara desain rumah yang harus diterima masyarakat perlu dilakukan perancangan bangunan yang tahan gempa, sebab wilayah Simeulue adalah salah satu kawasan yang rawan dengan bencana,” ujar TAF Haikal, Jurubicara KPBS Aceh, kepada wartawan di Banda Aceh, Kamis (4/9).

Dijelaskannya, berdasarkan hasil monitoring atas pembangunan perumahan di wilayah Simeulue yang ditemukan Badan Pekerja Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh dan KPBS, diketahui bahwa khusus di wilayah Simeulue, realisasi atas pembangunan bantuan kepada masyarakat cukup lambat dan sangat memprihatinkan, padahal diketahui daerah tersebut merupakan daerah terparah kejadian bencana baik tsunami maupun gempa-gempa susulan.

Hasil penulusuran atas bantuan perumahan diketahui bahwa hingga saat ini ada sekitar 746 unit bantuan perumahan dari Re-Kompak yang dibiayai melalui dana-dana MDF-Wold Bank tidak dapat dilanjutkan kerjanya dan terbengkalai, yakni di Kecamatan Simeulue Timur sebanyak 532 unit dan 214 unit terletak di Kecamatan Teupah Selatan.

Sedangkan hasil atas bantuan perumahan yang saat ini sedang dalam realisasi pekerjaan lapangan yang dikerjakan oleh BRR NAD-Nias dan NGO diketahui mencapai angka sebanyak 2.159 unit dalam penanganan, yang tersebar di delapan kecamatan yaitu meliputi Simeulue Timur, Simeulue Barat, Salang, Teupah Selatan, Teupah Barat, Teluk Dalam dan Kecamatan Alafan, dan diprediksikan bantuan perumahan tersebut tidak akan mampu diselesaikan tepat waktu sebagaimana yang telah direncanakan karena banyak kontraktor yang memenangkan proyek tidak melakukan kerja sebagaimana rencana kerja yang ditanda tangani.

Lemahnya Pengawasan

“Banyak terbengkalai pekerjaan rehabilitasi dan rekonstruksi di Simeulue tidak terlepas dari pengawasan yang lemah. Lemahnya pengawasan dilakukan sejak awal pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi dan dampaknya saat ini, dengan banyak proyek-proyek yang terbengkalai,” jelas Haikal.

Ditambahkannya, dari laporan dan wawancara dengan masyarakat korban diketahui, program pembangunan di Simeulue ternyata hanya difokuskan pada hal-hal yang sifatnya tidak menyentuh masyarakat, seperti pembangunan beberapa kantor pemerintahan seperti Kantor BPM, Kantor Dispenda, Kantor Dinas Kelautan dan pembangunan instalasi vertikal seperti Pos AL, dan Asrama Polres Simeulue yang pekerjaannya dipacu dan cepat selesai. Akan tetapi untuk pembangunan bantuan perumahan belum berhasil dibangun dengan sempurna.

Bahkan di beberapa tempat seperti Kecamatan Alafan dan Teupah Selatan hampir sebagian besar masyarakatnya masih mendiami shalter dan barak hunian sementara.

TAF Haikal juga mengharapkan BRR NAD-Nias benar-benar melakukan pengawasan atas semua bantuan yang sedang dikerjakan, sebab jika dilihat berdasarkan fisik bantuan yang telah dibangun banyak bangunan yang telah dibangun jauh di bawah standar, dan jika ini tidak dikontrol secara berkala maka dipastikan bantuan yang diberikan kepada masyarakat akan sia-sia sebab baru satu tahun setelah PHO rumah langsung rusak.

“Kami mendesak BRR untuk mempercepat proses pembangunan perumahan bagi korban khususnya di wilayah Simeulue. Hal ini penting segera untuk dilakukan mengingat keberadaan lembaga ini tinggal beberapa bulan lagi. Apabila ini tidak dilakukan secepatnya maka ditakutkan kegagalan dalam rehab-rekon akan menjadi ancaman besar kelak bagi Pemerintahan Aceh (Irwandi-Nazar) terutama wilayah pantai barat selatan,” ungkapnya. (mhd)

Publikasi Isu ALA dan ABAS Jangan Meresahkan Masyarakat

Analisa, 21 Agustus 2008

juru bicara Kaukus Pantai Barat dan Selatan (KPBS) Aceh, TAF Haikal mengharapkan, isu pemekaran Aceh dengan pembentukan Provinsi Aceh Leuser Antara (ALA) dan Aceh Barat Selatan (ABAS) yang dipublikasikan di media massa, jangan sampai berdampak pada keresahan masyarakat, apalagi menjelang penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu) 2009.

la menyatakan, informasi yang disiarkan salah satu media cetak beberapa hari lalu terkait keluarnya Amanat Presiden (Ampres) tentang pemekaran lima provinsi dan 12 kabupaten/kota di Indonesia, termasuk di Aceh, dinilai keliru.

Menurutnya, isu pemekaran Aceh akan berpotensi konflik jika media massa tidak berhati-hati dalam menyiarkan berita, apalagi kalau sumbernya tidak berkompeten.

“Saya berharap dan mengimbau setiap berita yang akan disebarluaskan kepada publik, media massa agar tidak menimbulkan keresahan dan kesalahpahaman dalam masyarakat sebagai upaya kita bersama mencegah jangan sampai Aceh kembali didera konflik bersenjata,” ujar Haikal kepada wartawan di Banda Aceh, Rabu (20/8)

Dijelaskan, peran serta media massa penting untuk menyelamatkan proses perdamaian di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) pasca perjanjian damai (MoU) antara Pemerintah RI dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Helsinki, 15 Agustus 2005.

Selektif

“Begitu besarnya peran media massa agar perdamaian di Aceh terus berjalan baik. Karenanya, saya berharap agar media massa lebih selektif dalam menyiarkan berbagai informasi bagi keselamatan MoU Helsinki,” katanya.

TAF Haikal mencontohkan, dampak dari pemberitaan dua hari terakhir tentang isu pemekaran ALA dan ABAS telah menimbulkan berbagai tanggapan beragam dalam masyarakat, ada yang mendukung dan menolak.

Padahal, situasi Aceh saat ini masih dalam kategori proses transisi dari konflik ke damai sehingga masyarakat mudah tersulut provokatif. Memang, jelasnya, masalah pemekaran sebuah wilayah itu bukanlah “barang haram” yang tidak diperbolehkan di Indonesia yang menjunjung tinggi demokrasi.

“Tapi khusus untuk Aceh, saya juga berharap pemerintah pusat agar hati-hati dalam mengambil keputusan serta kebijakan,” kata TAF Haikal.

Jika dalam Undang Undang (UU) Nomor. 32 Tahun 2004, menjelaskan bahwa pemekaran sebuah wilayah di Indonesia itu dimungkinkan, namun implementasinya maka wacana pemekaran harus dilihat dengan cermat dari berbagai aspek seperti filosofis, yuridis dan aspek sosio-demografis, katanya. (mhd)

Peran media penting selamatkan perdamaian Aceh

WASPADA ONLINE ,19 agustus 2008

BANDA ACEH - Peran serta media massa penting untuk menyelamatkan proses perdamaian di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) pasca perjanjian damai (MoU) antara Pemerintah dengan pihak Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Helsinki, 15 Agustus 2005.

"Begitu besar peran media massa agar perdamaian di Aceh terus berjalan baik. Karenanya, saya berharap agar media massa lebih selektif dalam menyiarkan berbagai informasi bagi keselamatan MoU Helsinki," kata Jurubicara Kaukus Pantai Barat dan Selatan (KPBS) Aceh TAF Haikal di Banda Aceh, Selasa.

Dia menyatakan, informasi yang disiarkan salah satu media cetak beberapa hari lalu terkait keluarnya amanat presiden (ampres) tentang pemekaran lima provinsi dan 12 Kabupaten/kota di Indonesia, termasuk di Aceh, dinilai keliru.

"Saya berharap isu pemekaran provinsi Aceh Leuser Antara (ALA) dan Aceh Barat Selatan (ABAS) yang dipublikasikan di media itu jangan sampai berdampak pada keresahan masyarakat, apalagi menjelang pemilu," tambahnya.

Karena itu, ia menyatakan isu pemekaran Aceh akan berpotensi konflik jika media massa tidak berhati-hati dalam menyiarkan berita, apalagi kalau sumbernya tidak berkompeten.

"Sekali lagi saya berharap dan mengimbau setiap berita yang akan disebar luaskan kepada publik oleh media massa agar tidak menimbulkan keresahan dan kesalahpahaman dalam masyarakat," katanya.

TAF Haikal mencontohkan dampak dari pemberitaan dua hari terakhir tentang isu pemekaran ALA dan ABAS telah menimbulkan berbagai tanggapan beragam dalam masyarakat, ada yang mendukung dan menolak.

Padahal, tambahnya, situasi Aceh saat ini masih dalam kategori proses transisi dari konflik ke damai sehingga masyarakat mudah tersulut provokasi.

Memang, jelasnya, masalah pemekaran sebuah wilayah itu bukanlah "barang haram" di Indonesia yang menjunjung tinggi demokrasi.

"Tapi khusus untuk Aceh, saya berharap pemerintah pusat agar hati-hati dalam mengambil keputusan serta kebijakannya," kata dia.

TAF Haikal juga menjelaskan bahwa walaupun pemekaran sebuah wilayah di Indonesia itu dimungkinkan, namun implementasinya harus dilihat dengan cermat dari berbagai aspek seperti filosofis, yuridis dan aspek sosio-demografisnya.

KPBS Nilai BRR tidak responsif

Serambi indonesia 15 Agustus 2008

Kaukus Pantai barat selatan (KPBS) mnendesak pemerintah Aceh, baik eksekutif maupu legislatif guna menyelesaikan persoalan tuntutan korban tsunami dan gempa soal dana rehab rumah sebesar 15 juta. Langkah strategis berupa pertemuan tripartit antara BRR, Gubernur danDPRA, perlu segera dilakukan guna mengambil sebuah keputusan konkrit tuntutan korban tersebut.

Juru bicara Kaukus Pantai barat Selatan (KPBS), Tafhaikal kepada Serambi, (14/4/08) mengatakan, pihaknya menilai BRR tidak Responsif terhadap tuntutan korban yang belakngan ini nyaring disuarakan melalui aksi Demo ke kantor BRR itu.

Bahkan, ia menilai badan yang dipimpin Kuntoro tersebut terkesan melakukan pembiaran terkait tuntutan korban tersebut ‘ kalau tindakan ini terus dibiarkan tidak ada penyelasaian, kita khawatirkan akan menimbulkan persoalan baru di Aceh yang sedang menapak perdamaian”, karena itu, Haikal meminta Gubernur dan DPRA untuk segera mencari sebuah solusi dengan mengambil peran yang lebih besar atau berada dibarisan terdepan dalam menyelaikan permasalahan ini. “ saya kira solusinya untuk langkah pertama Gubernur dan dewan segera esak BRR untuk melakukan pertemuan tripartit yang melibatkan ketiga pihak ini”

Bahkan tidak tertutup kemungkinan aksi-aksi yang dilkukan para korban Tsunami itu untuk menuntut keadilan soal dana rehab rumah itu akan bermunculan berbagai spekulasi untuk kepentingan kelompok tertentu. Apalagi aksi demo ke BRR yang dilakukan korban akan terus berlanjut, malah kabarnya dalam pekan ini, ratusan masyarakat dari barat selatan akan kembali melakukan aksi yang sama ke kantor BRRpusat du Lueng bata. “ Masyarakat sudah sangat menderita, janga diambah lagi beban pada mereka . tolong segera selesaikan permaslahan ini”.

Dari rentetan aksi demo yang dilakukan para korban selam ini yang menolak pembayaran dana rehab rumah sebesar Rp 2,5 juta, sudah memperlihatkan bukti kuat bahwa kebijakan BRR itu harus dirubah. Lihat saja, 1.500. masyarakat Aceh Singkil melakukan aksi demoke kantor BRR regional V, selasa (11/3/08). Kemudian aksi yang sma berlanjut di aceh barat, puluhan ibu-iburumah tangga mendatangi kantor BRR setempat. Terakhir ratusan warga barat –selatan melakukan aksi ke kantor pusat BRR di lueng bata, banda aceh, berlangsung selama lima hari yang dimulai hari jum’at (4/408) lalu.

“Tetapi ternyata BRR tetap bersikeras dengan kebijakan itu, dan ini sanagt disayangkan. Pada hal dana di BRR masih sangat besar dan memungkinkan tuntutan yang disuarakan korban bisa dipenuhi.

Obrak-Abrik Tanaman, Gajah Sumatera Terancam Dibunuh

Waspada, 3 Agustus 2008

Puluhan warga kecamatan Trumon Timur Kabupaten Aceh Selatan mengancam memburu dan membunuh gajah sumatera (Elephas maximus Sumatranus) karena telah mengobrak-abrik tanaman mereka.

"Warga datang ke rumah saya menyampaikan keluhannya kepada pemerintah terkait gangguan gajah liar. Warga juga mengancam akan memburu dan membunuh satwa itu," kata Kades Jambo Dalem, Tgk Baili di Tapaktuan, Sabtu (02/08/08).

Konflik satwa dan manusia di kecamatan Trumon Timur telah berlangsung sekitar tujuh tahun, akibat keganasan satwa itu seorang warga di daerah itu tewas diinjak gajah pada awal 2006.

Selain itu, puluhan hektar lahan perkebunan sawit, nilam, pisang, kelapa, jagung dan palawija lainnya rusak diobrak-abik kawanan gajah.

Warga mendesak pemerintah dan BKSDA segera menanggulangi gangguan gajah itu, sehingga masyarakat dengan tenang dan nyaman dalam menggarap lahan pertaniannya.

"jika tidak segera ditangani warga akan menyebarkan racun agar gajah-gajah itu mati," katanya mengutip pernyataan warga.

Menanggapi laporan itu, Camat Trumon Timur, H Lahmuddin mengatakan pihaknya telah menerima laporan masyarakat tentang keganasan gajah di Desa Jambo Dalem.

Kawananan gajah mencapai delapan ekor telah merusak tanaman sawit bantuan BRR yang masih berumur empat bulan.

Gangguan gajah liar di daerahnya telah terjadi puluhan kali, namun Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) provinsi Nanggroe Aceh Darussalam selaku pihak yang bertanggung jawab hingga saat ini masih "menutup mata".

"Saya sudah berulang kali melaporkan dam memohon agar kawanan gajah liar itu segera ditangani," katanya.

Secara terpisah, Juru bicara Kaukus Pantai Barat Selatan (KPBS) TAF Haikal, mengatakan gangguan gajah semakin ganas. Tidak hanya di Kabupaten Aceh Selatan, gangguan gajah juga terjadi di Kabupaten Aceh Jaya, Pidie, Bireun, Aceh Timur dan Subulussalam.

Selain mendesak BKSDA untuk menanggulanginya, Pemerintah Aceh serta Pemerintah Kabupaten/Kota juga harus melakukan perencanaan untuk mengatasi gangguan satwa liar baik jangka pendek, menengah dan jangka panjang.

"Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota perlu segera menangani masalah gangguan gajah liar. Bila perlu duduk bersama menyelesaikan konflik manusia dan satwa daerah itu," kata TAF Haikal. (*/lin)

USAID Diminta Segera Bangun Jalan Calang –Meulaboh

Harian Aceh, Sabtu 19 Juli 2008

Banda Aceh- Juru Bicara Kaukus Pantai barat Selatan (KBPS), TAF Haikal, meminta pihak Donatur USAID tidak menunda paket pembangunan jalan Calang-Meulaboh. “ Jangan ditunda-tunda paket pembangunan jalan Calang – Meulaboh. Karena, jika ditunda-tunda akan menjadi kasus seperti jalan Banda Aceh-Calang, “ katanya, Jum’at (18/7). Disebutkan, jalan pantai barat Aceh yang hancur akibat Tsunami akhir Desember 2004 lalu sudah lama pihak USAID komit untuk membangunnya. Namun, hingga kini pembangunan kembali jalan Calng – Meulaboh belum dikerjakan, sedangkan Banda Aceh – Calang masih banyak terdapat masalah.

Sehubungan langkah-langkah yang akan diambil oleh Pemerintah Aceh dan jajarannya dalam penyelesaian masalah jalan Banda Aceh-Calang , Haikal menyampaikan Apresiasi yang tinggi. Apalagi Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf telah menegaskan sikap yang tepat, yakni pentingnya penegakan wibawa hukum dan pemerintahan

Kata wibawa hukum dan pemerintahan, serta kesepakatan dalam pelaksanaan pembangunan, menurut Haika, dua kata kunci ini yang sangat penting bagi pemerintah sebagi eksekutor dan fasilitator pembangunan. Untuk kasus jambo Jagung disekitar kawasan wisata Lhoknga, Haikal menyarankan PEMKAB Aceh Besar dapat mengambil langkah segera, mencarai alternatif lokasi baru. “ini penting, karena untuk jangka panjang bisa menjadi kawasan wisata andalan PEMKAB Aceh Besar dan kesempatan menatakembali wilayah itu, “ (bai)

Kaukus PBS Surati Dubes Amerika

Serambi Indonesia19/06/2008

BANDA ACEH - Kaukus Pantai Barat-Selatan (PBS) menyurati Dubes Amerika mempertanyakan soal terhentinya pembangunan ruas jalan Banda Aceh-Calang yang didanai negara Paman Sam itu melalui USAID. Akibat terhentinya pembangunan kembali jalan yang luluh-lantak dihantam tsunami itu, telah membuat masyarakat wilayah tersebut rugi besar baik secara ekonomi maupun pskilogis.

Demikian bunyi surat yang ditujukan kepada Dubes Amerika, Mr Cameron R Hume dan ditandatangi Jubicara Kaukus PBS, TAF Haikal serta diterima Serambi, tadi malam. Dalam surat berisikan empat poin penting itu tertanggal 18 Juni 2008 juga turut menyatakan, keterlambatan dan sampai terhentinya pembangunan jalan itu dinilai akibat ketidakseriusan dan kemampuan Pemerintahan Aceh, Pemkab Aceh Besar, dan Aceh Jaya dalam menangani berbagai masalah yang muncul di lapangan terkait kegiatan proyek tersebut.
Menurut Kaukus PBS, jalan tersebut menjadi urat nadi transportasi baik ekonomi maupun urusan pemerintahan lainnya bagi masyarakat delapan kabupaten/kota terdiri dari, Aceh Jaya, Aceh Barat, Nagan Raya, Simuelue, Aceh Barat Daya, Aceh Selatan, Subulussalam, dan Aceh Singkil.
Bahkan, implikasi politik juga sangat mungkin terjadi di masa mendatang. Masyarakat menghubungkan keterlambatan pembangunan ruas jalan tersebut dengan ketidakmampuan dan ketidakseriusan pemerintah menanganinya, akibatnya akan menurunnya kepercayaan masyarakat kepada pemerintah. Untuk jangka panjang dan menengah, distrust tersebut dapat juga mengakibatkan terganggunya proses perdamaian di Aceh.
Mengingat dua hal di atas, maka pihaknya ingin menanyakan kepada Mr Cameron R Hume terkait kelanjutan pembangunan jalan tersebut. Bahkan secara terbuka Kaukus PBS juga mengakui dan mengetahui ada masalah dalam pembebasan tanah masyarakat. “Dalam kaitan ini kami sangat menghargai sekiranya Mr Cameron R Hume menjelaskan juga bagaimana posisi Pemerintah Amerika Serikat dalam masalah ini,” tulis Haikal.
Di samping itu, Kaukus PBS percaya bahwa masyarakat sepenuhnya mendukung niat baik Pemerintah Amerika Serikat mendanai pembangunan ruas jalan yang sangat penting tersebut. “Kami juga menyatakan kecewa dan rasa marah yang mendalam terhadap individu-individu atau kelompok-kelompok yang yang telah mengambil keuntungan pribadi atas jalan tersebut,” tegasnya dalam surat yang turut ditembusi kepada Kepala Pemerintahan Aceh, Ketua DPRA, Kapolda Aceh, Panglima Kodam Iskandar Muda, Kepala Bapel BRR NAD-Nias, Bupati Aceh Besar, Ketua DPRK Aceh Besar, Bupati Aceh Jaya, Ketua DPRK Aceh Jaya, Konsulat Jenderal Amerika Serikat di Medan.
Kaukus PBS menyatakan, bahwa individu-individu atau kelompok-kelompok tersebut adalah musuh bersama rakyat Aceh yang cinta pembangunan dan perdamaian, dan meminta pihak keamanan di Aceh untuk mengambil tindakan tegas sesuai dengan hukum yang berlaku.
TAF Haikal sempat menghubungi Serambi, tadi malam juga meminta masyarakat pantai barat-selatan untuk bersabar terhadap proses kelanjutan kembali pembangunan jalan tersebut. Juga meminta masyarakat turut membantu mempercepat proses pembangunan jalan tersebut dengan tidak melakukan tindakan yang bisa menghambat kegiatan proyek jalan itu, yang pada akhirnya akan merugikan semua pihak. “Kami meminta masyarakat untuk perlu memikirkan matang-matang dan tidak terpengaruh dengan ajakan pihak tertentu yang membuat kita semua menjadi rugi,” imbaunya.(sup)

"Nasionalisme" Pascakonflik

Serambi Indonesia, 18/05/2008


Nasionalisme adalah prinsip, rasa dan usaha yang patriotic.
Dengan segala daya siap pula mempertahannya. (terjemahan Moritza Thaher dari sumber; concise oxford dictionary-Tenth Edition).

ACEH disebut sebagai daerah modal bagi kemerdekaan RI. Pascamerdeka, nyaris menjadi daerah model , terutama dalam beberapa hal.
Menjadi modal karena kolonialisme Belanda 350 tahun di negeri Indonesia, tak bisa mencium Aceh. Demikian pula kolonialisme Jepang. Bahkan ketika agresi militer Belanda pasca 17 Agustus 1945, Aceh menjadi penyelamat kemerdekaan di tengah dunia Internasional. Radio Rimba Raya satu-satunya saksi bisu yang masih tersisa. Dari rimba raya, menyuarakan kepada dunia, bahwa Indonesia negara merdeka. Selanjutnya, ketika Indonesia hendak menaikkan gengsi di mata dunia dan memudahkan koordinasi pemerintah pusat, maka rakyat Aceh dengan penuh kerelaan menyumbang harta benda kepada negara RI. Dikoordinir oleh para saudagar di bawah payung GASIDA, atas arahan Tgk Mohd Daud Beureueh (Gubernur Militer kala itu), sehingga RI mampu memiliki pesawat terbang dan diberi nama Seulawah RI 001 dan Seulawah RI 002. Pesawat terbang sumbangan rakyat Aceh itu, sebagai kapal terbang pertama dimiliki oleh negara RI. Itulah cikal bakal maskapai penerbangan negara saat ini, Garuda Indonesia.

Sesungguhnya, Aceh lebih daripada itu telah memberi sumbangan maha penting bagi bangsa dan negara ini. Lebih kurang 400 tahun silam, seorang sastrawan sufistik dunia, Syech Hamzah Fansury, memberikan sumbangan terbesar bagi persatuan Indonesia, berupa bahasa. Fansury adalah orang pertama yang menulis karya sastra dengan menggunakan bahasa Melayu (kini disebut sebagai bahasa Indonesia). Betapa banyak negara bangsa di dunia ini yang tidak memiliki bahasa pemersatu. Tapi atas jasa Hamzah Fansury, Indonesia memiliki bahasa persatuan dan menjadi salah satu inti yang menggerakkan spirit nasionalisme, yang diikrarkan pada 28 Oktober 1928, menjunjung tinggi bahasa persatuan yakni bahasa Indonesia. Spirit itu telah membebaskan bangsa ini dari perbudakan Belanda 350 tahun.

Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945. Itu menjadi kebahagiaan tersendiri bagi Aceh. Sertamerta pula menyatakan kesetiaan kepada Indonesia merdeka. Padahal Aceh pernah diperjanjikan sebagai zona bebas yang membatasi wilayah jajahan Inggris dan Belanda. Peluang untuk berdiri sendiri terbuka amat lebar. Namun atas dasar kecintaan terhadap sesama bangsa tertindas, Aceh merasa patut memiliki kebanggaan terhadap negara besar Indonesia. Ada keinginan untuk mewujudkan negara besar ini menjadi kuat di tengah percaturan dunia. Sehingga tanpa tedeng aling-aling komitmen keindonesiaan dipatrikan pada dada pemimpin dan rakyat Aceh kala itu.

Namun sejarah berikutnya berkata lain. Aceh menuai kekecewaan-kekecewaan atas pengelolaan negara yang telah menindas perasaan keadilan.
Kesewenangan pemerintah pusat dianggap sebagai bentuk penjajahan baru terhadap bangsa sendiri. Maka sebagai komunitas merdeka yang tidak berpengalaman berada di bawah kekuasaan penjajah, Aceh lebih reaktif menyikapi ketidak-adilan pemerintah Indonesia merdeka, dibandingkan daerah lain di Indonesia. Konsekwensi itulah yang kemudian melahirkan konflik internal berupa perlawanan-demi perlawanan terhadap negara sendiri.

Konflik berpuluh tahun terjadi di Aceh sejak Indonesia merdeka, bukanlah separatisme buta yang mengangkangi nasionalisme. Akan tetapi sebuah protes terhadap penyelenggaraan pemerintahan yang justru berpotensi melunturkan nasionalisme. Cita-cita kemerdekaan Indonesia untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur, justru dicemari oleh noda kekuasaan yang amat berbisa dan meracuni. Sehingga keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia terkontaminasi oleh birahi politik-kekuasaan. Primordialisme lebih mengemuka dibandingkan kebersamaan nasional untuk perwujudan keadilan social. Itulah yang membuat konflik berdarah-darah di Aceh, ditambah bencana gempa dan tsunami yang meluluh lantakan Aceh mendorong pihak yang bertikai pada 15 Agustus 2005 menandatangani MoU Helsinki sebagai perdamaaian yang kita harapkan dapat abadi, Amin.

Pascakonflik, rakyat Aceh mengharapkan perdamaian dapat abadi. Perdamaian atas dasar keadilan social bagi seluruh rakyat negeri ini. Perdamaian tidak akan abadi bila keadilan tak terselenggara baik; tidak akan abada bila kehidupan bangsa kembali dihimpit hegemoni kekuasaan yang destruktif. Perdamaian mesti diselamatkan dengan memenuhi keadilan rakyat. Harus ada indikator usaha nyata bukan sekedar slogan usaha, bukan retorika usaha, bukan impian sebentuk janji-janji yang mendongkolkan hati. Tapi pembuktian bahwa usaha keras telah dilakukan.

Damai Aceh untuk kesejahteraan rakyat, bukan damai bagi kepentingan sekelompok masyarakat, atau segelintir mereka yang telah meraih kekuasaan. Sebagai komunitas yang tidak berpengalaman berada di bawah penjajahan, dan sebagai komunitas yang senantiasa duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi dengan berbagai bangsa lain di dunia ini, Aceh akan terus melawan setiap bentuk ketidak-adilan dan ketidak benaran. Namun akan menjunjung tinggi setiap usaha dan keadaan yang mengarah pada pencapaian keadilan hidup lahir batin, dunia dan akhirat. Nasionalisme rakyat Aceh bukan sebatas kain merah dan putih. Tapi filosofi merah putih yang maujud dalam kehidupan nyata. Sebab yang harus diselamatkan bukanlah selembar kain, tapi berjuta-juta lembar nyawa rakyat yang merindukan keadilan dan kesejahteraan.

*) TAF Haikal adalah aktivis LSM Aceh & Mantan Direktur Eksekutif Forum LSM Aceh serta Jurubica Kaukus Pantai Barat Selatan (KPBS)

KPBS Nilai BRR Semakin Curang

Serambi Indonesia, 20 April 2008

Kaukus Pantai Barat-Selatan (KPBS) menilai kebijakan yang diambil Badan Rehabilitasi dan Rekontruksi (BRR) Aceh-Nias, akhir-akhir semakin curang, dan tidak berpihakan pada korban. Padahal badan yang dipimpin Kuntoro tersebut seharusnya lebih mementingkan kepentingan korban tsunami dan gempa sebagai mana diamanahkan Perpres, malah hal itu diabaikan begitu saja. Buktinya sampai saat ini tuntutan korban tsunami untuk dana rehab rumah Rp 15 juta belum juga dipenuhi. Malah sebaliknya badan tersebut memperhatikan hal-hal yang di luar kepentingan korban bencana dan tidak ada dalam Blueprit seperti, pembangunan beberapa kantor kejaksaan yang tidak rusak karena tsunami, ungkap TAF Haikal kepada Serambi, Sabtu (19/4).

Bukan itu saja, beber Haikal, untuk kegiatan pekan kebudayaan yang diberinama Diwana Cakradonya malah BRR memberi dana mencapai Rp 3 miliar. Sebenarnya kita tidak mempersoalkan hal seperti itu, kalau hak-hak korban terlebih dahulu dipenuhi. Karena itu tugas utamanya, maka kita nilai kebijakan yang diambil BRR yang dituntut korban tidak dipenuhi itu tindakan curang, ujar Haikal.

Namun yang lebih menyedihkan, katanya, pernyataan T Kamaruzzaman (sekretaris BRR Aceh-Nias) melalui media beberapa hari lalu yang dinilai tidak mencermin sebuah solusi menyangkut tuntutan korban stunami soal dana rehab rumah Rp 15 juta.
Penjelasan panjang, salah satu orang penting di BRR itu, katanya, justru mencerminkan pengaburan masalah walau secara sekilas tampak sedang menjelaskan kerangka prosedural terkait pengelolaan anggaran APBN.

Siapa pun tahu, lanjutnya, bahwa badan ini diberi mandat untuk melakukan koordinasi program rehabilitasi dan rekontruksi yang dilakukan oleh berbagai pihak. Dan, pada saat yang sama juga menjadi pelaksana dari program dan kegiatan rehab/rekon baik di Aceh dan Nias. Untuk yang terakhir ini, BRR NAD -NIAS mendapat kesempatan yang luas untuk melakukan penyusunan rencana, pelaksanaan kegiatan, dan lainnya terkait dengan manajemen dan mekanisme kelembagaan, program, dan juga anggaran. Bahwa jika kemudian BRR membutuhkan legalitas dan persetujuan dari berbagai pihak jelas menjadi sebuah keharusan, katanya. Namun, sebagai lembaga yang keberadaannya cukup strategis maka segala sesuatu sangat tergantung pada bagaimana BRR menempatkan sebuah persoalan. Maka posisi lembaga ini bisa dikatakan menjadi aktor kunci baik dalam konteks penyusunan dan pengajuan kegiatan maupun dalam hal pengajuan anggaran, tandas Haikal.

Menjadi sangat tidak cerdas, lanjutnya, manakala berbagai komponen yang ada di Aceh diajak untuk melakukan lobi politik ke DPR dan pemerintah pusat melalui Menteri Keuangan. Karena disaat bersamaan BRR sendiri sudah melakukan sebuah tindakan yang dipandang telah mencederai korban tsunami sekaligus berpotensi merusak harmonisasi sosial. Karena sebagai korban telah dibayar dana rehab rumah Rp 15 juta, sementara korban lain hanya diberiakn Rp 2,5 juta. Ini kan namanya buat konflik baru ditengah masyarakat, ujar Haikal dengan kesalnya

Kalau kemudian BRR mempersoalan jumlah rumah korban yang harus mendapat dana rehab sangatlah banyak sehingga alasannya tidak cukup dana. Ini saya nilai sangat aneh, sebab untuk kepentingan yang di luar korban ada dananya. Maka saya tegaskan sekali lagi bahwa BRR memang semakin curang dalam melakukan tugasnya di Aceh,

Konsep Iwan Gayo Masih Mengambang

Serambi Indonesia, 16.04.2008

Iwan Gayo yang akan diberi tugas besar oleh Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf untuk memimpin Komite Khusus Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal (KKP2DT) dinilai tidak memiliki konsep yang jelas. Padahal konsep dalam bentuk program dan strategi untuk menggenjot pembangunan di daerah tetinggal itu sangat diperlukan.Penilaian itu disampaikan oleh sejumlah tokoh yang menghadiri diskusi terbatas tentang konsep pembangunan daerah tertinggal di Sekretariat Forum LSM Aceh, Ulee Kareng, Selasa (15/4). Diskusi itu menghadirkan dua pembicara, masing-masing Iwan Gayo (calon Ketua KKP2DT) dan Azwar Abubakar (mantan Wagub Aceh).

Pesertanya, antara lain Dr Islahuddin (Pembantu Dekan I Unsyiah), Syaifuddin Bantasyam SH MA (dosen hukum Unsyiah), Islamuddin (Wakil Walikota Sabang), Ali Amin SE (dosen ekonomi Unsyiah), Muslamuddin Daud (staf Word Bank), De Roni, Fajran Zein, dan TAF Haikal (Juru Bicara Kaukus Pantai Barat-Selatan).

Dalam pemaparannya, Iwan Gayo terlihat cenderung mengulas tentang keterbelakangan kawasan pedalaman wilayah tengah meliputi Bener Meriah, Aceh Tengah, Gayo Lues, dan Aceh Tenggara. Menurutnya, kondisi ini terjadi akibat pemerintahan yang ada selama ini dinilai tidak memperhatikan wilayah tersebut, bahkan lebih memperhatikan wilayah pesisir.

Apakah kami bukan orang Aceh. Kok diperlakukan tidak adil seperti ini selama bertahun-tahun. Maka dengan ide cemerlang dari Gubernur Irwandi membentuk komite khusus ini, kita berharap pembangunan di daerah tertinggal bisa digenjot, katanya.

Dalam pemaparannya, Iwan tidak menjelaskan bagaimana konsep dan strategi komite khusus yang akan dipimpinnya itu untuk mempercepat pembangunan daerah tertinggal di 23 kabupaten/kota di Aceh.

Ia hanya mengatakan, kalau gubernur mempercayakan dirinya memimpin komite itu, pihaknya akan mengawali dengan melakukan pendataan jumlah orang miskin, catat, korban konflik dan bencana alam. Bila tidak ada data saya tidak mau bekerja, tapi kalau data itu sudah ada baru saya bekerja. Kita juga akan tempatkan petugas pendataan untuk setiap kecamatan satu orang di seluruh Aceh, katanya.

Dengan nada memuji diri sendiri, Iwan Gayo juga mengatakan, soal pendataan dirinya sudah sangat berpengalaman. Selama satu setengah tahun saya kembali ke Aceh setelah 40 tahun berada di Jakarta, saya sudah mengelilingi seluruh Aceh. Kondisinya masih banyak daerah yang tertinggal dan ini memprihatinkan, katanya sembari mengakui sudah memiliki seluruh data tentang kondisi Aceh saat ini.

Tak jelas konsep

Hampir seluruh peserta mendukung pembentukan komite khusus ini, tetapi mereka sangat menyayangkan belum adanya konsep visi/misi dan strategi yang jelas.

Ketika beberapa peserta bertanya mengenai konsep dan strategi yang akan dilakukan komite ini nantinya, Iwan Gayo tidak bisa memberi penjelasan yang konkret. Komite ini akan diberi tugas dan wewenang yang luas oleh gubernur nantinya, bahkan bupati pun boleh saya jewer kalau tidak becus bekerja, katanya.

Jurubicara Kaukus Pantai Barat-Selatan, TAF Haikal ketika menanggapi pernyataan Iwan Gayo mengatakan, sebenarnya pembentukan komite ini oleh gubernur sangat politis, karena ide ini digelindingkan untuk meredam gejolak tuntutan pemekaran dan suara ketidakadilan dalam pembangunan. Tetapi di sini bagaimana kita mainkan peran mengubah politis menjadi startegis. Sebenarnya komite tidak perlu menjewer bupati, tetapi harus mampu bekerjasama. Untuk soal data gunakan yang sudah ada di kabupaten/kota dan Bappeda, katanya.

Syaifuddin Bantsyam juga menyatakan sangat kecewa dengan pemaparan Iwan Gayo soal komite tersebut. Memang terlalu dini menilai komite yang akan dipimpin Iwan Gayo dapat bekerja baik atau tidak. Sebab publik tidak tahu visi dan misi kerja Iwan atau tim tersebut, katanya.

Lain lagi penilaian Dr Islahuddin. Menurutnya, komite ini memang sangat memungkinkan untuk dibentuk karena UUPA juga mengamanahkan. Soal anggaran tim ini bisa menggunakan dana otsus dan migas.
Tetapi yang penting harus ada konsep yang jelas dulu, katanya.

Jelang Tugas Besar, Konsep Iwan Gayo Ngambang

Serambi Indonesia, 16/04/2008

BANDA ACEH - Iwan Gayo yang akan diberi tugas besar oleh Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf untuk memimpin Komite Khusus Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal (KKP2DT) dinilai tidak memiliki konsep yang jelas. Padahal konsep dalam bentuk program dan strategi untuk menggenjot pembangunan di daerah tetinggal itu sangat diperlukan.Penilaian itu disampaikan oleh sejumlah tokoh yang menghadiri diskusi terbatas tentang konsep pembangunan daerah tertinggal di Sekretariat Forum LSM Aceh, Ulee Kareng, Selasa (15/4). Diskusi itu menghadirkan dua pembicara, masing-masing Iwan Gayo (calon Ketua KKP2DT) dan Azwar Abubakar (mantan Wagub Aceh).

Pesertanya, antara lain Dr Islahuddin (Pembantu Dekan I Unsyiah), Syaifuddin Bantasyam SH MA (dosen hukum Unsyiah), Islamuddin (Wakil Walikota Sabang), Ali Amin SE (dosen ekonomi Unsyiah), Muslamuddin Daud (staf Word Bank), De Roni, Fajran Zein, dan TAF Haikal (Juru Bicara Kaukus Pantai Barat-Selatan).
Dalam pemaparannya, Iwan Gayo terlihat cenderung mengulas tentang keterbelakangan kawasan pedalaman wilayah tengah meliputi Bener Meriah, Aceh Tengah, Gayo Lues, dan Aceh Tenggara. Menurutnya, kondisi ini terjadi akibat pemerintahan yang ada selama ini dinilai tidak memperhatikan wilayah tersebut, bahkan lebih memperhatikan wilayah pesisir.

Apakah kami bukan orang Aceh. Kok diperlakukan tidak adil seperti ini selama bertahun-tahun. Maka dengan ide cemerlang dari Gubernur Irwandi membentuk komite khusus ini, kita berharap pembangunan di daerah tertinggal bisa digenjot, katanya. Dalam pemaparannya, Iwan tidak menjelaskan bagaimana konsep dan strategi komite khusus yang akan dipimpinnya itu untuk mempercepat pembangunan daerah tertinggal di 23 kabupaten/kota di Aceh. Ia hanya mengatakan, kalau gubernur mempercayakan dirinya memimpin komite itu, pihaknya akan mengawali dengan melakukan pendataan jumlah orang miskin, catat, korban konflik dan bencana alam. Bila tidak ada data saya tidak mau bekerja, tapi kalau data itu sudah ada baru saya bekerja. Kita juga akan tempatkan petugas pendataan untuk setiap kecamatan satu orang di seluruh Aceh, katanya.
Dengan nada memuji diri sendiri, Iwan Gayo juga mengatakan, soal pendataan dirinya sudah sangat berpengalaman. Selama satu setengah tahun saya kembali ke Aceh setelah 40 tahun berada di Jakarta, saya sudah mengelilingi seluruh Aceh. Kondisinya masih banyak daerah yang tertinggal dan ini memprihatinkan, katanya sembari mengakui sudah memiliki seluruh data tentang kondisi Aceh saat ini.

Tak jelas konsep

Hampir seluruh peserta mendukung pembentukan komite khusus ini, tetapi mereka sangat menyayangkan belum adanya konsep visi/misi dan strategi yang jelas. Ketika beberapa peserta bertanya mengenai konsep dan strategi yang akan dilakukan komite ini nantinya, Iwan Gayo tidak bisa memberi penjelasan yang konkret. Komite ini akan diberi tugas dan wewenang yang luas oleh gubernur nantinya, bahkan bupati pun boleh saya jewer kalau tidak becus bekerja, katanya.

Jurubicara Kaukus Pantai Barat-Selatan, TAF Haikal ketika menanggapi pernyataan Iwan Gayo mengatakan, sebenarnya pembentukan komite ini oleh gubernur sangat politis, karena ide ini digelindingkan untuk meredam gejolak tuntutan pemekaran dan suara ketidakadilan dalam pembangunan. Tetapi di sini bagaimana kita mainkan peran mengubah politis menjadi startegis. Sebenarnya komite tidak perlu menjewer bupati, tetapi harus mampu bekerjasama. Untuk soal data gunakan yang sudah ada di kabupaten/kota dan Bappeda, katanya.

Syaifuddin Bantsyam juga menyatakan sangat kecewa dengan pemaparan Iwan Gayo soal komite tersebut. Memang terlalu dini menilai komite yang akan dipimpin Iwan Gayo dapat bekerja baik atau tidak. Sebab publik tidak tahu visi dan misi kerja Iwan atau tim tersebut, katanya.

Lain lagi penilaian Dr Islahuddin. Menurutnya, komite ini memang sangat memungkinkan untuk dibentuk karena UUPA juga mengamanahkan. Soal anggaran tim ini bisa menggunakan dana otsus dan migas.
Tetapi yang penting harus ada konsep yang jelas dulu, katanya.(sup)

Persyaratan ALA dan ABAS Sudah Terpenuhi

Tanpa Dukungan Gubernur Aceh dan DPRA

Serambi Indonesia 04/05/2008

JAKARTA - Aceh Leuser Antara (ALA) dan Aceh Barat Selatan (ABAS) dinilai layak dimekarkan karena seluruh persyarakatan pembentukan kedua provinsi baru itu sudah dipenuhi, seperti jumlah penduduk, cakupan wilayah, potensi ekonomi, dan kajian akademis. Sedangkan yang tidak tersedia hanya surat dukungan dari Gubernur Aceh dan DPRA.

Demikian hasil verifikasi Komisi II DPR RI terhadap rencana pembentukan Provinsi ALA dan ABAS yang disampaikan Wakil Ketua Komisi II DPR RI, M Fachrudin kepada Serambi di Jakarta, Sabtu (3/5). Tapi soal terbentuk-tidaknya kedua provinsi tersebut, akan ditentukan oleh hasil pembahasan antara DPR dan Pemerintah, kata Fachrudin.

Menurut Fachruddin, Komisi II telah mengirimkan hasil verifikasi tersebut kepada Ketua DPR RI, Agung Laksono untuk selanjutnya disampaikan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Fachrudin mengaku tidak tahu apakah Ketua DPR sudah mengirimkannya atau belum. Tapi sesuai peraturan segera setelah hasil verifikasi diterima Ketua DPR langsung dikirimkan ke Pemerintah, ujar Fachrudin, politisi dari Fraksi PDI Perjuangan.

Tahap selanjutnya, setelah Presiden menerbitkan amanat presiden (ampres), DPR dan Pemerintah melakukan pembahasan bersama tentang pembentukan kedua provinsi tersebut. Hasilnya seperti apa, itu tergantung pembahasan kedua belah pihak, katanya.

Menyinggung tentang tidak adanya surat dukungan Gubernur dan DPR Aceh, Fachrudin menyatakan itu bukan menjadi satu-satunya alasan terbentuk-tidaknya sebuah provinsi.
Ia mencontohkan Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) dan Banten sama sekali tidak mendapat dukungan dari provinsi induk. Terhadap adanya pernyataan anggota Komisi II yang mengatakan stop pemekaran ALA dan ABAS, Fachrudin menegaskan itu hanya pendapat pribadi dan bukan pendapat DPR. Pendapat DPR harus melalui kesepakatan seluruh fraksi, bukan pendapat satu fraksi, jelas Fachrudin.

Secara terpisah Ketua Komite Pembentukan Pemekaran Provinsi ALA (KP3ALA), DR Rahmat Salam mengatakan usul inisiatif DPR tentang pembentukan ALA dan ABAS bersama-sama dengan usul inisiatif lainnya akan dituntaskan dalam Rapat Paripurna DPR RI pada 13 Mei mendatang.

Berkaitan dengan itu, KP3ALA dan KP3ABAS akan mengerahkan ribuan elemen masyarakat dari kedua provinsi tersebut ke DPR RI yang terdiri dari kepala desa, pimpinan partai politik, tokoh adat, tokoh masyarakat, pemuda, mahasiswa dan sebagainya. Rombongan akan menggelar aksi pada 12-17 Mei.

Rahmat Salam menyerukan kepada semua pihak di Aceh untuk tidak menghalang-halangi aspirasi pemekaran tersebut. Kita juga akan melakukan pendekatan kepada kawan-kawan Komite Peralihan Aceh (KPA), bahwa Aceh harus dimekarkan menjadi banyak provinsi untuk mendorong percepatan kesejahteraan dan pembangunan, kata Rahmat Salam.

Sebelumnya, seperti diberitakan koran ini, kemarin, Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Prof Dr Jimly Asshiddiqie MA menyarankan agar wacana pemekaran daerah untuk saat ini distop saja. Alasannya, jumlah kabupaten/kota dan provinsi di republik ini sudah terlalu banyak dan sejumlah daerah yang telah dimekarkan ternyata tidak efektif. Bahkan hanya menjadi ajang untuk bagi-bagi jabatan bagi pejabat saja.

Pernyataan itu disampaikan Jimly dalam kapasitasnya sebagai pakar hukum tata negara ketika bertemu dengan jajaran Redaksi Serambi Indonesia, Prohaba, Tabloid Kontras, dan Radio Serambi FM di Mabes Serambi, kawasan Meunasah Manyang, Aceh Besar, Jumat (2/5) siang, (bukan Selasa, red).

Jimly mengemukakan, keinginan pemekaran adalah sesuatu yang tak sehat di mata rakyat. Bahkan, kata Jimly, kesan yang terlihat dari pemekaran daerah hanyalah sebagai ajang untuk bagi-bagi jabatan bagi pejabat.

Saya dukung bahwa pemekaran itu kita stop saja, karena sudah terlalu banyak. Saya tidak hanya bicara Aceh, tapi mengimbau kepada semua penentu kebijakan yang punya kredibilitas untuk pemekaran wilayah agar menghentikan rencana tersebut, tukas Jimly ketika diminta tanggapannya tentang makin maraknya permintaan pemekaran daerah di Indonesia, termasuk di Aceh. Serambi memintanya untuk mengulas tuntutan pemekaran itu dalam konteks konstitusi.(fik)

Komite Khusus Mulai Beraksi

Akta Syariat dan FUPP Akan Diluncurkan`

BANDA ACEH - Komite Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal Aceh (KP2DTA), mulai melakukan aksi nyata untuk mempercepat pembangunan daerah-daerah tertinggal di Aceh. Dalam waktu dekat, komite khusus bentukan Gubernur Irwandi Yusuf ini, akan meluncurkan dua buah formulir pendataan berpola syariah, yaitu Formulir Akta Diri Syariah (FADS) dan Formulir Usulan Percepatan Pembangunan (FUPP) bagi masyarakat di daerah tertinggal. Selain itu, komite ini juga sedang mencari tim pengarah dan para ahli untuk menjalankan program mereka.

Ketua KP2DTA, H Muhammad Iwan Gayo, di Meuligo Gubernuran Aceh, kepada Serambi Sabtu (3/5) mengatakan, peluncuran dua formulir ini merupakan agenda awal KP2DTA untuk menjalankan fungsinya dalam mendata daerah tertinggal, sesuai surat keputusan (SK) Pemerintah Aceh. Disamping itu, badan ini juga akan mengadakan klarifikasi data keuangan pada Departemen Percepatan Dearah Tertinggal Republik Indonesia, terkait dana yang akan dialokasikan bagi pembangunan daerah tertinggal.

Dikatakan, tahap awal yang dilakukan adalah mendata korban konflik, bencana alam, bencana sosial, penyandang cacat dan para jompo. Kemudian dilanjutkan dengan pendatan monografi daerah tertinggal dan Aceh pedalaman, termasuk kawasan tengah dan barat-selatan, Tamiang, dan Aceh Utara. Maka diperlukan sebuah data akurat berpola syariah yang akan menjadi referensi Pemerintah Aceh dalam menentukan arah kebijakan pembangunan maupun pemberian bantuan.

Untuk itu, badan ini membentuk dua formulir masing-masing, FADS dan FUPP. Formulir Syariah akan dibagikan kepada setiap warga korban konflik maupun korban bencana alam sebagai referensi data Pemerintah Aceh pada tahap-tahap selanjutnya. Sementara Formulir Usulan Pembangunan akan dibagikan kepada setiap kampung di kawsan tertinggal. Khusus untuk Akta Syariah, korban konflik diharuskan menyantumkan nama wali sesuai dengan pola syariah. Selanjutnya, akta bermaterai ini akan ditandatangani oleh gubernur dan para saksi yang terdiri dari empat elemen pemerintahan kampung masing-masing, kepala kampung, imum kampung, BPK kampung, dan tokoh masyarakat setempat.

Sedangkan Formulir Usulan Percepatan Pembangunan akan diberikan kepada setiap kepala kampung. Formulir ini juga akan diisi dan ditandatangani empat elemen kampung dan gubernur. Dalam formulir ini akan termaktub hal-hal yang perlu dibangun di daerah misalnya, sarana air bersih, transportasi, kesehatan dan pembangunan lainnya. Pada gilirannya, formulir ini akan mewakili hasil Musrenbang di tingkat kampung.

Iwan Gayo juga mengatakan, kepengurusan KP2DTA telah terbentuk, anggotanya terdiri dari lima orang, meliputi ketua wilayah barat-selatan, utara-timur, tengah dan pedalaman serta dua orang sekretaris.(gn)

Jangan Ada Kepentingan Kelompok

LSM Tanggapi Kelambanan APBA

Serambi Indonesia, 7 Mei 2008

BANDA ACEH - Kendati masa kerja tahun anggaran 2008 tinggal tujuh bulan lagi, namun pihak DPR Aceh belum juga mengesahkan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (RAPBA) tahun ini. Lambatnya pengesahan RAPBA 2008 itu disebabkan adanya penambahan program dan kegiatan yang berakibat defisit anggaran sebesar Rp 1,8 triliun oleh kalangan dewan.

Karena itu, aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM) mendesak agar jangan ada kepentingan kelompok atau individu tertentu dalam pembahasan dan pengesahan RAPBA 2008. Sebab, belum disahkannya tahun ini menunjukkan semakin buruknya kinerja anggaran Pemerintah Aceh.
Keterlambatan pengesahan RAPBA 2008 bukan disebabkan karena faktor yang bersifat substantif, tapi terindikasi kuat karena hal-hal yang bersifat kepentingan kelompok atau individu anggota DPRA. Jadi, untuk mempercepat pengesahan RAPBA, maka kepentingan-kepentingan kelompok atau individu harus dihilangkan, kata Koordinator GeRAK Aceh, Akhiruddin Mahjuddin, menjawab Serambi, kemarin.

Indikasi itu, menurutnya, tercermin dari adanya beberapa kali penambahan usulan program atau kegiatan oleh panitia anggaran (panggar) legislatif. Pagu anggaran yang awalnya disepakati Rp 7,7 triliun mengalami revisi sebanyak dua kali, yakni Rp 8,069 triliun dan Rp 8,513 triliun.

Dikatakan, penambahan program bukan saja mengakibatkan terjadinya defisit anggaran sebesar Rp 1,8 triliun, tapi juga berdampak pada semakin lamanya anggaran disahkan serta dapat dipastikan serapan anggaran akan makin kecil. Besarnya defisit anggaran menunjukkan orientasi anggaran kita pada inefisiensi dan pemborosan anggaran publik, apalagi jumlah tambahan program sebesar Rp 443,7 miliar terindikasi merupakan program titipan legislatif, jelas Akhiruddin.

Fenomena itu, lanjutnya, makin menunjukkan bahwa anggota DPRA lebih mengutamakan kepentingan kelompok dan individu dari kepentingan masyarakat Aceh. Harusnya yang dewan lakukan adalah mencermati secara teliti usulan program SKPA dan kemudian direvisi sesuai kebutuhan masyarakat Aceh, bukan malah menambah program yang pada akhirnya mengakibatkan pemborosan anggaran, timpal putra Bugis yang jebolan Fakultas Ekonomi Unsyiah ini.

Masa kerja yang hanya tinggal tujuh bulan lagi, sebut Akhiruddin, harusnya menjadi pertimbangan penting bagi DPRA untuk segera mengesahkan APBA 2008, bukan justru menambah usulan kegiatan. Padahal, keterlambatan pengesahan APBA 2008 akan berdampak pada terganggunya pelayanan publik serta pembangunan di Aceh.

Ia juga menjelaskan, anggaran yang seharusya dapat menstimulans sektor riil untuk memberikan lapangan pekerjaan dan kesejahteraan bagi masyarakat Aceh tidak dapat tercapai. Hal ini, katanya lagi, juga akan mengganggu tercapainya tujuan program Pemerintah Aceh untuk menekan angka kemiskinan, angka pengangguran, angka kematian ibu dan bayi, angka gizi buruk, angka usia putus sekolah, serta tersedianya lapangan pekerjaan.

Kondisi ini, menurut Akhiruddin, juga akan mengakibatkan makin buruknya kualitas hidup masyarakat Aceh. Selain itu, keterlambatan pengesahan anggaran akan berdampak pada rendahnya kualitas proyek atau tidak sesuai dengan bestek, karena dikerjakan dengan tergesa-gesa. Dampak yang lain yaitu akan terjadi penunjukkan langsung pada pelaksanaan proyek yang pada akhirnya mendorong Pemerinthan Aceh ke dalam lubang korupsi dan kolusi, jelasnya.

Bahkan, tambah Akhiruddin, keterlambatan pengesahan mengakibatkan Aceh akan mendapat sanksi penundaan 25 persen Dana Alokasi Umum (DAU) serta pencairan Dana Alokasi Khusus (DAK). Akumulasi akibat yang ditimbulkan dari keterlambatan pengesahan APBA berakibat pada kerugian di pihak masyarakat Aceh. Kerugian masyarakat akibat kelalaian DPRA dan Pemerintah Aceh dapat dikategorikan sebagai kejahatan anggaran atau kejahatan kemanusiaan, katanya.

Karena itu, sambung Akhiruddun, GeRAK Aceh mendesak Pengesahan RAPBA 2008 demi kelancaran pelayanan publik dan pembangunan di Aceh, mengecam adanya tindakan yang menghambat pengesahan APBA 2008 dengan dalih masih banyak program yang perlu diusulkan, padahal usulan tersebut bukanlah mengakomodasi kepentingan rakyat, dan penambahan program dan kegiatan yang berakibat defisit anggaran sebesar Rp 1,8 triliun adalah tidakan irasional yang dipertontokan kalangan DPRA.

Terjadi penyimpangan

Pernyataan senada juga diungkapkan Juru Bicara Kaukus Pantai Barat-Selatan, TAF Haikal kepada Serambi, Selasa (6/5). Menurutnya, bila RAPBA tahun ini tak segera disahkan, maka berbagai akibat harus ditanggung oleh masyarakat Aceh.

Di antara akibat itu, sebutnya, masyarakat Aceh takkan mendapatkan pelayanan dan hak-hak dasarnya yang seharusnya diselenggarakan oleh Pemerintahan Aceh secepatnya. Ini adalah bagian dari pelanggaran hak-hak dasar rakyat. Apa pun alasannya, rakyat tetap tidak butuh yang muluk-muluk. Rakyat tak ingin lagi sebatas komitmen dan janji politik.

Bagaimana rakyat dapat mendapatkan pelayanan kesehatan yang murah bila anggaran belum juga disahkan? Bagaimana rakyat dapat menikmati pendidikan yang baik bila RAPBA tak juga tuntas hingga hari ini, ujarnya seraya menyatakan masyarakat butuh bukti nyata komitmen legislatif dan eksekutif bertanggung jawab dalam mengelola anggaran yang mampu mensejahterakan rakyat.

Selain itu, lanjut Haikal, makin lambat RAPBA 2008 disahkan, maka makin besar pula peluang terjadinya penyimpangan pengelolaan anggaran hingga tumbuh suburnya korupsi di Aceh. Bagaimana mungkin waktu yang singkat, dapat mengelola anggaran sebesar 8 triliun lebih secara efektif dalam masa tujuh bulan. Karena itu, kami menghimbau agar semua pihak beritikad baik dalam percepatan pengesahan RAPBA 2008, harapnya.

Percepatan pengesahan RAPBA, kata Haikal lagi, merupakan bagian dari upaya menjaga kepercayaan masyarakat terhadap Pemerintah Aceh dan DRPA serta kelanggengan perdamaian di Aceh. Bahkan, sebutnya, rakyat juga berpikir bagaimana percepatan RAPBA tahun ini mampu membangun Aceh yang adil dan tak menimbulkan kesenjangan pembangunan antardaerah di Aceh.

Karena itu, Pemerintah Aceh dan DPR Aceh harus membuka mata hati, mata jiwa, perasaan, dan meninggalkan semua kepentingan politik dan golongan, sehingga tidak lahir kejahatan politik anggaran dalam RAPBA 2008, timpalnya.

Ia juga mengatakan, keterlambatan pengesahan RAPBA seakan menjadi pembenaran terhadap isu yang menyatakan adanya tarik-menarik kepentingan di antara para elite politik di Aceh. Rakyat berharap agar tarik-menarik kepentingan di balik terus molornya pengesahan RAPBA 2008 itu tidak digunakan untuk kepentingan partai politik sebagai persiapan pundi-pundi menjelang Pemilu 2009, tukas Haikal.

Agar kondisi seperti saat ini tak terulang lagi, tambah Haikal, untuk anggaran tahun depan ia sarankan agar adanya perencanaan pembangunan yang terintergrasi dilakukan bersama antara pemerintah provinsi dengan kabupaten/kota yang dimotori oleh masing-masing bappeda. Sehingga, apabila ada daerah yang terlambat menyusun rencana pembangunan, dia akan malu pada kabupaten di sekitarnya, begitu juga sebaliknya dengan provinsi, pungkas TAF Haikal.
(jal)

>> Serambi Indonesia 18 Mei 2008

Menhut Diminta Segera Turunkan Tim ke Buluseuma

BANDA ACEH - Kaukus Pantai Barat-Selatan (KPBS) dan Badan Koordinasi Himpunan Mahasiswa Islam (Badko HMI) Aceh mendesak Menteri Kehutanan (Menhut), MS Kaban segera menurunkan tim ke lokasi peningkatan jalan dari Keude Trumom-Buluseuma, Aceh Selatan.

Pernyataan itu disampaikan jurubicara KPBS, TAF Haikal dan Ketua Badko HMI Aceh, Amirruzzahri secara terpisah kepada wartawan, Sabtu (17/5) ketika menyikapi pernyataan Menhut, MS Kaban beberapa waktu lalu saat menerima delegasi Komisi B DPRA bersama pimpinan DPRK Aceh Selatan, Bupati Aceh Selatan, Husen Yusuf, dan tokoh masyarakat Buluseuma terkait peningkatkan jalan Buluseuma-Keude Trumon.

Menurut TAF Haikal, masyarakat Buluseuma sejak negeri ini merdeka 63 tahun lalu, kehidupan mereka sangat memprihatinkan dan nyaris belum menikmati hasil dari kemerdekaan. Kalau boleh saya katakan masyarakat daerah itu belum merdeka. Karena mereka masih terisolir akibat tidak memiliki akses dengan daerah lain, lantaran tidak ada jalan yang bisa menghubungkan, kata Haikal yang putra Bakongan ini.

Kalau memang Menhut telah berjanji akan meninjau kembali soal pengunaan lahan suaka marga satwa yang akan tereka pembangunan badan jalan Buluseuma-Keude Trumon. Saya kira tidak perlu ditunda-tunda lagi, dan segera wujudkan janjinya dengan menurunkan sebuah tim untuk melakukan penelitian, desaknya.

Haikal sependapat kalau alam ini harus dijaga terutama hutan dan makluk yang ada di dalamnya, karena kalau diganggu akan menimbulkan bencana bagi penghuni bumi ini sebab ekosistem telah rusak. Tetapi kalau sedikit lahan hutan dipergunakan untuk kemaslahan masyarakat yang ada disekitarnya seperti pembangunan jalan.
Saya kira tidak akan menimbulkan bencana dan mengganggu satwa yang ada di dalamnya. Yang memibulkan petaka kalau hutan itu dirusak seluruhnya. Tolong masyarakat kami juga diperhatikan, jangan alasan hutan dan satwanya saja untuk dilindungi, lalu masyarakat kami dijadikan dikorban, saya tidak setuju, tandasnya.

Hal hampir senada juga diungkpakna Ketua Badko HMI Aceh, Amirruzzahri. Menhut harus segara menurunkan tim ke Buluseuma untuk meninjau lokasi peningkatan jalan dan melihat kondisi masyarakat setempat yang hidup tanpa akses transportasi darat sejak Indonesia merdeka, pintanya.

HMI Aceh juga memberikan apresiasi terhadap Bupati Aceh Selatan, Husen Yusuf, DPRA dan DPRK Aceh Selatan yang telah memperjuangkan pembangunan kembali jalan Buluseuma- Trumon demi menyelamatkan masa depan warga yang selama ini termarginalkan.

Selama puluhan tahun masyarakat kemukiman Buluhseuma tidak mendapatkan akses pelayanan kesehatan dan pendidikan yang memadai bahkan kondisi kesehatan dan pendidikan sangat memprihatinkan, katanya.

Menurutnya, penghentian peningkatan jalan sepanjang 16 kilometer itu disebabkan pembangunannya berada di dalam kawasan suaka marga satwa rawa Singkil yang dikuatirkan akan mengganggu kelestarian alam.

Dikatakan, tanpa mengesampingkan undang-undang lingkungan dan aspek kerusakan hutan. HMI melihat penyelamatkan jiwa dan masa depan masyarakat Buluhseuma jauh lebih penting, ketimbang menyelamatkan pohon dan binatang, tambahnya.(sup/ant)

Dana BRR untuk Rumah Masih Ada Rp 2,7 T - Dalih BRR Dinilai tak Logis

Serambi Indonesia, 11 April 2008

Besarnya sisa dana perumahan dan permukiman BRR yang belum terpakai sampai tahun keempat pascatsunami itu, karena daya serap anggarannya per tahun rendah, ungkap Kepala KPPKN Khusus Banda Aceh, Agus Santoso.

Dengan posisi dana yang demikian, ulas TAF Haikal, aktivis LSM Aceh, sebetulnya tidak cukup kuat alasan bagi BRR untuk terlalu menghemat dana rehab rumah bagi korban gempa dan tsunami di Aceh dan Nias, mengingat dana yang tersedia masih banyak. Lagi pula kabar terbaru menyebutkan BRR mendapat tambahan dana lagi sebesar Rp 3,8 triliun untuk digunakan hingga akhir Desember 2009.

Jadi, karena tidak logis, mohon dalih bahwa dana BRR yang tersisa untuk perumahan sudah tak lagi mencukupi pada tahun keempat tsunami, jangan terus-terusan dijadikan alasan oleh Kuntoro dan stafnya untuk tidak memenuhi tuntutan para pengunjuk rasa dari berbagai daerah di Aceh, ujar TAF Haikal yang juga Juru Bicara Kaukus Pantai Barat Selatan (KPBS) kepada Serambi, tadi malam.

Ia sendiri mengaku kaget setelah mendapat informasi bahwa pagu anggaran perumahan yang belum terserap hingga kini ternyata hampir Rp 3 triliun. Andai Rp 1 triliun saja di antaranya diplotkan untuk membayar dana rehab rumah bagi korban gempa dan tsunami, mungkin permasalahan akan segera selesai dan BRR tak perlu terus-terusan dihujat atau didemo massa.

Haikal mencatat, amat jarang terjadi di Aceh sebelumnya aksi solidaritas seluas ini dalam menuntut apa yang seharusnya menjadi hak para korban bencana alam (gempa dan tsunami). Namun, sikap cuek elite BRR ditambah alasan-alasan yang dikemukakan sering tidak logis, justru telah memicu aksi massa yang mengarah ke Kantor Pusat BRR di Banda Aceh.

Bahkan, menurut Haikal, tuntutan para korban gempa dan tsunami itu sekarang telah memicu pula lahirnya pernyataan sikap 34 anggota DPRA yang mendesak agar Gubernur dan Ketua DPR Aceh mundur dari BRR.
Ini karena, lembaga yang dipimpin Kuntoro Mangkusubroto itu dinilai tidak lagi aspiratif. Malah sebaliknya, bersikap diskriminatif dalam pemberian dana rehab rumah kepada warga di Banda Aceh/Aceh Besar dengan yang diberikan kepada warga di Aceh Barat, Selatan, Aceh Barat Daya, hingga Aceh Singkil.

Haikal yang mantan koordinator Forum LSM Aceh itu bersaran sudah saatnya Kuntoro dan stafnya mendengarkan aspirasi korban gempa dan tsunami yang meminta dana rehab dinaikkan dari Rp 2,5 juta menjadi Rp 15 juta.

Belum banyak

Ketua Komisi D (Bidang Pembangunan) DPR Aceh, Sulaiman Abda menyatakan, berdasarkan jadwal, seharusnya pada tahun 2008 ini pemukiman kembali korban tsunami yang rumahnya hancur atau rusak, sudah selesai. Tapi faktanya, jangankan semua rumah yang hancur selesai dibangun, soal dana rehab rumah yang dituntut korban gempa dan tsunami dari Rp 2,5 juta menjadi Rp 15 juta saja pun, tidak dikabulkan BRR.

Hal lain yang belum optimal dilaksanakan BRR, nilai Sulaiman Abda, adalah penertiban terhadap penerima rumah bantuan yang lebih dari satu (bantuan ganda). Akibatnya, masyarakat Aceh makin tidak percaya kepada BRR, kendati mereka sudah berbuat banyak membangun kembali infrastruktur Aceh yang telah hancur akibat gempa dan tsunami, ujar politisi dari Partai Golkar ini.

Kecilnya daya serap dana di sektor perumahan dan permukiman tergambar pula dari apa yang diterangkan Kepala KPPKN Khusus Banda Aceh, Agus Santoso, kepada Serambi kemarin. Ia contohkan pada tahun ini jumlah dana yang dialokasikan cukup besar, mencapai Rp 1,613 triliun, tapi sampai Kamis (10/4) realisasinya baru Rp 45,497 miliar, atau baru 2,82 persen.

Sementara itu, sisa dana tahun 2007 yang belum terserap kemudian diluncurkan pada tahun ini mencapai Rp 1,430 triliun. Tapi yang terserap baru Rp 288,8 miliar atau 20,19 persen. Ini artinya, masih ada sisa Rp 1,142 triliun lagi, sehingga bila dijumlah dengan pagu tahun 2008 yang belum terserap Rp 1,567 triliun, maka total pagu dana perumahan dan permukiman BRR NAD-Nias sampai bulan ini yang belum terpakai adalah Rp 2,709 triliun lagi.

Kenapa sisa dana perumahan dan permukiman BRR itu masih banyak, KPPKN Khusus tak bisa menjawabnya. Jika ingin mengetahui faktor penyebabnya, tanyakan langsung ke Kantor Pusat BRR NAD-Nias di Leungbata, ujar Agus Santoso.

Ulah kontraktor

Deputi Pengawasan BRR NAD-Nias, Ramli Ibrahim yang didampingi Juru Bicara BRR NAD-Nias, Tuwanku Mirza Keumala mengatakan masih besarnya sisa dana perumahan dan permukiman pada tahun keempat pascatsunami, karena ulah kontraktor.

Menurut Ramli, banyak rekanan (kontraktor) yang telah menerima paket pekerjaan pembangunan rumah bantuan untuk korban tsunami dari BRR, tapi belum menyelesaikan borongan rumahnya, terutama untuk kontrak rumah tahun 2006 dan 2007.

Besarnya sisa dana perumahan BRR, ujar Ramli, bukan mengindikasikan lambannya kinerja Deputi Perumahan BRR, melainkan ada kaitannya dengan permintaan Pengurus Kadin Aceh bersama asosiasi kontraktor lokal kepada BRR dua tahun lalu agar dalam pembangunan rumah bantuan BRR melibatkan pengusaha lokal, terutama pengusaha kecil dan menengah.

Usul dan saran itu, menurut Ramli, dipenuhi BRR. Tapi dalam perjalanannya, banyak kontraktor kecil dan menengah yang telah menerima borongan rumah dari BRR, setelah mengambil uang muka kerja 20 persen, lalu meninggalkan pekerjaan.

Kecuali itu, ada pula yang telah mengambil dana tahap kedua sebesar 40 persen, tapi karena berbagai gangguan di lapangan kemudian ia lari malam meninggalkan borongan rumah. Akibatnya, penyerahan rumah bantuan BRR untuk korban gempa dan tsunami jadi terlambat.

Kalau seperti itu kejadiannya, kata Ramli Ibrahim, apakah BRR yang harus disalahkan. Harusnya korban tsunami yang belum dapat rumah berdemo ke kantor kontraktor yang tak mampu menyelesaikan pekerjaannya dengan baik, bukan ke Kantor Pusat BRR, ujar mantan Sekretaris BRR NAD-Nias ini.

Terhadap rumah-rumah bantuan yang ditinggalkan pemborongnya, BRR harus membangunnya kembali. Tahun ini pekerjaannya akan digenjot, Ramli menambahkan.

Meski risiko itu harus BRR yang menanggungnya, kata Mirza Keumala, hujatan terus saja dilakukan sekelompok orang kepada BRR. Rumah tak selesai atau rumah yang dibangun asal jadi, BRR yang disalahkan, padahal dalam kontraknya sudah jelas bahwa penerima borongan harus membangun rumah berkualitas untuk korban tsunami.

BRR juga salah

Sulaiman Abda selaku Ketua Komisi D DPRA berpendapat, belum tuntasnya pembangunan rumah untuk korban tsunami sampai tahun keempat pascatsunami, tidak seluruhnya karena kesalahan kontraktor. BRR sebagai pemilik proyek juga punya kesalahan, karena kurang mengontrol pelaksanaan pembangunan rumah.

Begitu juga terhadap konsultan perencana dan pengawas yang dikontrak tapi ternyata tidak bekerja secara profesional dan maksimal.

Kecuali itu, kata Sulaiman Abda, perubahan kebijakan yang sering dilakukan pengambil keputusan di BRR, membuat sistem kerja rehab-rekon jadi terganggu dan terhambat.
(her/dik)