Sabtu, 20 Desember 2008

Belajar Pada Banjir

· 10/12/2008 10:58 WIB

[ penulis: TAF. Haikal | topik: Bencana Alam ]


SIKLUS di antara tanda kekuasaan Allah swt. Adanya panas matahari maka terjadi penguapan, uap air pada kondisi tertentu berubah menjadi awan. Awan berubah menjadi hujan, air yang jatuh ke bumi mengalir sebagai air permukaan, air tanah dan sebagian lagi menguap kembali.

Setiap tahunnya ketika memasuki bulan November, kita selalu dalam perasaan harap-harap cemas. Dan tahun ini hujan turun merata yang menyebabkan sejumlah wilayah menjadi banjir. Inilah yang terus menerus menjadi momok menakutkan bagi warga, terutama mereka yang hidup di pedasaan di kawasan rendah yang rawan banjir. Banjir tak hanya merendam areal pertanian rakyat, tapi menenggalamkan rumah-rumah penduduk, bahkan membawa korban jiwa semua. Kecuali itu, banjir telah menghentikan aktivitas ekonomi rakyat.

Sementara bagi sebagian warga yang tinggal di perkotaan, setiap kali hujan dengan frekwensi tinggi akan menimbulkan banjir mereka harus kerja ekstra, minimal memindahkan barang-barang mereka akan tak terendam. Kecuali itu banjir juga telah meninggalkan ekses penyakit akibat genangan air, seperti bibit jentik nyamuk sumber demam berdarah atau tipus akibat bangkai binatang yang mati.

Masalahnya, peristiwa banjir ternyata tak membuat masyarakat sadar. Aktivitas “cuek” lingkungan seperti membuang sampah serampangan, atau menutup pintu-pintu air terkesan menjadi budaya kita. Ini diperparah kebijakan pemerintah dalam penataan wwilayah ruang dan tata lingkungan yang belum baik. Buktinya, belum berselang tiga jam hujan berlangsung, jalan-jalan di tengah kota Banda Aceh misalnya telah digenangi air. Bahkan sebagian wilayah yang relative rendah, warga mulai cemas terhadap kehadiran banjir.

Berkait struktur penataan tata ruang, hampir seluruh wilayah pedesaan di Aceh, belum baik plus budaya buruk masyarakat yang tak sadar lingkungan hidup. Hal itu makin klop ketika aktivitas Illegal Logging, sebagai biang kerusakan lingkungan yang berpotensi terjadi banjir, sampai saat ini terus berlangsung, dan pemerintah Aceh seperti tak berdaya mencegahnya.

Mitigasi bencana

Bencana merupakan rangkaian peristiwa yang mengancam kehidupan masyarakat.
Faktor penyebab selain alam juga non alam yaitu faktor manusia. Itulah inti yang termaktub dalam Undang-undang nomor 24 tahun 2007 (pasal 1 ayat 1) berkait Penanggulangan Bencana. Akibat bencana adalah korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.

Banjir dan tanah longsor merupakan bencana yang dapat mengancam jiwa dan menggangu penghidupan masyarakat. Tentu, bukan untuk menghentikan agar tidak hujan, tapi bagaimana curah hujan tidak membuat banjir. Maka upaya yang dilakukan, di antaranya memperbaiki saluran-saluran air (drainase), tanggul-tanggul sungai, sehingga dalam kapasits tertentu air tidak akan memasuki pemukiman dan menghancurkan tanaman dan hasil pertanian masyarakat.

Itulah yang sebut kesadaran terhadap ancaman bencana. Dan itu sangat dibutuhkan. Menjaga lingkungan dan menumbuhkan kesadaran masyarakat, supaya lingkungan tetap bersih, tertata dan tidak membuat sumbatan sehingga air tidak tergenang.
Demikian halnya kesadaran rakyat untuk menjaga hutan dari perambahan liar (Illegal logging) agar hutan sebagai penyangga air dan penyeimbang ekosistem alam tidak rusak, tetap lestari dan bermanfaat secara berkelanjutan. Misal, kelestarian hutan yang ada pada wilayah hulu DAS (Daerah Aliran Sungai ) sangat berpengaruh terhadap distribusi air pada wilayah hilir. Sebaliknya apabila kondisi DAS tidak baik maka banjir akan terjadi walau curah hujan tidak tinggi.

Hutan dapat menahan laju turunnya air hujan, daun-daun kayu akan menahan air langit sehingga tidak langsung ke lantai hutan. Ranting, dahan dan batang akan mengalirkan air secara perlahan sampai ke bawah yang ditangkap oleh serasah hutan dan menyimpan. Kemudian mengalihkannya secara perlahan ke wilayah anak-anak sungai. Hujan pada skala tinggi menyebabkan aliran permukaan di lantai hutan terjadi dengan kayu namun dalam kenyataannya bila hujan turun dengan kapasitas yang banyak maka kemampuan hutan dalam menhan laju presipitasi air akan berkurang.

Pentingnya kesadaran masyarakat menjaga lingkungan dan hutan agar alam mampu berfungsi maksimal, suplai air pada wilayah hilir terjadi secara normal. Lebih jauh, untuk mencegah terjadinya korban yang lebih banyak, perlu dikembangkan Sistem Peringatan Dini (SPD) yaitu alat teknis untuk mengetahui dan meramalkan peristiwa datangnya bahaya dan memberi tanda siaga, dilengkapi informasi mengenai risiko yang akan muncul dari bahaya dan strategi meredam kehilangan dan kerusakan yang mungkin timbul dari kelompok rentan.

SPD melancarkan proses pengambilan keputusan dan memampukan masyarakat untuk bertindak pada waktunya yang tepat.

Anggaran bencana

Penanggulangan bencana memang butuh biaya besar. Tentu, bukan dalam program sesaat-atau ketika bencana terjadi. Inilah yang selama ini belum dilakukan pemerintah dan lembaga terkait. Yang terjadi ketika ada bencana, baru direspon dengan cara-cara emergency. Padahal sejatinya respon itu dilakukan sebelum bencana tiba. Seperti pepatah, “sebelum hujan sediakan payung”, bukan sebaliknya, baru berpikir bagaimana beli payung ketika hujan telah membuat kita basah kuyup.

Seharusnya pemerintah harus belajar ketika Aceh terus menjadi langganan banjir. Artinya perlu proses awal mitigasi dan pengendalian bencana, baik ketika terjadi maupun pascabencana berupa rehabilitasi dan rekontruksi. Bahwa terjadinya pembiayaan yang tinggi dan mahal untuk upaya keselamatan nyawa, merupakan satu kepastian yang harus dilakukan.

Ironi kita di Aceh. Pertama, dengan kondisi keuangan yang melimpah dan berlipat-lipat, ternyata begitu sulit membuat dan menjalankan kebijakan-kebijakan pembangunan dalam persfektif bencana. Harus dicatat, bahwa penggunaan anggaran pembangunan yang tidak mempertimbangkan persfektif bencana akan berdampak buruk tidak berlangsungnya pembangunan sebagai sebuah proses perubahan dan perkembangan.

Kedua, penanganan banjir tentu saja tidak akan pernah selesai hanya dengan pernyataan atau demonstrasi maupun pendekatan-pendekatan teknologi saja. Masalah banjir memerlukan pendekatan dan penanganan yang komprehensif. Mulai tingkat tindak yang bersifat regional, sampai pada upaya setempat; mulai konservasi di daerah hulu sampai perawatan saluran daerah hilir; mulai pembangunan saluran rumah sampai pembangunan waduk penahan air. Semua itu mungkin dilakukan di daerah yang saat ini sedang banyak mengelola dana pembangunannya.

Sekarang apakah itu menjadi political will penanganan bencana terhadap perencanaan, implementasi serta evaluasi yang kuat terhadap apa yang sudah dilakukan saat ini? Kita prihatin masyarakat di wilayah-wilayah yang saban tahun jadi langganan bencana, terutama wilayah tengah dan pantai barat Selatan Aceh.

*) Penulis adalah mantan Direktur Eksekutif Forum LSM Aceh, Jubir Kaukus Pantai Barat Selatan

http://serambinews.com/old/index.php?aksi=bacaopini&opinid=1938

Tidak ada komentar: