Selasa, 25 November 2008

Dana BRR untuk Rumah Masih Ada Rp 2,7 T - Dalih BRR Dinilai tak Logis

Serambi Indonesia, 11 April 2008

Besarnya sisa dana perumahan dan permukiman BRR yang belum terpakai sampai tahun keempat pascatsunami itu, karena daya serap anggarannya per tahun rendah, ungkap Kepala KPPKN Khusus Banda Aceh, Agus Santoso.

Dengan posisi dana yang demikian, ulas TAF Haikal, aktivis LSM Aceh, sebetulnya tidak cukup kuat alasan bagi BRR untuk terlalu menghemat dana rehab rumah bagi korban gempa dan tsunami di Aceh dan Nias, mengingat dana yang tersedia masih banyak. Lagi pula kabar terbaru menyebutkan BRR mendapat tambahan dana lagi sebesar Rp 3,8 triliun untuk digunakan hingga akhir Desember 2009.

Jadi, karena tidak logis, mohon dalih bahwa dana BRR yang tersisa untuk perumahan sudah tak lagi mencukupi pada tahun keempat tsunami, jangan terus-terusan dijadikan alasan oleh Kuntoro dan stafnya untuk tidak memenuhi tuntutan para pengunjuk rasa dari berbagai daerah di Aceh, ujar TAF Haikal yang juga Juru Bicara Kaukus Pantai Barat Selatan (KPBS) kepada Serambi, tadi malam.

Ia sendiri mengaku kaget setelah mendapat informasi bahwa pagu anggaran perumahan yang belum terserap hingga kini ternyata hampir Rp 3 triliun. Andai Rp 1 triliun saja di antaranya diplotkan untuk membayar dana rehab rumah bagi korban gempa dan tsunami, mungkin permasalahan akan segera selesai dan BRR tak perlu terus-terusan dihujat atau didemo massa.

Haikal mencatat, amat jarang terjadi di Aceh sebelumnya aksi solidaritas seluas ini dalam menuntut apa yang seharusnya menjadi hak para korban bencana alam (gempa dan tsunami). Namun, sikap cuek elite BRR ditambah alasan-alasan yang dikemukakan sering tidak logis, justru telah memicu aksi massa yang mengarah ke Kantor Pusat BRR di Banda Aceh.

Bahkan, menurut Haikal, tuntutan para korban gempa dan tsunami itu sekarang telah memicu pula lahirnya pernyataan sikap 34 anggota DPRA yang mendesak agar Gubernur dan Ketua DPR Aceh mundur dari BRR.
Ini karena, lembaga yang dipimpin Kuntoro Mangkusubroto itu dinilai tidak lagi aspiratif. Malah sebaliknya, bersikap diskriminatif dalam pemberian dana rehab rumah kepada warga di Banda Aceh/Aceh Besar dengan yang diberikan kepada warga di Aceh Barat, Selatan, Aceh Barat Daya, hingga Aceh Singkil.

Haikal yang mantan koordinator Forum LSM Aceh itu bersaran sudah saatnya Kuntoro dan stafnya mendengarkan aspirasi korban gempa dan tsunami yang meminta dana rehab dinaikkan dari Rp 2,5 juta menjadi Rp 15 juta.

Belum banyak

Ketua Komisi D (Bidang Pembangunan) DPR Aceh, Sulaiman Abda menyatakan, berdasarkan jadwal, seharusnya pada tahun 2008 ini pemukiman kembali korban tsunami yang rumahnya hancur atau rusak, sudah selesai. Tapi faktanya, jangankan semua rumah yang hancur selesai dibangun, soal dana rehab rumah yang dituntut korban gempa dan tsunami dari Rp 2,5 juta menjadi Rp 15 juta saja pun, tidak dikabulkan BRR.

Hal lain yang belum optimal dilaksanakan BRR, nilai Sulaiman Abda, adalah penertiban terhadap penerima rumah bantuan yang lebih dari satu (bantuan ganda). Akibatnya, masyarakat Aceh makin tidak percaya kepada BRR, kendati mereka sudah berbuat banyak membangun kembali infrastruktur Aceh yang telah hancur akibat gempa dan tsunami, ujar politisi dari Partai Golkar ini.

Kecilnya daya serap dana di sektor perumahan dan permukiman tergambar pula dari apa yang diterangkan Kepala KPPKN Khusus Banda Aceh, Agus Santoso, kepada Serambi kemarin. Ia contohkan pada tahun ini jumlah dana yang dialokasikan cukup besar, mencapai Rp 1,613 triliun, tapi sampai Kamis (10/4) realisasinya baru Rp 45,497 miliar, atau baru 2,82 persen.

Sementara itu, sisa dana tahun 2007 yang belum terserap kemudian diluncurkan pada tahun ini mencapai Rp 1,430 triliun. Tapi yang terserap baru Rp 288,8 miliar atau 20,19 persen. Ini artinya, masih ada sisa Rp 1,142 triliun lagi, sehingga bila dijumlah dengan pagu tahun 2008 yang belum terserap Rp 1,567 triliun, maka total pagu dana perumahan dan permukiman BRR NAD-Nias sampai bulan ini yang belum terpakai adalah Rp 2,709 triliun lagi.

Kenapa sisa dana perumahan dan permukiman BRR itu masih banyak, KPPKN Khusus tak bisa menjawabnya. Jika ingin mengetahui faktor penyebabnya, tanyakan langsung ke Kantor Pusat BRR NAD-Nias di Leungbata, ujar Agus Santoso.

Ulah kontraktor

Deputi Pengawasan BRR NAD-Nias, Ramli Ibrahim yang didampingi Juru Bicara BRR NAD-Nias, Tuwanku Mirza Keumala mengatakan masih besarnya sisa dana perumahan dan permukiman pada tahun keempat pascatsunami, karena ulah kontraktor.

Menurut Ramli, banyak rekanan (kontraktor) yang telah menerima paket pekerjaan pembangunan rumah bantuan untuk korban tsunami dari BRR, tapi belum menyelesaikan borongan rumahnya, terutama untuk kontrak rumah tahun 2006 dan 2007.

Besarnya sisa dana perumahan BRR, ujar Ramli, bukan mengindikasikan lambannya kinerja Deputi Perumahan BRR, melainkan ada kaitannya dengan permintaan Pengurus Kadin Aceh bersama asosiasi kontraktor lokal kepada BRR dua tahun lalu agar dalam pembangunan rumah bantuan BRR melibatkan pengusaha lokal, terutama pengusaha kecil dan menengah.

Usul dan saran itu, menurut Ramli, dipenuhi BRR. Tapi dalam perjalanannya, banyak kontraktor kecil dan menengah yang telah menerima borongan rumah dari BRR, setelah mengambil uang muka kerja 20 persen, lalu meninggalkan pekerjaan.

Kecuali itu, ada pula yang telah mengambil dana tahap kedua sebesar 40 persen, tapi karena berbagai gangguan di lapangan kemudian ia lari malam meninggalkan borongan rumah. Akibatnya, penyerahan rumah bantuan BRR untuk korban gempa dan tsunami jadi terlambat.

Kalau seperti itu kejadiannya, kata Ramli Ibrahim, apakah BRR yang harus disalahkan. Harusnya korban tsunami yang belum dapat rumah berdemo ke kantor kontraktor yang tak mampu menyelesaikan pekerjaannya dengan baik, bukan ke Kantor Pusat BRR, ujar mantan Sekretaris BRR NAD-Nias ini.

Terhadap rumah-rumah bantuan yang ditinggalkan pemborongnya, BRR harus membangunnya kembali. Tahun ini pekerjaannya akan digenjot, Ramli menambahkan.

Meski risiko itu harus BRR yang menanggungnya, kata Mirza Keumala, hujatan terus saja dilakukan sekelompok orang kepada BRR. Rumah tak selesai atau rumah yang dibangun asal jadi, BRR yang disalahkan, padahal dalam kontraknya sudah jelas bahwa penerima borongan harus membangun rumah berkualitas untuk korban tsunami.

BRR juga salah

Sulaiman Abda selaku Ketua Komisi D DPRA berpendapat, belum tuntasnya pembangunan rumah untuk korban tsunami sampai tahun keempat pascatsunami, tidak seluruhnya karena kesalahan kontraktor. BRR sebagai pemilik proyek juga punya kesalahan, karena kurang mengontrol pelaksanaan pembangunan rumah.

Begitu juga terhadap konsultan perencana dan pengawas yang dikontrak tapi ternyata tidak bekerja secara profesional dan maksimal.

Kecuali itu, kata Sulaiman Abda, perubahan kebijakan yang sering dilakukan pengambil keputusan di BRR, membuat sistem kerja rehab-rekon jadi terganggu dan terhambat.
(her/dik)

Tidak ada komentar: